Selasa, 07 Desember 2010

Bahaya Takabbur


”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir. Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makananya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim.” (QS. Al Baqarah: 34-35).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada para Malaikat agar mereka bersujud kepada Adam AS. Kita tidak tahu hakikat dari kata “sujud” ini jika diterapkan kepada para Malaikat. Namun yang jelas, bahwa sujud adalah bentuk penghormatan yang paling tinggi dari seseorang. Hanya saja bagaimana bentuk sujud para Malaikat kepada Nabi Adam AS, ini yang tidak sampai penjelasanya kepada kita. Apakah dengan menempelkan dahi di atas tanah atau dengan cara lain. Hanya Allah yang tahu hakikatnya.

Yang menarik dari ayat ini adalah bahwa sujudnya para Malaikat kepada Adam AS ini merupakan sebuah isyarat bahwa Adam AS memiliki kedudukan yang lebih tinggi disisi Allah daripada Malaikat. Ada beberapa alasan mengapa kedudukan Adam AS lebih tinggi daripada para Malaikat.

Pertama: adalah bahwa dari aspek penciptaan-Nya, Adam AS diciptakan Allah “dengan kedua tangan-Nya”  yang Agung. Hal ini sebagaimana firman Allah ketika Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam AS. Allah berfirman:
    ”Wahai Iblis, apa yang mencegahmu untuk berdujud terhadap apa yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku? Apakah engkau hendak berbesar diri ataukah engkau termasuk golongan yang luhur?” (QS. Shod: 75).
Sementara makhluk selain Allah diciptakan dengan firman-Nya ”Kun” . Hal ini sebagaimana firman Allah,
    ”Sesungguhnya perintah-Nya ketika Ia menghendaki sesuatu adalah ”Kun (jadilah)”, maka (apa yang dikehendaki pun) jadi.” (QS. Yasin: 82)

Kedua: adalah bahwa sebagaimana pendapat para ulama sufi, Nabi Adam AS adalah leluhur fisik dari Rasulullah SAW sekaligus pengemban Nur Muhammad SAW. Jadi dari sini, penghormatan para Malaikat terhadap Adam AS pada dasarnya adalah penghomatan kepada Rasulullah SAW sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana ketinggian kedududukan Rasulullah SAW di sisi Allah dibandingkan dengan para Malaikat. Sedangkan terhadap Nabi Adam AS yang baru sebagai pengemban Nur Muhammad SAW saja mereka menghormati sedemikian ini.

Ketiga: bahwa Nabi Adam AS dan jenis manusia pada umumnya memiliki kemungkinan untuk mengabdi kepada Allah SWT dengan nilai yang lebih tinggi daripada Malaikat. Sebab Maliakat mengabdi dan menyembah kepada Allah SWT dengan satu cara saja. Yang bersujud terus bersujud, yang ruku’ terus ruku’, yang bertasbih terus bertasbih dan seterusnya. Sedangkan manusia memiliki peluang untuk mengabdi kepada Allah SWT dengan cara yang beraneka ragam. Bisa shalat, tilawah, bertasbih, beristighfar dan lain-lain. Dengan demikian, manusia memiliki akses menuju Allah dari berbagai pintu, sementara Malaikat hanya dari satu pintu.

Keempat: manusia memiliki peluang untuk memberi manfaat kepada semesta lebih besar dibandingkan dengan para Malaikat. Dengan mengkombinasikan sumberdaya akal fisik, nafsu dan hatinya manusia dapat mengelola bumi ini untuk kemaslahatan. Sementara Malaikat, karena tidak memiliki nafsu, maka mereka tidak memiliki inisiatif untuk melakukan pemeberdayaan dan pemanfaatan bumi.

Dalam ayat di atas terlihat bahwa iblis menolak untuk bersujud kepada Adam AS. Pangkal dari sikap ini ada beberapa hal.
Pertama, adalah bahwa  Iblis merasa bahwa ia memiliki bahan yang lebih baik daripada Adam AS. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an,
    ”Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik dari padanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang ia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al A’raf: 12).
Argumentasi Iblis ini seperti argumentasi orang yang sombong karena ketinggian nasab. Nasab Adam AS dari tanah sedangkan nasab Iblis dari api. Padahal kemuliaan orang disisi Allah tidak ditentukan oleh nasab. Tapi oleh amal dan ma’rifatnya kepada Allah SWT.

Disamping itu, kesimpulan Iblis bahwa api lebih baik daripada tanah juga merupakan kesimpulan yang salah. Atau minimal kesimpulan yang perlu diperdebatkan kembali. Bukankah tanah menjadi sumber makanan makhluk hidup? Bukankah tanah menjadi tempat tinggal makhluk hidup?  Bukankah tanah berguna untuk membuat berbagai perkakas kehidupan? Memang, api juga penting, namun sikap Iblis yang mengabaikan peran tanah ini adalah sikap yang salah. Sebab kehidupan di dunia ini tidak akan bisa jika tidak ada tanah, sebagaimana juga tidak bisa jika tidak ada api atau air.

Bahkan kemudian kesombongan Iblis ini harus di bayar dengan mahal. Ia yang sebelumnya menduduki peringkat yang tinggi disisi Allah akhirnya melorot tingkatanya menjadi makhluk yang paling hina. Ini perlu menjadi catatan khusus bagi kita. Bahwa kesombongan sangatlah berbahaya. Kesombongan ini bukan hanya menyebabkan seseorang turun derajatnya disisi Allah SWT, tetapi juga bisa menyebabkan seseorang menjadi musuh Allah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:

    ”Barangsiapa yang merendahkan diri, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Dan barangsiapa yang sombong, maka Allah akan merendahkanya.”
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabada:

    ”Barangsiapa yang mengagungkan dirinya dan sombong dalam cara jalanya, maka dia akan menemui Allah, sedangkan Allah akan murka padanya.” (HR. Ahmad).

Selanjutnya, pada ayat 35 Allah memerintahkan Adam AS agar beliau bersama isterinya tinggal di surga. Ayat ini memberikan petunjuk yang kuat bahwa manusia sebenarnya adalah penduduk asli surga. Karena itulah, setiap manusia hendaklah merindukan surga, sebagaimana seorang perantauan yang rindu kembali ke kampung halamanya. Apalagi jika keadaan kampung halamanya itu jauh lebih nyaman dan lebih menyenangkan daripada tempat perantauanya. Mereka yang sehari-harinya sibuk dengan dunia hingga  melupakan akhirat, seperti orang yang lupa akan kampung halamanya sendiri.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa di surga Adam AS mendapatkan fasilitas yang serba cukup. Mereka dipersilahkan untuk memakan makanan apapun yang ada si surga. Hanya saja Allah melarang mereka untuk memakan satu pohon. Disini tidak ada penjelasan jenis pohon itu.

Lantas dimana letak surga di dalam ayat ini? Apakah maksud surga itu dilangit atau di bumi? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama’. Kalangan Ahlussunnah wal jam’ah mengatakan bahwa surga ini terletak dilangit. Sedangkan kaum Mu’tazilah, salah satu aliran yang menyimpang dalam Islam mengatakan bahwa surga ini terletak dibumi. Demikian juga terjadi perbedaan pendapat tentang jenis pohon yang terlarang bagi Adam AS tersebut. Sebagaian mengatakan pohon anggur, dan lain-lain. Hanya saja, berbagai pendapat yang berbeda tersebut tidak didasarkan kepada ayat-ayat Al Qur’an atau hadits-hadits yang shahih. Sehingga dengan demikian berbagai pendapat tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Hanya saja yang perlu diambil pelajaran dari ayat ini adalah bahwa kita janganlah mempersulit diri untuk mencaritahu tentang apa-apa  yang kita tidak menerima manfaat dari pengetahuan tersebut kecuali sedikit. Mengetahui jenis pohon yang dimakan Adam AS bukanlah pengetahuan yang memberikan kontribusi kepada perbaikan hidup manusia atau kepada penigkatan ketakwaan manusia, pasti Allah atau Rasulullah Saw akan menjelaskan kepada kita.

Jadi, pelajaran yang kita petik di sini adalah agar kita berfikir dan bersikap efisien. Selama ini banyak diskusi yang terjadi untuk mendiksikan hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan nyata kehidupan manusia. Mereka mendiskusikan warna anjing Ashabul Kahfi, jenisnya, atau mereka mendiskusikan jenis semut yang menghentikan barisan tentara Nabi Sulaiman AS. Padahal disekitar mereka, fakir miskin dan anak-anak terlantar membutuhkan perhatian mereka. Ini adalah contoh sikap yang tidak efisien dalam hidup. Istilah Wahidiyah, tidak menerapkan Taqdimul aham fal aham tsummal anfa’ al anfa’. Allahu a’lam

Agar Tidak Meremehkan Nikmat


Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW pernah bersabda:
    ”Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan janganlah kamu melihat orang yang lebih tinggi dari kalian, karena yang demkian itu lebih baik supaya kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian. (HR. Muslim).
Dalam haditsnya yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
    ”Jika salah seorang kalian melihat kepada mereka yang dilebihkan dalam harta dan akhlak perilaku, maka hendaklah ia juga melihat orang yang lebih rendah darinya dan yang lebih rendah juga dari orang yang dilebihkan tadi.” (HR. Bukhari).
Kedua hadits ini menawarkan resep kebahagiaan yang ternyata sederhana, yakni dengan berlaku bersyukur terhadap nikmat yang telah dikaruniakan oleh-Nya. Kunci kebahagiaan seseorang dalam menjalani hidup ini berpangkal dari keridhaannya. Istilah lainya nerimo. Keridhaan ini berguna untuk menjadi mesin pendorong rasa syukur terhadap segala nikmat yang telah dikaruniaakan terhadap dirinya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Melihat kepada yang lebih rendah utamanya dalam hal keduniawian – akan lebih banyak faedahnya daripada kerap mendongak (melihat) ke atas. Disamping akan terhindar dari perasaan iri, dengki dan rakus, juga akan menumbuhkan rasa syukur kepada nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita.
“Alhamdulillah, saya bisa sekolah, teman saya baru saja DO (drop out). Alhamdulillah, saya sudah kerja, sementara teman saya masih nganggur. Alhamdulillah, saya masih bisa berjalan, baru-baru ini teman saya kena stroke ndak bisa jalan… dan seterusnya.” Seperti inilah nantinya rasa syukur itu akan tumbuh, buah dari seringnya kita melihat ke bawah.
Bagi orang yang selalu nggersulo, tidak terima dengan nikmat yang diberikan, ia akan selalu susah dalam melalui hari-hari hidupnya. Ada rasa sedih, menyesal, yang kemudian tersulut menjadi api kedengkian. Setiap orang yang ada dihadapanya seakan-akan berubah menjadi membosankan dan menyebalkan. Sehingga ia akan kerap merasa menderita, gelisah dan tak terpuaskan. Orang seperti ini rasanya tak seharipun punya kebahagiaan, yang didapatinya adalah suasana serba sumpek dan sempit. Bahkan sekalipun telah dikaruniai kehormatan hidup, ia merasa bosan dan jiwanya berpaling dengan apa yang tidak ada dalam dirinya. Meski ditanganya tergenggam nikmat, tetapi mata dan hatinya berpaling dari itu semua.
Dalam hal tertentu, kita dianjurkan untuk melihat keatas. Ini untuk menjadikan pelajaran agar kita terus meningkat, memiliki himmah yang besar sehingga kita bisa mencapainya. Melihat ke atas disini adalah dalam hal keimanan dan kesadaran, keilmuan, semangat, akhlak dan amal shalih.
Bahkan dalam berbagai kesempatan, Romo Yahi RA seringkali menyampaikan kisah orang-orang “hebat” dalam hal riyadhah dan mujahadah untuk dicontoh, ditiru, diteladani, bahkan membuat kita iri hingga didalam hati timbul semacam bronto = mengapa mereka bisa sementara saya tidak. Sering-sering melihat keatas untuk memacu semangat mujahadah, semangat riyadhah, semangat berjuang, semangat belajar, semangat beramal shaleh seperti ini adalah sangat dianjurkan.
Maka kesimpulanya: dalam hal keduniawian, seseorang dilarang untuk tidak melihat keatas. Sebab hal itu akan menumbuhkan sifat iri, dengki, menghilangkan rasa syukur dan menyusahkan diri sendiri. Terima dan syukuri apa yang diberikan Allah. Karena Allah telah berjanji,
    ”Jika sekiranya kalian bersyukur, niscaya akan Aku tambah nikmat-nikmat yang telah Ku berikan itu. Dan jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku amat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Namun dalam hal akhirat dan kemaslahatan; kita dianjurkan untuk melihat ke atas, agar menjadi motivasi dan himmah, hingga kita juga bisa melakukanya. Nah, sekarang, apakah selama ini kita lebih sering melihat keatas dalam hal keduniawian, atau sebaliknya? Kurang lebihnya seperti itulah gambaran apa yang terjadi nanti. Allahu a’lam


Sang Kekasih Telah Kembali (Rasulullah SAW)


Subuh terakhir itu, Rasulullah SAW tampil dihadapan para sahabatnya dengan roman muka berseri-seri. Para sahabat gembira bukan main dan menyangka kesehatan Rasulullah SAW berangsur pulih. Usamah bin Zaid panglima perang muda beliau datang menghadap Nabi meminta izin memberangkatkan pasukanya ke Syam. Demikian halnya Abu Bakar meminta izin untuk mendatangi Binti Kharija salah satu istrinya yang tinggal di luar kota Madinah. Nabi pun mengizinkan. Setelah itu para sahabat berpencar untuk melaksanakan aktivitasnya masing-masing termasuk Umar dan Ali.
Nabi kembali ke rumah Aisyah dengan perasaan bahagia melihat sahabatnya bersuka cita meski sesungguhnya Nabi merasakan badanya sangat lemah.
Di saat Nabi berbaring ditemani Fathimah putri tercintanya, Allah SWT memberi perintah kepada Malaikat Maut:
    ”Turunlah kepada kekasihKu dengan rupa yang sebagus-bagusnya dan bersikap lemah lembutlah kepadanya dalam menggenggam rohnya. Apabila ia telah memberimu izin, masuklah ke rumahnya. Tetapi bila tidak mengizinkan, jangan masuk kembali sajalah”!
Malaikat Izrail turun ke dunia dengan roman muka seorang Arab. Berdiri di depan pintu rumah Nabi dan mengucapkan salam. ”Assalamu’alaikum, wahai para keluarga rumah tangga Nabi dan sumber kerasulan! Apakah saya diizinkan masuk?” Fathimah menjawab, ”Hai hamba Allah, sesungguhnya Rasul Allah sedang sibuk dengan dirinya!” Malaikat Maut mengulang salamnya untuk ke dua kalinya; ”Assalamu’alaikum ya Rasul Allah dan wahai keluarga rumah tangga kenabian, apakah saya diperbolehkan masuk?” Nabi SAW mendengar suara itu dan bertanya, ”Fathimah, siapa gerangan yang berada di depan pintu?” “Seorang lelaki Arab memanggil ayah, telah kukatakan padanya, bahwa Rasulullah repot dengan dirinya sendiri. Tetapi ia memandangku sehingga berdiri bulu romaku, aku merasa takut dan lemah lunglai seluruh persendianku” jawab Fathimah.
”Tahukah engkau siapa sebenarnya orang itu ya Fathimah?” Tanya Nabi.
”Tidak tahu ayah”, sahut Fathimah.
”Dialah pemusnah segala kelezatan hidup, pemutus segala kesenangan, pencerai berai persatuan, perubuh rumah tangga dan penambah ramainya penghuni kubur”. jawab Nabi.
Mendengar jawaban Rasul SAW, Fathimah menangis sejadi-jadinya sembari meratap, ”Wahai, akan meninggalnya kiranya penutup Nabi. Wahai bencana, akan berpulang kiranya orang takwa terbaik dan akan lenyaplah Pemimpin dari segala tokoh suci. Duhai celaka, pasti terputuslah wahyu dari langit. Akan terhalanglah aku dari mendengar kata-kata ayah mulai hari ini, dan aku tidak pernah lagi mendengarkan salam ayah sejak hari ini.”
”Ya Fathimah, engkaulah keluargaku yang pertama kali berhubungan dengan aku”. Fathimah dan terhibur dan tersenyum mendengar kata-kata Nabi SAW. Kemudian beliau berkata kepada Malaikat Izrail yang sedang menunggu diluar, ”Silahkan masuk hai Malaikat Maut !” Malaikat Maut masuk sembari mengucapkan salam sejahtera untuk Nabi. Nabi membalasanya lalu bertanya, ”Apakah kedatanganmu untuk mengunjungiku ataukah untuk mencabut nyawa?”
“Aku datang untuk kedua-duanya, mengunjungimu dan bertugas mencabut nyawa. Itupun jika engkau mengizinkan. Jika tidak saya akan kembali”. Sahut Malaikat Maut.
”Wahai Malaikat Maut, dimana Jibril?” Tanya Rasul SAW.
”Saya tinggalkan dia dilangit dunia dan para Malaikat senantiasa memuliakanya”. jawab Malaikat Maut. Tak berapa lama datanglah Jibril dan duduk dekat kepala Rasul SAW.
”Apakah engkau tidak tahu, bahwa perintah Allah telah dekat?” Tanya Rasul pada Jibril.
”Benar, ya Rasul Allah”. sahut Jibril.
”Gembirakanlah saya! Kehormatan apa yang akan saya peroleh disisi Allah?”
“sesungguhnya saat ini pintu-pintu langit telah dibuka. Para Malaikat telah siap berbaris menunggu kedatangan rohmu di langit. Demikian halnya pintu-pintu surga telah dibuka serta para bidadari telah berhias untuk menyongsong kedatangan rohmu”. tutur Jibril.
”Alhamdulillah”, jawab Rasulullah SAW.
Kemudian Rasul kembali berkata, ”Ya Jibril! Gembirakanlah aku, dengan keadaan umatku nanti di hari kiamat!”
“Kuberi engkau kabar gembira, bahwa Allah SWT telah berkata:
    ”Sesungguhnya Aku (Allah) telah mengharamkan surga bagi semua Nabi-nabi sebelum engkau memasukinya terlebih dahulu, dan Allah juga mengharamkan surga kepada sekalian umat manusia sebelum umatmu memasukinya terlebih dahulu.” jawab Jibril.
“Sekarang senanglah hatiku dan hilanglah rasa gundahku”. Selanjutnya Nabi menghadapkan wajah ke Malaikat Maut. ”Wahai Malaikat Maut, sekarang mendekatlah kepadaku!” Malaikat Maut mendekat dan mengadakan pemeriksaan untuk menggenggam roh Nabi SAW. Tatkala roh itu sampai di pusat, Nabi berkata kepada Malaikat Jibril: Alangkah beratnya penderitaan maut itu!” Jibril tak sampai hati melihat keadaan Nabi sehingga ia memalingkan wajahnya sejenak dari memandang Rasul SAW.
”Apakah engkau tidak suka melihat wajahku, Ya Jibril,” Tanya Nabi SAW.
”Wahai kekasih Allah, siapakah gerangan yang sampai hati melihat wajahmu, sedangkan engkau berada dalam situasi kritis sekarat maut.?” jawab Jibril.
Anas bin Malik pembantu setia Nabi berkata;
    ”Adalah roh Nabi SAW sampai didadanya dan beliau waktu itu masih dapat berkata: “Aku berpesan kepada kamu semua tentang shalat dan tentang hamba sahaya yang berada di bawah tanggung jawab kamu”.
Dan pada penghujung nafasnya yang terakhir beliau menggerakkan kedua bibirnya dua kali dan akupun mendekatkan telingaku baik-baik, maka aku masih sempat mendengar beliau berkata dengan pelang-pelan: ”UMMATI! UMMATI! maka dijemputlah roh suci beliau di usia yang ke-63 tahun dalam keadaan wajah berseri-seri dan bibir manis yang bagaikan hendak tersenyum pada hari senin 12 Rabiul Awwal, yakni kala matahari telah tergelincir di tengah hari pada tahun ke-11 Hijriah, bersesuaian dengan tanggal 3 juni tahun 632 Masehi. innalillahi wa inna iaihi raji’un

PEMAKAMAN RASULULLAH SAW

Hari itu, berita kematian Rasulullah SAW yang dipancarkan dari rumah ummul Mukminin Siti Aisyah RA sangat mengejutkan. Kaum Muslimin gempar. Betapa tidak, subuh di hari itu, Rasul masih bersama mereka di masjid dalam keadaan sehat dan ceria. Rasul masih berfatwa dan melantunkan doa-doa.
Duka mendalam merasuki dada setiap kaum muslimin. Mereka menangis pilu bukan semata karena telah kehilangan Nabi dan pemimpin tercinta, melainkan juga menangisi berita langit yang tak kan turun lagi. Karena si pembawa berita telah pergi.
Diriwayatkan, pada saat itu kaum muslimin bagai anak ayam kehilangan induknya. Mereka panik, tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Bahkan ada yang tidak menerima kenyataan takdir jika Rasulullah SAW telah wafat.
Umar bin Khaththab RA sama sekali tidak mempercayai jika Rasul SAW telah wafat. Meski dia telah melihat sendiri jasad Rasulullah SAW sudah tidak bergerak lagi, tapi Umar RA menganggap Rasul SAW hanya pingsan. Jadi nanti akan siuman kembali. Dia malah marah kepada orang-orang yang mengingatkan pada kenyataan yang terjadi. Sambil menghunus pedangnya dia berteriak dihadapan orang banyak; ”Siapa yang berani mengatakan bahwa Muhammad SAW telah mati, akan saya pukul dengan pedang ini”
Selanjutnya ia berkata, ”Aku tidak mau mendengar seorang berkata, Muhammad telah wafat. Dia menjadi Rasul, menerima wahyu seperti Musa bin Imran yang tahanuts menyendiri dari kaumnya selama empat puluh hari. Kemudian ia kembali setelah di kabarkan mati. Demi Allah, Rasulullah SAW akan kembali pula sebagaimana halnya Musa kembali.”
Orang-orang mengerumuni Umar RA. Mereka berharap yang dikatakan Umar RA benar adanya. Rasul hanya pergi untuk sementara waktu dan akan kembali ke tengah-tengah mereka. Akan tetapi disana-sini kaum wanita memukul-mukul muka sendiri sebagai tanda, bahwa Rasul SAW telah wafat. Sungguhpun demikian, Umar RA tetap saja meyakinkan kaum muslimin bahwa Nabi SAW tidak wafat. Kaum muslimin semakin sedih dan bingung. Mana yang mesti dipercaya.
Saat kaum muslimin dalam kondisi-kebingungan, Abu Bakar RA datang dengan tergesa-gesa dan langsung menuju ketempat Raslulullah SAW disemayamkan. Dilihatnya Rasul SAW terbaring diatas tempat tidurnya. Lantas dia membuka kain yang menutupi wajah Nabi SAW. Mencium wajah mulia itu sambil menangis tersedu-sedu. Ia pun berkata, “Demi ayah bundaku, alangkah indahnya hidupmu dan alangkah indahnya matimu! Demi Allah, sekali-kali tidak akan terkumpul dua kematian atas dirimu. Adapun mati yang telah ditentukan Tuhan bagimu, telah engkau temui. Dan setelah itu takkan ada lagi kematian yang datang kepadamu buat selama-lamanya.”
Abu Bakar RA lalu keluar menemui orang-orang yang sedangmengerumuni Umar RA yang terus meyakinkan orang-orang bahwa Rasul SAW tidak mati.
”Umar sabar dan duduklah!” Umar RA tidak mau duduk sehingga Abu Bakar RA mengulangi perintahnya dua hingga tiga kali. Karena Umar RA tidak juga duduk, akhirnya Abu Bakar RA angkat bicara. Setelah mengawalinya dengan puja-puji sanjungan kehadirat Allah SWT, ia berkata antara lain, ”Wahai manusia! Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati. Tetapi barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup, tidak akan mati-mati untuk selamanya.” Kemudian dia menyitir firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 144 yang artinya:
    ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, Sungguh, telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik kebelakang (murtad)? Barangsiapa yang balik kebelakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Begitu Abu Bakar RA usai membaca ayat tersebut, orang-orang tersadar dan yakin bahwa Nabi SAW telah wafat.
Sementara Umar RA sendiri langsung lemas lunglai seakan tubuhnya tak bertulang hingga tersungkur ke tanah. ”Sekarang aku yakin bahwa Nabi SAW telah meninggal.” Ucapnya.
Setelah itu kaum muslimin saling bertemu dan saling menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Rasulullah SAW.
Kemudian Ali bin Abi Thalib RA, Fadhal bin Abbas dan Usamah bin Zaid RA memandikan Rasulullah SAW tanpa membuka baju yang melekat ditubuh Rasulullah SAW. Saat memandikan NAbi SAW, mereka mencium bau harum semerbak dari tubuh Nabi SAW yang suci. Sehingga Ali RA berkata, ”Demi bapak dan ibuku, alangkah harumnya engkau diwaktu hidup dan mati.” meski tubuh Rasul SAW sudah wangi, tapi Ali tetap melaksanakan wasiat Nabi SAW untuk melumuri tubuh Nabi SAW dengan misk di waktu wafatnya.
Usai dimandikan dan dikafani dengan 3 lapis kain putih, Rasul SAW dibaringkan di atas ranjang. Lalu kaum muslimin dipersilahkan masuk secara bertahap untuk menshalati Nabi SAW setelah terlebih dahulu dari kalangan ahli bait yang menshalatinya. Mereka shalat, menyampaikan shalawat lalu keluar sembari membawa perasaan duka yang mendalam. Awan kelabu, benar-benar memayungi kalbu kaum muslimin ketika itu.
Abu bakar RA dan Umar RA kemudian juga masuk, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada beliau Rasul SAW. Setelah shalat jenazah dengan kaum muslimin, Abu Bakar RA dan Umar RA berkata, ”Salam bagimu ya Rasulullah, beserta rahmat dan berkah Tuhan. Kami bersaksi, bahwa Nabi dan Rasulullah SAW telah menyampaikan risalah Tuhan, telah berjuang di jalan Allah sampai Allah memberikan pertolongan untuk kemenangan agama. Ia telah menunaikan janjinya, dan menyuruh orang menyembah hanya kepada Allah, tiada sekutu bagi-Nya.” dengan penuh sayahdu dan khusyu’, kaum muslimin mengucapkan ”Amin”.
Usai menshalati Nabi SAW, mereka berdiskusi tentang tempat pemakaman beliau. Abu Bakar RA berkata, ”Kuburkan beliau di tempat beliau meninggal. Karena aku mendengar Rasul bersabda, “Tak ada seorang pun Nabi yang mati kecuali ia dimakamkan di tempat ia meninggal.”
Di waktu senja, setelah semua kaum muslimin memberikan penghormatan terakhirnya, akhirnya ranjnag itu di angkat dan beliau dimakamkan di bawahnya. Upacara pemakaman terjadi pada malam Rabu 14 Rabiul Awal, dua hari setelah Rasul SAW berpulang ke rahmatullah. Allahumma shalli ‘ala Muhammad

ISTIQOMAH

Untuk menjadi seorang spesialis, seorang ahli, tentu membutuhkan sebuah proses yang cukup panjang dan berat. Paling tidak, kita butuh keseriusan pengorbanan waktu yang tidak sedikit. Tapi, dengan cara itulah kita baru dapat menikmati pekerjaan yang kita tekuni. Seorang profesor misalnya, terkadang lupa dengan lingkunganya karena telah menemukan sebuah kenikmatan luar biasa dari kerja yang telah dilakoninya selama  bertahun-tahun.

Meraih puncak kenikmatan ibadah kepada Allah pun tidak jauh berbeda dengan realita di atas. Perlu kesungguhan dan istiqomah. Ketika akan beramal, seringkali kita terjebak pada pilihan besarnya pahala amal ibadah semata, lalu mengabaikan niat dan keikhlasan serta kemungkinan kita mengulang amal itu di waktu yang lain. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda:
    “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Muslim).

Seringkali pada saat-saat tertentu kita mengalami kondisi pasang, ibadah sangat giat, mujahadah pun  kuat semalam suntuk. Karena baru saja dapat motivasi yang membuat semangat terlecut. Di sini ada semacam pemaksaan diri, karena baru saja mendapat sebuah rangsangan. Bila daya rangsang itu habis, maka lenyap pulalah semangat ibadah itu.

Dalam konteks ini, setelah mendapat motivasi, memang seharusnya kita meningkat. Tapi yang diperlukan disini adalah peningkatan itu hendaknya bergerak stabil. Tidak sekali start langsung besar. Setelah itu pet, mati sama sekali. Perilaku seperti ini hampir sama maknanya dengan membebani diri sendiri. Kita lupa, bahwa dalam kesinambungan dan konsistensi beramal ada keistemewaan yang tak terduga; berupa nilai plus dihadapan Allah ketika kita berhasil menaklukan musuh dalam diri kita, yaitu nafsu.

Bayangkan, jika disetiap tengah malam yang gelap gulita, saat manusia terlelap dalam tidurnya, tapi justru kita terbangun melawan rasa kantuk untuk bermunajat kepada Allah SWT. Pantas jika kemudian Allah membalasnya dengan berbagai kebaikan dan kemuliaan. Seperti kata Rasulullah SAW,
    ”Shalatlah di tengah malam ketika manusia terlelap dalam tidurnya, maka kamu akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah)

Istiqomah adalah fondasi dari track yang akan kita buat. Siapapun yang ingin membangun kesuksesan, baik lahir maupun batin, ia harus memperbaiki keistiqomahanya.

Untuk menjadi seorang ‘ahli’; ahli ibadah, ahli mujahadah, ahli doa dan ahli apapun juga, termasuk ahli mahabbah dan makrifat, semuanya bertumpu pada niat, tekad dan istiqomah. Maka ketika kita telah memiliki sebuah pilihan untuk menjadi seorang ‘ahli’, selanjutnya marilah kita kuatkan niat dan tekad serta konsisten menapaki perjalanan kita.

Memang, adakalanya kita merasa sedang tak berdaya. Karena penurunan iman melanda diri sebab banyaknya maksiat. Hati kita kerap bolak-balik. Bagai gelombang, ada pasang ada surut. Akibatnya, terkadang ibadah kita istiqomah, tapi seringkali juga acak-acakkan. Disinilah letak area perjuangan kita.

Yang terpenting  adalah kita tidak boleh putus asa. Bila suatu saat kita terjerembab pada kemalasan, maka segeralah bangkit. Kita harus salalu siaga. Siaga dalam arti selalu antisipatif terhadap perubahan yang terjadi pada diri kita. Juga siaga dalam arti selalu memperhatikan perjalanan waktu dan kesempatan yang ada agar tak terlewat secara sia-sia.

Karenanya, agar keistiqomahan kita dalam semua aktifitas terjaga, buatlah sebuah perncanaan. Sebab perencanaan adalah bagian dari keberhasilan kita memanfaatkan momentum dan kesempatan. Sebuah langkah yang mungkin dianggap kurang berhasil, tapi bila sudah sesuai dengan rencana yang baik, itu masih lebih baik ketimbang sebuah  langkah yang mungkin berhasil tapi dilakukan tanpa rencana.

Kenapa? Karena hakekatnya perencanaan itu mengajarkan orang untuk lebih berhati-hati dan tidak ceroboh. Keberhasilan sebesar apapun bila dilakukan tanpa rencana akan mendidik orang untuk ‘menggampangkan’ sesuatu pekerjaan. Dan bila itu terjadi berarti ia akan terjatuh pada kesempatan yang lain.

Intinya, istiqomah adalah pondasi yang akan membuat kita senantiasa terjaga dalam jalur yang tepat. Wallahu a’lam

Jangan Istiqomah dengan yang satu ini! (kemaksiatan)


Istiqomah sangat dianjurkan. Namun dalam kebaikan. Konsistensi sangat diperlukan. Tapi dalam koridor amal  dan ibadah. Jangan sekali-kali kita istiqomah dan konsisten dengan yang satu ini: Kemaksiatan

Maksiat yang secara konsisten dilakukan, bisa membuat kita terlena bahkan ketagihan. Mungkin pada mulanya melakukan, masih tersimpan rasa malu dan penyesalan. Tapi karena tak jua dihentikan, lama kelamaan terus berulang dan terasa akrab. Tak lagi meresahkan jiwa.

Maksiat itu, sekecil apapun tetaplah maksiat. Pasti ada konsekuensinya. Sebab Allah telah menegaskan,
    ”Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah (biji sawi)pun, niscaya dia akan melihat (balasanya)pula.”

Akan tetapi tidak ada maksiat yang kecil jika terus dilakukan. Sebab, maksiat adalah pelanggaran. Dan pelanggaran adalah dosa. Seperti kata seorang ulama mengingatkan,
    ”Janganlah kamu melihat besar kecilnya dosa yang kamu lakukan, tapi lihatlah betapa besarnya Dzat yang kamu tentang.”

Dan jika kita membiarkan diri ini terus-menerus dalam kubangan maksiat, suatu saat nurani kita akan buta. Seperti kata Muhammad Al Wasithi RA,
    ”Orang-orang yang terbiasa dengan maksiat, mereka menganggap keburukan perilaku adalah suatu ketulusan, kerakusan adalah kesenangan, cita-cita yang rendah adalah ketabahan, sehingga mereka buta dari jalan, dan melalui jalan kesempitan. Akibatnya, tidak ada kehidupan berkembang di tengah-tengah mereka. Tidak ada ibadah yang mensucikan mereka.”

Yahya bin Muadz RA pernah berpesan,
    ”Ada enam hal yang termsuk tipuan paling besar. Diantaranya; mengharapkan ampunan terus menerus melakukan dosa tanpa penyesalan. Merasa dekat dengan Allah tetapi tidak melakukan ketaatan. Menunggu taman surga tetapi selalu menyemai benih neraka. Dan mendambakan kasih sayang Allah tetapi selalu melanggar ketentuan-Nya.”

Di sini, kualitas ibadah kita yang kita lakukan selama ini, menjadi penting untuk kita cermati, agar kita dapat meneropong dan menemukan sebab-sebab mengapa kita tetap saja konsisten berbuat maksiat. Barangkali karena ibadah kita tidak tepat. Di sana-sini masih terdapat banyak kekuarangan, baik yang disadari maupun yang tidak kita sadari, yang sesungguhnya itu yang membuat amal ibadah kita sia-sia. Hingga tidak mampu mencegah kita dari berbuat maksiat.

Karena itu, yang terpenting buat kita sekarang adalah segeralah bertobat. Perbanyak memohon ampunan-Nya. Memohon diberi istiqomah dalam kebaikan dan dijauhkan dari berbuat maksiat.. sekecil apapun.

Konsisten atau istiqomah dalam maksiat jangan sampai menimpa kita. (Naudzubillah min dzalik!). sebab, itulah sebenarnya racun yang akan membunuh kita. Cepat atau lambat. Dalam banyak hal, ia juga akan membebani orang lain.

Yaa Robbbanallahumma shalli sallimi. ‘Ala Muhammadin Syafi’il umami. Wal ‘aali waj’alil anaama musri’iin. Bil waahidiyyati li Robbil aalamiin. Yaa Robbanaghfir yassi iftah wahdinaa. Qorrib wa allif bainana ya Robbana.

Peranan Istiqomah Dalam Perjuangan


Dalam Islam, satu hal yang penting adalah istiqomah. kata ini bearasal dari kata qomaa yang berarti berdiri. Kemudian berubah bentuk menjadi enam huruf (sudasi) dengan mengalami sedikit perubahan makna. Kata ini memiliki beberapa pengertian.
Pertama, istiqomah bermakna berkesinambunganya sebuah pekerjaan. Ketika seseorang melaksanakan sebuah amalan secara periodik dan terus-menerus sesuai dengan periode tertentu, maka orang tersebut berarti telah melaksanakan amalan dengan istiqomah. Sebagai lawanya dari makna ini di jawa dikenal dengan istilah dat nyeng, byar pet.  makna dari kedua kata diatas adalah beramal dengan tidak mengikuti periode waktu yang teratur. Adakalanya hanya menggebu-nggebu pada awalnya kemudian melemah, dan seterusnya hilang. Atau beramal dengan kualitas yang sama tapi dengan periodisasi yang tidak teratur. Atau bisa juga dengan beramal walaupun teratur namun  dengan kualitas dan kuantitas yang tidak seragam.

Makna kedua, dari istiqomah adalah sikap untuk konsisten dengan bentuk awal dari pekerjaan atau amalan. Ketika seseorang menekuni suatu bidang pekerjaan atau tanpa memperdulikan hambatan dan tantangan, maka ia disebut dengan istiqomah. Sebagai lawan dari makna ini adalah sikap untuk berganti-ganti pekerjaan atau amalan. Hampir sama dengan lawan pengertian pertama di atas, hanya saja pada makna kedua ini, seseorang tetap melakukan pekerjaan atau amalan, namun dengan bentuk yang berbeda.

Rasulullah SAW mengajarkan sikap istiqomah ini. Bahkan beliau SAW menyebutnya sebagai sikap  keberagaman yang   paling disukai Allah SWT. Dalam hal ini beliau SAW bersabda:
    ”Demi Allah, Allah tidak akan bosan menerima amal kalian hingga kalian bosan. Adapun amal yang paling disukai-Nya adalah apa-apa yang dilakukan terus-menerus oleh pelakunya.” (HR. Muttafaq Alaih)

Dalam menjaga istiqomah ini pula, maka Rasulullah SAW menganjurkan bagi mereka yang karena suatu hal tidak rutin melakukan amalanya untuk menyusulkan amalan tersebut. Dalam hal ini baliau bersabda:
    ”Barangsiapa yang tertidur dimalam hari (sehingga tidak melakukan amalan malamnya), kemudian ia membacanya (dengan menyusulkan) antara waktu subuh dan dhuhur, maka ia dicatat seolah-olah membacanya di waktu malam.” (HR. Muslim)

Pada bagian lain Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Umar RA:
    ”Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan. Ia bangun tengah malam (shalat malam) kemudian (di lain waktu) meninggalkan shalat malam.” (HR. Muslim)

PERAN ISTIQOMAH DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH

Sebagaimana sering disitir oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo,  bahwa hakikat dari perjuangan Wahidiyah adalah Perjuangan Rasulullah SAW. Atau dengan kata lain bahwa hakikat  dari perjuangan Wahidiyah adalah perjuangan Islam itu sendiri. Sehingga dengan demikian, perjuangan Wahidiyah memiliki medan cakupan luas.

Cakupan perjuangan Wahidiyah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Ada aspek spiritual, ada aspek syariah, ada aspek ekonomi, ada aspek pendidikan dan masih banyak aspek-aspek yang lain. Karena itulah, perjuangan yang luas medanya ini tidak cukup membutuhkan waktu satu atau dua tahun. Bahkan bisa puluhan tahun. Dan andaikan perjuangan tersebut telah mencapai target sasarannya, masih ada perjuangan baru yang jauh lebih berat lagi. Yaitu perjuangan untuk mempertahankan capaian-capaian tersebut.

Dari sinilah, kita tahu bahwa perjuangan Wahidiyah memerlukan kader-kader yang sanggup untuk berjuang secara terus-menerus. Di mana mereka mencurahkan waktunya, baik siang atau malam, suka ataupun duka, untuk terus-menerus berjuang dibelakang  Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, ila yaumil qiyamah

Di samping itu, sebagai sebuah perjuangan, Wahidiyah juga mesti bergerak secara istiqomah (konsisten dan berkesinambungan) sebagaimana telah diarahkan sasaranya oleh Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Madjid RA. Ketika kemudian terjadi pembelokan arah perjuangan, maka hal ini terjadi pembelokan arah perjuangan, maka hal ini membawa akibat dua akibat yang fatal dan merugikan.

Pertama, adalah akan tersia-sianya perjuangan yang dengan susah payah dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya. Ibarat seorang yang akan membangun masjid, ketika masjid tersebut hampir jadi ternyata kemudian dialih fungsikan menjadi restoran. Betapa sia-sianya tetes keringat para tukang dan kuli serta uang yang diinfaqkan oleh para dermawan bagi pembangunan masjid.

Demikian pula dengan Wahidiyah. Jika proses transfer semangat perjuangan kepada kader-kader perjuangan tidak berjalan baik, bukan tidak mungkin Wahidiyah akan jatuh kedudukanya. Dari sebelumnya sebagai wadah dan kendaraan pembinaan umat untuk sadar kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW menjadi sebuah kendaraan politik atau lembaga pengumpul modal umat. Sudah tentu hal ini akan membuat perjuangan para pendahulu akan tersia-sia.

Kedua, pembelokan arah dan sasaran perjuangan akan menimbulkan kehancuran bagi generasi-generasi berikutnya. Perjuangan Wahidiyah yang oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA diarahkan sama dan seirama dengan perjuangan Rasulullah SAW secara kaffah (menyeluruh) tentunya akan menghasilkan masyarakat yang whusul kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Di samping itu, perjuangan ini juga akan menghasilkan masyarakat yang tentram dan sejahtera lahir batin.

Namun ketika arah perjuangan ini dibelokkan oleh para kader pejuang Wahidiyah ke jalan dan sasaran lain, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya generasi pengikut nafsu dan Iblis. Sudah tentu, jika hal ini terjadi maka arah perjuangan pun akan berbeda atau bahkan akan berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Mualif Shalawat Wahidiyah QS wa RA dan oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo.

Ketiga, ketidak-istiqomahan dalam berjuang akan menimbulkan kehancuran ummat secara umum. Wahidiyah sebagai sebuah perjuangan sudah tentu berorentasi pada perbaikan ummat. Atau dalam bahasa dakwahnya, berorentasi pada amar ma’ruf nahi munkar. Karena itulah, peranan Wahidiyah sangat penting bagi masyarakat dalam rangka menyelamatkan ummat dari kehancuran. Apalagi dalam konteks zaman ini. Dimana-mana nilai negative dari dunia barat secara bebas masuk nyaris tanpa filter di tengah-tengah masyarakat kita.

Jika arah perjuangan Wahidiyah tidak istiqomah diatas jalan yang telah digariskan oleh para pendahulu, maka secara otomatis  ummat akan kehilangan penuntun dan pemandu perjalanan mereka. Mereka tidak lagi dituntun oleh “tangan-tangan Ke-Tuhanan” yang membawa mereka menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat. Namun mereka dituntun oleh “tangan-tangan syetan” yang menuntun mereka menuju kehancuran dan neraka Allah SWT.

HAL-HAL YANG MERUSAK ISTIQOMAH

Dalam perjalanan sejarah Islam, telah banyak jama’ah-jama’ah dan lembaga perjuangan yang kemudian hancur karena tidak adanya keistiqomahan di dalam perjuangan. Ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah lembaga perjuangan kehilangan istiqomah di dalam perjalananya.

Pertama, adalah ketidak-tahuan penerus lembaga terhadap arah perjuangan, idealisme dan semangat perjuangan lembaga itu sendiri. Akibatnya, lembaga tersebut kemudian mengambil arah perjuangan dan idealisme baru yang bahkan tidak jarang bertentangan dengan idealisme awal perjuangan.

Contoh kasus adalah apa yang menimpa Kerajaan Mataram di Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senopati dan mengemban   Tugas untuk melanjutkan misi Kesultanan Demak dalam Meng-Islamkan Tanah Jawa. Idealisme ini Nampak dengan jelas pada gelar panembahan Senopati sebagai Sayyidin Panotogomo (pemimpin dan peñata Agama).

Di masa-masa awal Mataram, yaitu di era Panembahan Hanyokrowati dan Sultan Agung, idealisme Islamisasi ini dilaksanakan dengan gencar. Seperti pada pendirian masjid-masjid di seluruh wilayah kerajaan serta dekrit pergantian penanggalan Hindu dengan penanggalan Jawa yang mengadopsi system penanggalan Islam. Demikian juga dengan pendirian berbagai pesantren dan pengiriman da’i-da’i berbagai tempat.

Kedua, terlenanya generasi penerus oleh kemewahan dan capaian material yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Banyak terjadi, saat sebuah lembaga perjuangan mulai mendeklarasikan diri, maka para pendiri rela untuk hidup sederhana dan bahkan mengorbankan diri demi cita-cita perjuangan. Dengan semangat dan tekad kuat ini kemudian lembaga  tersebut berkembang dan menjadi lembaga kuat. Satu dua generasi idealisme ini masih melekat dalam kehidupan para pelaku lembaga tersebut.

Namun kemudian muncul generasi-generasi baru yang tidak pernah mengalami kegetiran dan susah payah perjuangan menegakkan lembaga tersebut. Yang mereka tahu saat mereka lahir adalah keberadaan sebuah lembaga yang mapan dan kokoh dengan segala kemewahan materialnya. Keadaan ini menjadikan para generasi penerus menjadi generasi yang lemah dan takut untuk berkeringat. Hanya akhirnya lembaga tersebut dipimpin oeh generasi-generasi yang lemah tiada memiliki semangat dan kemauan yang keras. Akibatnya, lembaga tersebut semakin melemah sedikit-demi sedikit dan akhirnya hancur sama sekali.

Kasus ini menimpa Bangsa Arab hingga saat ini. Di awal-awal Islam, Bangsa Arab terkenal sebagai bangsa prajurit. Kehidupan yang sederhana serta kemahiran menunggang kuda, memanah, bermain pedang dan tombak menjadi ciri khas bangsa Arab pada saat itu. Keadaan ini yang kemudian menyebabkan mereka menjadi bangsa yang kuat serta selalu siap untuk hidup keras. Dan dengan modal inilah, ditambah dengan semangat jihad akhirnya mereka manaklukkan berbagai bangsa dan Negara di wilayah luas.

Kemudian munculah generasi baru yang sama sekali tidak pernah merasakan pahit getirnya perjuangan. Mereka hanya kenal dengan kemewahan dan kemudahan hidup. Hari-hari mereka isi dengan kesenangan dan pesta pora. Tidak ada lagi tradisi berlatih memanah, bermain pedang atau menunggang kuda. Inilah yang kemudian menyababkan Bangsa Arab menjadi lemah. Hingga kemudian mereka jatuh  ke dalam kontrol bangsa Turki yang memelihara tradisi kemiliteran secara istiqomah.

Ketiga, tidak mengenal manfaat dari sebuah perjuangan. Sebuah perjuangan tentunya merupakan kegiatan yang mengeluarkan keringat dan membutuhkan kerja keras. Namun semua itu akan dilakukan ketika sebuah komunitas mengetahui dibalik perjuangan itu ada buah yang membahagiakan, baik itu bersifat material maupun moral. Baik di dunia maupun di akhirat.

Kaum Muslimin pada awal Islam memiliki semangat yang menyala-nyala untuk memperjuangkan Islam. Mereka bergerak di berbagai tempat untuk mengajak bangsa-bangsa di dunia ini masuk Islam. Dan semua ini mereka lakukan biaya sendiri serta dengan mengorbankan  banyak waktu yang mungkin oleh orang lain dipergunakan untuk bersenang-senang.

Hal ini karena dalam perjuangan tersebut mereka mengetahui dan merasakan bahwa ada hasil yang akan mereka peroleh sebagai buah dari perjuangan, terutama besok di akhirat mereka akan mendapatkan surga . hingga kemudian munculah slogan ’Isy kariiman aw mut syhiidin (hidup mulia atau mati sebagai syahid).

Namun kemudian munculah generasi yang kurang yakin dengan janji-janji Allah bagi para pejuang. Mereka tidak merasa ada perbaikan nasib di dunia setelah berjuang  menegakkan keyakinan. Disisi lain mereka juga tidak sempurna keyakinanya terhadap janji-janji kemuliaan di akhirat sebagai balasan dari perjuangan yang mereka lakukan. Hingga akhirnya generasi tersebut menjadi generasi yang tidak memiliki semangat juang. Mereka akhirnya hanya menyibukkan diri untuk meraih kesenangan sesaat berdasarkan kepentingan nafsu. Mereka tidak lagi tertarik dengan ide-ide “tinggi” yang harus mereka perjuangkan. Jika ini sudah terjadi, maka jangan mengharap sebuah lembaga atau jama’ah atau sebuah bangsa akan jaya. Yang dapat dipastikan adalah tinggal menunggu sebuah kehancuran. Hanya saja kapan waktunya dan bagaimana bentuk kehancuran itu, sejarah yang akan menceritakan. Semoga semua ini tidak terjadi pada perjuangan Wahidiyah. Amin amin yaa Robbal Alamien. Allahu a’lam


Agar Istiqomah dalam Berjuang Tetap Terjaga


Kaum muslimin sepakat bahwa istiqomah sangat penting bagi keberhasilan sebuah perjuangan. Tanpa sikap istiqomah, semua cita-cita hanya akan menjadi mimpi kosong yang tidak akan mungkin terealisir. Bukan hanya itu saja. Sebuah karya perjuangan yang besar dan hebat dapat hancur karena tidak adanya sikap istiqomah di dalam perjuangan. Atau bisa jadi, sebuah perjuangan yang tulus dan cinta kepada kebenaran akan menjadi perjuangan untuk menegakkan kezaliman ketika sikap istiqomah hilang dari para pejuang kebenaran dan keadilan.

Yang menjadi masalah berikutnya adalah bagaimana menumbuhkan sikap istiqomah didalam perjuangan. Khususnya dalam konteks perjuangan Wahidiyah. Ada beberapa hal penting agar semangat perjuangan dapat selalu hidup dalam hati para pejuang Wahidiyah.

Pertama, membangun kesadaran bahwa perjuangan Wahidiyah pada dasarnya adalah perjuangan Islam dan bahkan perjuangan Rasulullah SAW. Dengan demikian, para pejuang harus sadar bahwa keterlibatan seseorang dalam perjuangan Wahidiyah akan dibalas oleh Allah dengan banyak anugerah, baik di dunia maupun di akhirat. Perjuangan Wahidiyah menjadikan seseorang mudah mendapatkan pertolongan Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an:
    ”Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, maka Allah pasti akan menolong kalian dan akan mengokohkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad: 7).

Dengan kesadaran seperti ini, seseorang akan melihat bahwa keterlibatan dalam perjuangan Wahidiyah bukan merupakan beban kehidupanya. Sebaliknya, keterlibatan seseorang di dalam perjuangan merupakan salah satu cara untuk meraih pertolongan Allah SWT.

Perjuangan Wahidiyah juga menjadikan seseorang mendapatkan kemuliaan dunia akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah:
    ”Kalian adalah sebaik-baik ummat yang diturunkan atas manusia, mengajak manusia melakukan kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran serta beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imraan: 110).

Dari ayat diatas, seharusnya para pejuang Wahidiyah memiliki keyakinan yang kuat bahwa keaktifan dalam perjuangan Wahidiyah merupakan sarana untuk mendapatkan prestise (kehormatan) sempurna, baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan manusia. Para pejuang  Wahidiyah mestinya juga harus yakin behwa mereka tidak akan menjadi hina jika benar-benar tulus dalam berjuang mengikuti Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo.

Salah satu cara untuk memperkuat keyakinan di atas adalah dengan melihat kenyataan di lapangan. Di sana banyak kader-kader perjuangan yang oleh Allah diberikan kemudahan dalam urusan hidupnya. Mereka diberi rumah tangga yang sakinah, anak yang shaleh dan shalehah serta kecukupan rezeki. Sementara disisi lain, banyak masyarakat yang tidak peduli dengan perjuangan, hidupnya penuh dengan berbagai permasalahan yang tidak kunjung selesai. Sebagaian mereka bermasalah dengan keluarganya, sebagaian yang lain bermasalah dengan anak-anaknya. Dari sikap diatas, Insya Allah akan tumbuh semangat baru untuk terlibat lebih aktif dalam perjuangan Wahidiyah.

Kedua, membangun kesadaran bahwa andaikan seseorang meninggalkan gelanggang perjuangan Wahidiyah, dan kemudian dia berdiam diri tanpa berbuat sesuatu untuk perbaikan ummat, maka keadaan akan lebih buruk lagi. Baik untuk dirinya sendiri maupun untuk ummat secara keseluruhan. Bencana demi bencana serta kesulitan demi kesulitan silih berganti akan menimpa dirinya.

Ketika seseorang meninggalkan gelanggang perjuangan, bararti ia telah meninggalkan barisan menyeru kebaikan dan pencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Padahal ancaman Allah SWT terhadap mereka yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar sangatlah serius. Pada tataran pribadi, ia akan mendapatkan laknat Allah SWT sebagaimana fatwa Hujjatul Islam Imam Al Ghazali RA:
    ”Jika kemunkaran telah Nampak secara terang-terangan sedangkan orang alim (mengerti) diam saja, maka dia yang akan dilaknat Allah SWT.” (Sirojut Thalibin, I: 193/ Kuliah Wahidiyah 196).

Dalam tingkat keluarga, ketika seseorang tidak perduli dengan perjuangan, maka kemunkaran teresebut suatu saat bisa memasuki rumahnya dan menimpa anggota keluarganya. Sebagaimana Nampak pada beberapa keluarga orang-orang shaleh dalam masyarakat kita. Mungkin karena faktor ekonomi sehingga mereka cukup berpuas diri dengan ibadah individual tanpa memperdulikan apa yang terjadi dilingkunganya. Sehingga tanpa terasa anaknya menjadi korban dari tersebarnya kemunkaran dalam masyarakat.

Sedangkan dalam tataran masyarakat, ketika amar ma’ruf nahi munkar ditinggalkan, sehingga kemaksiatan Nampak tanpa takut dan malu dari pelakunya, maka Allah akan menimpakan siksa kepada masyarakat secara merata. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
    ”Tidaklah sebuah kaum yang didalamnya ada orang yang melakukan kemaksiatan sedangkan mereka mampu mencegahnya kecuali Allah akan menyiksa mereka secara keseluruhan sebelum mereka meninggal. (Tanbihul Ghofilin hal. 32).
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda,
    ”Allah SWT memberikan wahyu kepada Jibril AS, ‘Wahai Jibril, balikkan kota ini dan kota ini beserta sekalian penduduknya’! Jibril AS bertanya, ‘Yaa Allah, bukankah di sana ada hamba-Mu fulan yang sekejap pun tidak pernah maksiat kepada-Mu?’ Allah menjawab, ‘Balikkan ia dan mereka (penduduk kota) karena wajahnya tidak pernah berubah (menjadi marah) sama sekali ketika terjadi maksiat secara terang-terngan’.” (HR. Al  Bayhaqi/Irsyadul Ibaad hal. 72).

Dari hadits diatas, maka kita bisa memahami mengapa lumpur panas masih belum berhenti keluar dari porong. Padahal disekitar lokasi lumpur Lapindo tersebut banyak juga orang-orang yang mengisi hari dengan membaca Al Qur’an atau melaksanakan shalat sunnah atau berdzikir dan lain-lain. Kita juga bisa memahami mengapa terjadi Tsunami di Aceh padahal daerah ini dikenal dengan sebutan serambi Mekkah. Dan disana juga banyak Madrasah Diniyah (Dayah) serta masjid-masjid tak terhitung banyaknya. Mungkin saja semua ini karena masyarakat tidak memperdulikan tersebarnya kemunkaran dilingkunganya.

Ketiga, hendaknya para pejuang Wahidiyah banyak membaca atau mendengarkan kisah-kisah keistiqomahan (kekonsistenan) para salaf shalih didalam menegakkan kebenaran. Apa yang mereka alami dalam perjuangan saat ini, baik itu berupa cobaan materi atau keluarga atau tekanan lingkungan sangatlah ringan dibandingkan dengan cobaan dan hambatan para pendahulu dakwah.

Di antara para salaf ada yang disiksa secara fisik, seperti Bilal atau Ammar bin Yasir. Sebagian yang lain ada yang dirampas hartanya, seperti Shuhaib bin Sinan. Sebagian ada yang cacat didalam dakwah. Sebagian yang lain harus menahan kelaparan yang sangat karena blockade ekonomi yang ketat. Bahkan sebagian yang lain ada yang mati dalam menegakkan Islam.

Sedangkan apa yang dialami saat ini sangatlah kecil dibandingkan para pendahulu dakwah diatas. Walaupun saat ini ada cobaan, toh kita masih bisa makan. Kita juga tidak mengalami siksaan fisik atau pun boikot sosial yang mengancam keselamatan nyawa kita. Bahkan sebenarnya perjuangan saat ini relatife tidak ada hambatan. Ketika ada hambatan fisik, masih ada polisi yang melindungi masyarakat. Ketika ada cacian, masih ada pintu dialog atau bahkan perdebatan terbuka. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak terlibat aktif dalam perjuangan.

Keempat, bergaul dengan mereka yang memiliki semangat perjuangan dan mampu memberikan semangat kepada kita. Sebagaimana kita ketahui, teman memiliki peranan penting dalam memacu semangat hidup manusia. Ketika seseorang mempunyai teman yang baik, maka ada kecendrungan kuat bahwa ia memiliki semangat untuk melakukan kebaikan. Bahkan tidak jarang tanpa melakukan pertemanan, tanpa pernah melakukan dialog dan tukar fikiran serta hanya sekedar memandang orang yang baik banyak menusia tertarik dan bersemangat untuk melaksanakan kebaikan.

Sebaliknya, ketika seseorang memiliki semangat yang rendah dalam berbuat kebaikan, maka ada kecendurngan yang kuat pula bahwa seseorang tersebut akan lemah semangat juangnya. Bahkan seseorang yang memiliki semangat yang kuat akan bisa menjadi penghianat menakala ia berteman dengan seorang penghianat. Bahkan banyak pula manusia bisa semangatnya untuk melaksanakan kebaikan menjadi hancur hanya karena melihat keadaan orang yang tidak memiliki semangat untuk berbuat kebaikan. Karena itulah, Rasulullah SAW mengingatkan:
    ”Perumpamaan teman yang shaleh dengan teman yang buruk seperti orang yang membawa minyak wangi dan peniup ububan pandai besi. Pembawa minyak wangi adakala memberikan kepada anda wangi-wangian, ada kalanya Anda membeli minyak wangi darinya dan ada kalanya kalian menemukan bau wangi padanya. Adapun peniup ububan pandai besi, maka adakalanya baju Anda terbakar dan adakalanya Anda menemukan  darinya bau yang busuk.” (HR. Bukhari).
Pada bagian lain Rasulullah SAW bersabda:
    ”Seseorang itu akan berada diatas agama teman dekatnya. Maka hendaknya kalian melihat kepada siapa ia berteman.” (HR. Bukhari).

Dalam masyarakat kita apa yang disinggung oleh Rasulullah SAW diatas banyak terjadi. Anak-anak sekolah yang berasal dari keluarga baik-baik karena mendapatkan teman yang tidak baik di sekolahnya maka akhirnya ia menjadi anak yang tidak baik. Sebailiknya, ada anak yang berasal dari keluarga kriminal kemudian masuk pesantren. Akhirnya karena faktor pertemanan ini pula anak tersebut menjadi anak yang baik.

Bahkan pertemanan dan kunjungan kepada orang yang sudah meninggal memiliki dampak kepada mereka yang melakukanya. Dalam konteks ini pulalah, menziarahi kuburan orang-orang shaleh menjadi penting dalam membangun semangat perjuangan. Seseorang yang berziarah ke kuburan pejuang bukan hanya sekedar untuk mendoakan. Namun dapat juga terjadi transfer semangat dari mereka yang meninggal kepada penziarahnya. Walaupun hal ini tidak selalu demikian keadaanya, namun pada umumnya hal ini berlaku pada kebanyakan manusia.

Cara Kelima, dalam menjaga dan membangkitkan semangat perjuangan adalah dengan usaha batiniyah. Usaha ini bisa dilakukan dengan memperbanyak doa kepada Allah SWT. Di dalam Wahidiyah, usaha ini dikenal dengan istilah Mujahadah. Hal ini karena memang segala gerak dan keadaan manusia, baik lahir maupun batin merupakan akibat dari perbuatan dan kekuasaan Allah SWT. Dalam Aqidah Ahlus Sunnah Wal jama’ah, seseorang bisa berbuat baik karena Allah SWT mencintainya. Sehingga dengan cinta tersebut ia gerakkan untuk berbuat kebaikan. Demikian pula ketika seseorang berbuat kejahatan, maka pada dasarnya Allah sedang menjauhkan orang tersebut dari cinta-Nya.

Dari cara berfikir inilah, maka kemudian tumbuh rasa butuh akan bimbingan dan pertolongan Allah SWT dalam menjaga iman dan semangat perjuangan kita. Rasulullah SAW mengajarkan dan memberi contoh hal ini kepada kita. Salah satu doa yang beliau baca setelah shalat adalah sebagai berikut.
    ”Yaa Allah, tolonglah kami untuk mengingat-Mu… untuk mensyukuri-Mu dan untuk beribadah dengan baik kepada-Mu.”
Pada bagian lain, beliau juga mengajarkan doa agar selalu diberi semangat dengan doa sebagai berikut.
    ”Yaa Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan dari keadaan lemah dan malas dari kepengecutan dan kekikiran dari tindihan hutang dan dominasi para penindas.”

Dalam Wahidiyah, Hadratul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf QS wa RA Mualif Shalawat Wahidiyah memberikan Aurad Mujahadah Peningkatan. Semua ini merupakan bentuk-bentuk upaya peningkatan semangat perjuangan dalam bentuk doa sebagaimana Rasulullah SAW juga memohon kepada Allah SWT peningkatan semangat berjuang dengan berdoa.

Akhirnya, sesungguhnya perjuangan Wahidiyah membutuhkan semangat yang terus menyala-nyala dan ikhlas tanpa pamrih. Karena perjuangan ini bukan sebuah perjuangan kecil dan bukan memiliki rentang waktu pendek. Tapi perjuangan raksasa dan dengan rentang waktu panjang hingga  hari akhir nanti. Semoga Allah SWT memilih kita untuk terlibat didalamnya sehingga kita tidak menyesal di akhirat nanti. Amien..


KONSISTEN dengan yang disampaikan


”Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)m u sendiri. Padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berfikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

Ayat ini diturnkan oleh Allah SWT berkaitan dengan sikap Yahudi Madinah. Ia mengatakan kepada menantunya dan sanak kerabatnya, ”Tetaplah engkau atas agama yang kalian peluk dan apa yang Rasulullah SAW perintahkan. Sesungguhnya ajaranya benar.” Sedangkan ia tidak mau beriman. (Asbabun Nuzul hal. 13 oleh Imam Al Wahidi)

Walaupun demikian, menurut Syekh Al Maraghi, isi ayat ini tidak hanya berlaku bagi kalangan Yahudi. Namun juga meluas kepada kaum muslimin. Yaitu agar mereka menjadi orang yang konsisiten dengan apa yang mereka sampaikan. Dalam hal ini ada beberapa hadits yang perlu untuk menjadi bahan renungan bagi kita semua jika kita menjadi juru dakwah ummat. Rasulullah SAW bersabda,
    ”Saat aku di-isra’-kan, aku melewati kaum yang menggunting bibir mereka dengan gunting dari api. Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapa mereka wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah juru khutbah ummatmu. Mereka memerintahkan manusia untuk berbuat baik dan mereka melupakan diri mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak berakal?” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa ada seseorang yang dilemparkan di dalam neraka. Maka terburailah usus-ususnya. Ia berputar-putar di neraka sebagaimana berputarnya keledai pada gilingan. Kemudian ahli neraka berkumpul kepadanya dan berkata, ”Wahai Fulan.. Bukankah Anda memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami untuk berbuat kemunkaran?” Orang tersebut kemudian menjawab, ”Aku memerintahkan untuk berbuat kebaikan namun aku tidak melaksanakanya. Aku juga melarang orang dari kemunkaran, namun aku sendiri melaksanakanya.” (Hadits Muttafaq Alaih).

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,
    ”Sesungguhnya sekelompok  ahli surga melihat sekelompok orang ahli neraka. Kemudian mereka berkata, ‘Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka? Demi Allah, kami masuk surga karan pengajaran kalian’. Maka penghuni neraka tersebut berkata, ‘Kami mengatakan sesuatu dan kami tidak melakukanya.” (HR. Ibnu ‘Asakir).

Ayat serta hadits-hadits diatas bukan berarti larangan bagi seseorang untuk mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran jika seseorang tidak konsisten. Jika seseorang mengajak kebaikan namun belum melaksanakan, maka hal tersebut bukan sebuah dosa. Demikian juga seseorang melarang kemunkaran namun ia tetap melaksankan kemunkaran tersebut, maka larangan tersebut bukan sebuah dosa. Namun yang menyebabkan orang-orang diatas masuk neraka adalah bahwa mereka berbuat kemaksiatan sebagaimana orang lain yang berbuat kemaksiatan juga masuk neraka.

Jadi, untuk memerintahkan kebaikan tidak harus menunggu seseorang mampu melaksanakan perintah tersebut. Memerintahkan seseorang untuk berhaji bukan harus dilakukan oleh orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Demikian juga mencegah kejahatan bukan berarti harus dilakukan orang yang 100% tidak pernah melakukan kejahatan. Rasulullah SAW bahkan bersabda,
    ”Perintahkan kebaikan meskipun kalian belum melaksanakanya. Dan cegahlah kemunkaran meskipun kalian belum sepenuhnya meninggalkan kemunkaran tersebut.” (HR. At Thabrani dalam Kitab Awsath dengan sanad yang hasan).

Karena itulah Syaikh Isma’il Haqqi berpendapat bahwa celaan pada ayat ini tidak berkaitan dengan ayat yang artinya (dan kalian melupakan diri kalian sendiri).
Ayat diatas mengingatkan kepada kita betapa pentingnya sikap konsisten dalam kehidupan. Kesamaan antara ucapan dan perbuatan. Apa lagi jika hal ini berkaitan dengan para juru dakwah Islam dan lebih spesifik lagi berkaitan dengan penyiar dan da’i Wahidiyah. Ada beberapa hal  ketika sikap konsisten ini diabaikan oleh para juru dakwah/ da’i.

Diantaranya adalah bahwa sikap ketidaksamaan antara ucapan dan perbuatan ini akan menjadikan agama sebagai sesuatu yang tidak dipercaya. Semua da’i harus sadar bahwa baik atau tidaknya penerimaan seseorang terhadap dakwah tidak hanya ditentukan oleh kebaikan materi yang disampaikan. Tetapi juga oleh kesamaan antara sikap dan pembicaraan pada sang  penyampai. Ketika ada kesamaan antara sikap dan perbuatan ini pada para da’i, maka orang akan melihat agama dengan sikap hormat dan pada giliranya akan mengikutnya. Sebaliknya, ketika sang penyampai sendiri tidak melaksanakan apa yang ia sampaikan, maka hal ini berarti juga ia tidak begitu yakin dengan kebaikan apa yang ia sampaikan. Dan kalau ia sendiri tidak yakin, bagaimana mungkin ia mengharap orang lain untuk yakin terhadap apa yang ia sampaikan?

Yang lebih berbahaya adalah ketika kemudian orang hanya menjadikan agama hanya sebagai permainan atau obyek perlombaan. Orang sudah tidak lagi berfikir apakah nilai-nilai agama dilaksanakan oleh para pengikutnya atau tidak. Orang juga tidak lagi berfikir apakah orang-orang non muslim akan menerima Islam dengan dakwahnya. Tapi yang menjadi perhatian para da’i ini adalah bagaimana memenangkan kontes da’i. ia sibuk menyusun kalimat yang baik, kemudian menyampaikan dengan berapi-api. Dan yang lebih penting adalah bagaimana ia memperoleh hadiah yang disediakan oleh panitia.

Zaman ini, dimana agama hanya menjadi obyek perlombaan, atau agama menjadi obyek penelitian untuk mendapatkan gelar, atau alat untuk mendapatkan pengaruh, ada baiknya kita merenungkan kembali sabda Rasulullah SAW,
    ”Barangsiapa yang belajar ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk bersaing dengan para ulama atau untuk memalingkan wajah manusia kepadanya, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. At Turmudzi).

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda,
    ”Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya digunakan untuk mendapat ridha Allah, sedangkan dia mencarinya semata-mata untuk mendapatkan dunia, maka ia tidak mendapatkan baunya surga di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).



Menahan Marah

Dalam sebuah sabdanya Rasulullah SAW mengatakan,
    ”Kekuatan seseorang itu tidak diperagakan lewat kemampuanya berkelahi. Tapi kekuatan seseorang itu terletak pada kemampuanya mengendalikan diri saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan keutamaan menahan diri dan menahan marah. Orang yang mampu menahan marah saat kondisi dirinya bisa melakukanya, maka ia mendapatkan kemualiaan disisi Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
    ”Barangsiapa menahan marah ketika dia mampu melangsungkanya, maka Allah memanggilnya pada hari kiamat di hadapan makhluk, lalu dia memberi pilihan kepadanya untuk menikmati bidadari manapun yang dia inginkan.” (HR. Tirmidzi)

Himpitan ekonomi, fisik dan fikiran yang lelah oleh pekerjaan, waktu yang sedikit dan tugas yang banyak, mudah menjadikan orang sempit dada serta tersulut kemarahanya.

Kepada kita yang cepat tersulut, merasa panas karena kesal, sesak dada lalu mengumbar kata-kata kasar dan kotor atas sebuah keadaan, atau bahkan melampiaskan kemarahan dengan tangan, Rasulullah SAW berpesan, ”Jangan marah, jangan marah, jangan marah.” (HR. Bukhari). Rasulullah SAW mengajak kita berfikir sebelum berbuat dan menasehati kita untuk berbuat bijaksana. Karena, mungkin saja kita salah faham, salah infromasi. Mungkin  juga ada orang yang niatnya baik, namun keliru menyampaikanya.

Marah itu dari syaitan. Sedang syaitan diciptakan dari api. Jadi, kemarahan itu adalah api syaitan yang membakar dalam hati kita. Api itu yang bisa membakar dan melahap kehormatan dan kemuliaan kita. Jika kita menahan marah, sama dengan memadamkan api. Dan jika kita membiarkanya, berarti kita telah membiarkan api menyala-nyala lalu melahap diri kita sendiri sampai hangus terbakar.

Kemarahan memang tidak dilarang, ia tetap dibolehkan selama ia mempunyai landasan yang bersih, tulus, murni karena Allah SWT. Kemarahan bahkan harus dilakukan, pada waktu dan sasaran yang tepat. Tapi seringnya, kita sulit membedakan mana hawa panas kemarahan yang datang dalam diri dan mana yang dilandasi karena Allah SWT. Suasana seperti inilah yang sangat ditakuti oleh para salafussalih. mereka takut jika mereka terlanjur melampiaskan kemarahan yang bukan karena Allah. Meski pada awalnya mereka marah karena Allah.

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khatthab RA mendapati seorang rakyatnya sedang mabuk. Sayyidina Umar RA segera menangkap orang itu untuk di hukum. Si pemabuk tadi ternyata tidak menyukai tindakan Sayyidina Umar RA. Setelah di caci, sang Khalifah melepas tangan orang itu lalu pergi meninggalkanya. Kahlifah Umar RA ditanya,
    “Yaa Amirul Mukminin, kenapa setelah engkau dicaci justru engkau membiarkan orang itu?” Khalifah Umar RA berkata, ”Aku meninggalkanya karena ia telah membuatku marah. Andai aku tetap menghukumnya, berarti amarahku telah menguasai jiwaku. Aku tak ingin jika aku memukul seorang Muslim, terdapat unsur nafsuku di dalamnya.” (Al Mustathraf: 279)

Yang terakhir. Kita harus tetap mampu mengusai jiwa. Memegang kendalinya. Memimpin seluruh gerak-geriknya. Karena secara fikiran, kemarahan sering tak membawa penyelesaian yang baik terhadap suatu masalah. Dan… apabila kita sedang marah, maka lakukanlah beberapa hal:
  • Isti’adzah/ membaca ta’awudz (meminta perlidungan kepada Allah) karena marah itu pada umumnya merupakan bagian dari hasutan syaitan.
  • Wudhu, akan memadamkan marah. Sebagaimana hadits:
      ”Sesungguhnya marah adalah dari syaitan dan syaitan diciptakan dari api, serta api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, jika salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Ahmad dalam musnadnya: 2/226).
  • Merubah posisi. Ketika seseorang sedang marah, merubah posisi memiliki pengaruh dalam meringankan kemarahan. Sebagaimana sebuah hadits menyebutkan:
      ”Jika kamu marah ketika berdiri maka duduklah. Sedangkan jika kamu marah ketika duduk, maka berdirilah, atau berbaringlah.” HR. Ahmad dalam musnadnya: 5/152).
  • Diam. Juga merupakan obat yang bisa meredakan marah.
      ”Jika salah seorang dari kalian marah, maka hendaklah diam.” (HR. Ahmad dalam musnadnya: 1/239).

Semoga kita semua oleh Allah dijauhkan dari amarah dan terhindar dari segala tipu daya syetan. Amin.. 

RASULULLAH SAW Sang Pemberi Fatwa

Allah SWT berfirman:
    ”Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka.” (QS. An Nisa: 127).

Firman Allah SWT tersebut menjadi bukti bahwa Allah SWT senantiasa membimbing Nabi Muhammad SAW dalam ilmu fatwa. Sehingga beliau mampu menjawab dengan tepat semua pertanyaan dan permasalahan yang dihadapi umatnya sesuai dengan kondisi penanya. Termasuk kemanfaatan fatwa tersebut bagi kehidupan dunia dan akhirat penanya. Seolah-olah Rasulullah SAW telah membaca kehidupan si penanya  sebelum datang minta fatwa. Hal itu tiada lain berkat cahaya kenabian, barokah wahyu serta taufik dan hidayah Allah SWT yang senantiasa mengiringi dalam setiap gerak dan langkah Rasulullah SAW.

Suatu hari seorang wanita tua renta datang menjumpai Nabi SAW. Dia bertanya tentang amalan yang tepat buat dirinya yang lemah, bodoh dan berusia sangat lanjut.
Nabi SAW bersabda,
    ”Hendaknya lisanmu tetap basah karena berdzikir kepada Allah.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Sungguh suatu fatwa yang sangat tepat, praktis dan mudah dilaksanakan serta disampaikan dengan gaya bahasa yang indah lagi ringkas. Si nenek renta itupun  pulang dengan langkah puas untuk mengisi bekal menyongsong kehidupan keabadian.

Di lain hari, Ghailan Ats Tsaqafi seorang lelaki dengan tubuh kuat dan besar datang menjumpai Nabi SAW. Pria perkasa tersebut bertanya tentang amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menjawab dengan tegas, ”Berjihadlah kamu di jalan Allah!”.

Lain lagi nasehat  Rasul SAW yang diberikan kepada Abu Dzar Al Ghifari RA, salah seorang sahabat yang berwatak emosional lagi keras. ”Jangan marah.. jangan marah.. jangan marah!” (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah). Itulah obat paling sesuai yang diperoleh Abu Dzar RA dari apotik kenabian.

Masih tentang Abu Dzar RA, Nabi SAW mengetahui kelemahan Abu Dzar RA serta minimnya daya tahan yang dimiliki sahabatnya dari suku Ghifar ini. Karenanya, Nabi SAW melarang Abu Dzar RA mendekati kekuasaan yang justru bisa menjerumuskannya pada kehinaan. Abu Dzar RA di mata Nabi SAW adalah salah satu sahabat yang berakhlak mulia dan berkarakter, tapi dia tidak berbakat dalam urusan pemerintahan. Karana kasih sayang Rasul SAW dan menjaga kemuliaan Abu Dzar RA, beliau menyuruh Abu Dzar RA agar tidak terlibat dalam urusan kekuasaan.

Suatu hari Muadz bin Jabal RA salah satu dai Nabi SAW ini mendapat tugas berdakwah di Yaman. Sebelum berangkat, Muadz RA di ingatkan oleh Nabi SAW,
    ”Sesungguhnya engkau akan mendatangi banyak kaum dari kalangan ahli kitab.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Abbas RA).

Peringatan Nabi SAW tersebut mengandung maksud agar Muadz RA mengenal kadar pengetahuan obyek dakwah yang akan di datanginya, mengetahui kondisi mereka sehingga dakwahnya tepat sasaran.

Kepada Muadz RA, Nabi SAW juga berpesan tentang hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah. Pesan besar ini disampaikan pada dainya yang cerdas, tentu dengan maksud agar Muadz RA menyampaikanya kepada umat. Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya sang dai ini senantiasa berada dalam kondisi lirrasul-birrasul.

Sahabat lain bernma Husain bin Ubaid RA datang menjumpai Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bertanya kepadanya,
    ”Berapa tuhankah  yang engkau sembah?” Husain RA menjawab, ”Ada tujuh: satu yang ada dilangit dan yang enam ada di bumi.” Nabi SAW kembali bertanya, ”Siapa yang kau sembah saat suka dan dukamu?” Husain RA menjawab, ”Tuhan yang ada di langit”.Nabi SAW kemudian bersabda, ”Tinggalkanlah semua yang ada di bumi dan sembah sajalah Tuhan yang ada di langit.” Nabi SAW lalu melanjutkan sabdanya, ”Katakanlah: Yaa Allah, berilah aku ilham agar beroleh petunjuk buat kebenaranku dan lindungilah aku dari kejahatan hawa nafsuku.” (HR. Turmudzi).

Doa tersebut sesuai dengan kondisi Husain bin Ubaid RA yang berada dalam kebimbangan akan ke Esaan Tuhan. Oleh karena itu sangat tepat bila doa pemberian Nabi SAW dipanjatkan sebagai bentuk permohonan perlindungan agar dijauhkan dari segala bencana yang timbul akibat ulahnya.

Imam Ali KW sang menantu tak luput dari pemberian nasehat Nabi SAW. Kepada Sang pintu ilmu ini, Rasul SAW berwasiat agar Imam Ali KW berdoa,
    ”Yaa Allah, berilah aku petunuk dan bimbinglah daku kearah yang lurus.” (HR. Muslim).

Bimbingan Rasul SAW kepada Imam Ali bin Abi Thalib KW ini sangat sesuai dengan kondisi Sang Imam di masa-masa mendatang setelah Rasulullah SAW wafat. Di zamanya, Imam Ali KW menghadapi kondisi dunia Islam yang carut-marut, fitnah tersebar dimana-mana dan berbagai tantangan lain yang di hadapi Imam Ali KW, baik secara pribadi maupun urusan kenegaraan. Sangat tepat kiranya tuntunan doa Rasulullah SAW, agar Imam Ali KW senantiasa memohon hidayah dalam nuansa kegelapan yang sedang melanda dunia Islam kala itu.

Yaa Syaafi’al Kholqish Sholaatu Wassalaam
    ‘Alaikanuu Rolkholqi Haa Diyal Anaam
Wa Ashlahu wa Ruuhahu Adriknii
    Faqodz Dholamtu Abadaw Warobbinii
Wa Laisa Lii Yaa Sayyidi Siwaakaa
    Fain Tarudda Kuntu Syakh Shonhaalikaa