Rabu, 14 Juli 2010

Mujadid dan Ghauts; Peranan dan Kedudukannya di Tengah Umat

Banyak yang belum faham antara perbedaan Ghauts dan Mujadid. Apa tugas-tugasnya, sejak kapan keberadaanya di tengah-tengah umat. Hal ini penting di bahas karena masih banyak kaum Muslimin khususnya Pengamal Wahidiyah yang salah mempresepsikan atau bahkan tidak tahu sama sekali keberadaan Ghauts dan Mujadid di muka bumi. Ini bisa di maklumi mengingat pembahasan tentang Ghautsiyah dan Mujadid tidak banyak beredar di tengah-tengah masyarakat. Kali ini Aham sengaja menurunkan kembali tulisan pembahasan Mujadid dan Ghauts yang di muat pada edisi 17/Ramadhan 1419H/Desember 1998M. hasil wawancara reporter Aham Vety Arova dengan KH. Ahmad Baidhowi (alm). Konon edisi 17 tersebut merupakan edisi terbaik dibanding edisi sebelumnya maupun sedudahnya sebagaimana dawuh beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid RA secara sirri kepada H. Indra Sukmana dari Cianjur.

Bisa Yahi jelaskan perbedaan antara Mujadid dan Ghauts?

Menurut arti bahasanya, Mujadid berarti  reformis atau pembaharu. Menurut Hadits Rasulullah SAW adalah orang yang di utus oleh Allah SWT pada setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki (memperbaharui) persoalan agama umat. Mujadid ini datang setelah Rasulullah SAW wafat.

Ghauts secara harfiah berarti penolong. Menurut ulama Tasawuf adalah pemimpin para waliyullah di muka bumi. Tugasnya adalah sebagai penuntun, pembimbing kepada keselamatan dan kebahagiaan yang di ridhoi Allah wa Rasulihi SAW. Istilah Ghauts banyak di bahas dalam dunia tasawuf.

Apakah ada pembagian dalam Mujadid itu?

Ada. Pertama, Mujadid sebelum Rasulullah SAW. Mujadid  ini di pegang oleh Rasul Ulul ‘Azmi, yang selanjutnya di sebut Mujadid Tasyri’ (pembawa syariat) yang di dalamnya juga meliputi bidang tahqiq (tasawuf). DI mulai oleh Nabiyullah Nuh AS dan di tutup oleh beliau Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin SAW. Adapun Nabi dan Rasul selain Ulul ‘Azmi bertugas meneruskan misi Rasul Ulul ‘Azmi tersebut.

Kedua, Mujadid setelah Rasulullah SAW. Mujadid setelah Rasulullah SAW ini secara garis besar ada dua. Yakni Mujadid Tahqiq dan Mujadid Ghairu Tahqiq atau Tasyri’ (fiqih) disini bukanlah tasyri’ pembawa syariat sebagaiman Rasul Ulul ‘Azmi. Melainkan Mujadid yang bertugas membangun dan mengembalikan syariat Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Sedangkan Mujadid Tahqiq adalah seseorang yang di utus oleh Allah SWT untuk membangun dan menghidupkan kembali ajaran dan tuntunan Rasulullah SAW untuk wushul makrifat kepada Allah SWT. Mujadid Tahqiqi disini adalah pemimpin para waliyullah (Sultanul Auliya’).

Kongkritnya bagaimana?

Begini, Mujadid Tasysri’ di jabat oleh lima Nabi dan Rasul Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad SAW). Jarak antara Ulul ‘Azmi dengan yang lainya kurang lebih 1000 tahun. Para beliau Ulul ‘Azmi ini (Mujadid Tasyri’) membawa syariat sendiri-sendiri. Bila Ulul ‘Azmi ini wafat, maka digantikan oleh yang baru dengan syariat yang lebih sempurna. Adapun para Rasul yang bukan Ulul ‘Azmi bukan Mujadid, bertugas menyampaikan syariatnya Mujadid Tasyri’ sebelumnya. Sebagai contoh, para Rasul yang hidup diantara Nabi Nuh AS dan Nabi Ibrahim AS yaitu Hud AS dan Nabi Shaleh AS. Beliau berdua bertugas menyampaikan syariatnya Nabi Nuh AS. Begitu juga Rasul yang hidup di antara Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, bertugas menyampaikan syariatnya Nabi Ibrahim AS, dan seterusnya. Walau sebagai penerus dan bukan Mujadid Tasyri’, dalam menjalankan tugas-tugas kerasulanya mendasarkan pada wahyu Allah SWT, bukan sekedar taklid atau mengikut.

Bagaimana halnya dengan tugas para nabi sebelum Nabi Nuh AS?

Sebelum Nabi Nuh AS tidak disinggung soal Mujadid. Sebab waktu itu belum ada syariat. Jadi tugas para Nabi seperti Nabi Adam AS, Nabi Syis AS sampai nabi Nuh AS yang berjarak kurang lebih 1000 tahun itu terbatas soal tauhid, memperbaiki cara hidup dan meningkatkan kesejahteraan anak cucunya sampai datangnya Nabi Nuh AS, maka Allah SWT memberikan batasan-batasan antara ibu dan anak-anak, saudara laki-laki dan saudara perempuan, juga mengaktifkan kewajiban-kewajiban, melaksanakan adab-adab beberapa perintah yang disusul dan diikuti para Rasul Ulul ‘Azmi berikutnya hingga syariatnya lebih meningkat dan lebih sempurna (Islam) yang di bawa Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin Nabi Muhammad SAW yang syariatnya meliputi syariat para Nabi dan Rasul sebelumnya. (Hasyiyah Showi juz 11 hal 29).

Setelah Rasulullah SAW wafat bukankah syariat agama sudah sempurna, tapi mengapa Allah masih mengangkat Mujadid?

Sebelumnya kan saya jelaskan bahwa Mujadid sepeninggal Rasulullah SAW bukan sebagai Mujadid pembawa syariat, tetapi Mujadid untuk memperbaiki (memperbaharui) syariat Rasulullah SAW yang sudah tidak murni lagi. Nah, Mujadid sepeninggal Rasulullah SAW ini akan muncul setiap penghujung 100 tahun. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
    yang artinya,”Sesungguhnya Allah mengutus seseorang setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki (memperbaharui) persoalan agama umat.” (HR. Abu Dawud, Al Hikam, Baihaki, dari Abu Hurairah RA/ Sirojut Tholibin I hal 6, Syamsul Ma’arif III hal. 324, Da’watut Taamah hal. 5).


Sehubungan dengan hadits tersebut, pada kalimat yab’atsu, artinya mengutus utusan, beliau Shahibul Wahidiyah Sayyidul Ghauts Sayyid Abdul Madjid Ma’ruf QS wa RA menggaris bawahi dengan dawuhnya:
    Yang artinya, ”Yang dimaksud Rasul disini (hadits ini) bukan Rasul pembawa syariat, tapi Rasul untuk menyempurnakan agama umat sehingga mencapai hakikat dan makrifat, sadar billah.” (Yawaqit juz II hal. 8)

Ini menurut tinjauan kacamata tasawuf, yakni Mujadid Tahqiq.

Kalau Mujadid Tasyri’ wafat, penerusnya adalah para Nabi dan Rasul sampai datangnya Mujadid Tasyri’ berikutnya. Lantas siapa penerus Mujadid Tahqiq jika beliau wafat?

Secara ototmatis para Ghauts yang bertugas diantara Mujadid Tahqiq yang meninggal dan Mujadid Tahqiq yang berikutnya. Dengan demikian maka setiap Mujadid pasti Ghauts, tetapi kalau Ghauts belum tentu Mujadid. setiap Ghauts itu pasti Wali dan setiap Walibelum tentu Ghauts. begitu pula para Rasul Ulul ‘Azmi pasti Mujadid Tasyri’, tetapi tidak setiap Nabi dan Rasul itu Mujadid Tasyri’.

Sepeninggal Rasulullah SAW penggantinya adalah para Khulafaur Rasyidin yang sekaligus menjabat sebagai Quthubul Aqthab dan Ghauts di zaman itu. Siapa Ghauts pertama sepeninggal Khulafaur Rasyidin?

Dalam kitab Yawaqit juz II hal. 82 ada keterangan bahwa Ghauts pertama menurut para ulama tasawuf adalah Sayyidina Hasan RA. Setelah beliau wafat di ganti Sayyidina Husein RA. Dalam kurun lain Ghauts fii zamanihi Syekh Abdus Salam bin Masyisy RA. Setelah beliau wafat di ganti oleh Syekh Abul Hasan Asy Syazali RA, diteruskan oleh Syekh Abbul Abbas Al Mursi RA. Begitu seterusnya.

Apakah para Ghauts itu mesti berdomisili di Timur Tengah, di Mekkah misalnya mengingat Ka’bah ada disana?

Dalam kitab-kitab tasawuf tidak ada yang menerangkan bahwa Ghauts itu harus orang Timur Tengah apalagi di Mekkah. Contohnya Syekh Imam Ghazali dari Persia (Iran), Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dari Baghdad (Irak).

Bagaimana proses pergantian dari Ghauts yang satu ke Ghauts berikutanya?

Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu haditsnya yang artinya kurang lebih:
    ”Sesungguhnya Allah mempunyai 300 wali di muka bumi ini yang hatinya seperti Nabi Adam AS, 40 wali yang hatinya seperti Nabi Musa AS, 7 wali yang hatinya seperti Nabi Ibrahim AS, 5 wali yang hatinya seperti Malaikat Jibril, 3 wali yang hatinya sebagaimana hati Malaikat Mikail, kemudian 1 wali hatinya seperti Malaikat Isrofil. Apabila wali yang satu itu meninggal dunia, Allah mengganti/mengangkat salah satu dari wali yang lima. Apabila salah satu dari wali yang lima meninggal dunia, Allah mengangkat salah satu wali dari yang tujuh. Apabila salah satu dari wali yang tujuh meninggal dunia, Allah mengganti salah satu dari wali yang empat puluh. Apabila salah satu dari wali yang empat puluh itu meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari wali yang jumlahnya tiga ratus. Dan apabila salah satu dari wali yang tiga ratus meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari sekian manusia beriman yang paling baik dalam segala bidang.” (Tafsir Sirojul Munir: 157, Siraajut Thalibin juz I: 161, Tanwirul Qulub: 414-415, Syawahidul Haq: 197, Al Haawi lilfataawi juz 11: 298 dan buku kuliah wahidiyah: 140)


Hadits di atas kan tidak menyinggung kata-kata Ghauts?

Memang benar, akan tetapi berkenaan dengan hadits diatas, ba’dul ‘arifin (ulama tasawuf) mengatakan:
    ”Wali atau yang disebut dalam hadits ini ialah Wali Quthub dan dialah Ghauts.” (Syawahidul Haq: 197)


Sehubungan dengan hadits tersebut, Syekh Sya’roni RA menafsirkan:
    ”Apabila Al Qhutub Al Ghauts meninggal, dalam kekosongan ini Allah mengganti mengangkat Ghauts yang lain.” (Yawaqit juz II: 80).
Beliau juga mengatakan:
    ”Semua zaman tidak akan sepi dari Rasul dan dialah Al Quthub, dialah tempat melihat Allah Al Haq di alam ini.” Ditegaskan lagi dengan Qaulnya: ”Maka bumi ini tidak akan sepi dari Rasul yang hidup Ruhani dan jasadnya, sedang dialah pusatnya (kegiatan) alam insani untuk menuju hakikat dan makrifat billah.” (Yawaqit juz II: hal 80).


Dari sini jelas dan tegas bila Ghauts meninggal,baik itu mendapat tugas merangkap sebagai Mujadid Tahqiq atau Ghauts penerus, Allah SWT akan mengangkat Ghauts yang lain.

Maksudnya Ghauts penerus?

Ghauts yang bertugas meneruskan amalan dan ajaran Ghauts yang merangkap Mujadid Tahqiq sebelumnya. Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Ghauts penerusnya adalah Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA. Dasarnya, banyak diantara pengamal yang di dawuhi oleh Mbah Yahi Mualif Shalawat Wahidiyah QS wa RA yang menyatakan bahwa Romo Yahi Abdul Latif adalah pengganti Mbah Yahi. Antara lain remaja dari Ngawi dan Pak Masykur Sekdes Dadapan Gampengrejo melaui mimpi. Keduanya di dawuhi oleh Mbah Yahi dengan redaksi yang hampir sama, Kowe meluwo anakku Abdul Laif, Pimpinan Umum. Iku sing ono Lillah Billahe. (Kamu ikut anakku Abdul Latif saja, Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah, itu yang ada Lillah Billahnya). Begitu dawuh Mbah Yahi QS wa RA kepada seorang remaja dari Ngawi.

Sedang untuk Pak Masykur Sekdes Dadapan, ketika dawuh Mbah Yahi sampai pada kata-kata Pimpinan Umum, Pak Masykur menangis sambil nida’ Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts berulang-ulang sampai Mbah Yahi menyuruhnya berhenti menangis, seraya beliau dawuh; wis-wis, saiki shalato makmumo kono.” (Sudah-sudah, sekarang kamu shalat dan makmum sana). Pada waktu itu yang menjadi Imam adalah Romo Yahi RA, badanya besar sekali tidak seperti biasanya. Dan masih banyak pengamal lain yang di dawuhi Mbah Yahi dengan redaksi yang berbeda.

Apakah dawuh Mbah Yahi dalam mimpi itu Haq?

Ya, Haq. Al ‘alamah As-Sufairi Al Halabi pengikut Madhzab Syafi’I RA mengatakan dalam Syarah bukhari:
    ”Sungguh sebagaimana syetan tidak mampu menyerupai Rasulullah SAW, begitu juga ia tidak mampu menyerupai Wali Kamil (Ghauts).” (Tanwirul Qulub: 520)


Apabila ada pengamal yang tidak yakin bahwa Romo Yahi RA adalah Ghauts Penerus, bagaimana metode untuk mengetahui Ghautsu Hadzaz zaman?

Istikharahlah, dengan membaca Al Fatihah 1000x, memperbanyak  “Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah  alaika robbi nii bi-idnillah wandur ilayya sayyidii binadhroh muushilatil lil hadlrotil ‘aliyah”  Dan ”Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts.” Di perbanyak tiap malam sampai ketemu dengan Ghautsu Hadzazzaman. Dengan catatan jangan sampai di setir oleh nafsu, harus ikhlas dan niat akan mengikutinya. Sebab pada zaman Mbah Yahi QS wa RA ada orang yang bertanya pada beliau:
    ”Sekarang ini sudah zaman Imam Mahdi apa belum?”  Mbah Yahi menjawab: Belum, coba kamu istikharah dengan membaca Al Fatihah 1000x.” Lain hari orang  tersebut sowan dan mengatakan: ”Saya ketemu Imam Mahdi, saya diberi tahu bahwa Ghautsnya Panjenengan Yahi.” Tetapi sayang seribu sayang karena tujuanya hanya ingin tahu saja, setelah tahu hanya cukup tahu, tidak taslim, tidak nderek Mah Yahi QS wa RA, tidak menjadi Pengamal Wahidiyah.


Saran untuk Pengamal Wahidiyah?

Di sarankan bagi pengamal yang belum yakin atau tidak yakin bahwa beliau Romo Pengasuh Perjuangan Wahidiyah sebagai Ghauts, agar mencari sampai ketemu, sebagaimana telah dituntunkan.

Senin, 12 Juli 2010

Manfaat gerakan shalat

Shalat adalah amalan ibadah yang paling proporsional bagi anatomi tubuh manusia. Gerakan-gerakannya sudah sangat melekat dengan gestur(gerakan khas tubuh) seorang muslim. Namun, pernahkah terpikirkan manfaat masing-masing gerakan? Sudut pandang ilmiah menjadikan shalat gudang obat bagi berbagai jenis penyakit! Saat seorang hamba telah cukup syarat untuk mendirikan shalat, sejak itulah ia mulai menelisik makna dan manfaatnya. Sebab shalat diturunkan untuk menyempurnakan fasilitasNya bagi kehidupan manusia. Setelah sekian tahun menjalankan shalat, sampai di mana pemahaman kita mengenainya?

TAKBIRATUL IHRAM
Postur: berdiri tegak, mengangkat kedua tangan sejajar  telinga, lalu melipatnya di depan perut atau dada bagian bawah.
Manfaat: Gerakan ini melancarkan aliran darah, getah bening (limfe) dan kekuatan otot lengan. Posisi jantung di bawah otak memungkinkan darah mengalir lancar ke seluruh tubuh. Saat mengangkat kedua tangan, otot bahu meregang sehingga aliran darah kaya oksigen menjadi lancar. Kemudian kedua tangan didekapkan di depan perut atau dada bagian bawah. Sikap ini menghindarkan dari berbagai gangguan persendian, khususnya pada tubuh bagian atas.

RUKUK
Postur: Rukuk yang sempurna ditandai tulang belakang yang lurus sehingga bila diletakkan segelas air di atas punggung tersebut tak akan tumpah. Posisi kepala lurus dengan tulang belakang.
Manfaat: Postur ini menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi tulang belakang (corpus vertebrae) sebagai penyangga tubuh dan pusat syaraf. Posisi jantung sejajar dengan otak, maka aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah. Tangan yang bertumpu di lutut berfungsi relaksasi bagi otot-otot bahu hingga ke bawah. Selain itu, rukuk adalah latihan kemih untuk mencegah gangguan prostat.

I'TIDAL
Postur: Bangun dari rukuk, tubuh kembali tegak setelah, mengangkat kedua tangan setinggi telinga.
Manfaat: I'tidal adalah variasi postur setelah rukuk dan sebelum sujud. Gerak berdiri bungkuk berdiri sujud merupakan latihan pencernaan yang baik. Organ-organ pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Efeknya, pencernaan menjadi lebih lancar.

SUJUD
Postur: Menungging dengan meletakkan kedua tangan, lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai.
Manfaat: Aliran getah bening dipompa ke bagian leher dan ketiak. Posisi jantung di atas otak menyebabkan darah kaya oksigen bisa mengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir seseorang. Karena itu, lakukan sujud dengan tuma'ninah, jangan tergesa gesa agar darah mencukupi kapasitasnya di otak. Postur ini juga menghindarkan gangguan wasir. Bagi wanita, baik rukuk maupun sujud memiliki manfaat luar biasa bagi kesuburan dan kesehatan organ kewanitaan.

DUDUK
Postur: Duduk ada dua macam, yaitu iftirosy (tahiyyat awal) dan tawarruk tahiyyat akhir). Perbedaan terletak pada posisi telapak kaki.
Manfaat: Saat iftirosy, kita bertumpu pada pangkal paha yang terhubung dengan syaraf nervus Ischiadius. Posisi ini menghindarkan nyeri pada pangkal paha yang sering menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan. Duduk tawarruk sangat baik bagi pria sebab tumit menekan aliran kandung kemih (urethra), kelenjar kelamin pria (prostat) dan saluran vas deferens. Jika dilakukan dengan benar, postur iftirosy mencegah impotensi. Variasi posisi telapak kaki pada iftirosy dan tawarruk menyebabkan seluruh otot tungkai turut meregang dan kemudian relaks kembali. Gerak dan tekanan harmonis inilah yang menjaga kelenturan dan kekuatan organ-organ gerak kita.

SALAM
Gerakan: Memutar kepala ke kanan dan ke kiri secara maksimal.
Manfaat: Relaksasi otot sekitar leher dan kepala menyempurnakan aliran darah di kepala. Gerakan ini mencegah sakit kepala dan menjaga kekencangan kulit wajah.

BERIBADAH secara kontinyu bukan saja menyuburkan iman, tetapi mempercantik diri wanita luar dalam.

PACU KECERDASAN
Gerakan sujud dalam salat tergolong unik. Falsafahnya adalah manusia menundukkan diri serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari pantatnya sendiri. Dari sudut pandang ilmu psikoneuroimunologi (ilmu mengenai kekebalan tubuh dari sudut pandang psikologis) yang didalami Prof Sholeh, gerakan ini mengantar manusia pada derajat setinggi-tingginya. Mengapa? Dengan melakukan gerakan sujud secara rutin, pembuluh darah di otak terlatih untuk menerima banyak pasokan darah. Pada saat sujud, posisi jantung berada di atas kepala yang memungkinkan darah mengalir maksimal ke otak. Itu artinya, otak mendapatkan pasokan darah kaya oksigen yang memacu kerja sel-selnya. Dengan kata lain, sujud yang tumakninah dan kontinyu dapat memacu kecerdasan. Risetnya telah mendapat pengakuan dari Harvard Universitry, AS. Bahkan seorang dokter berkebangsaan Amerika yang tak dikenalnya menyatakan masuk Islam setelah diam-diam melakukan riset pengembangan khusus mengenai gerakan sujud.

PERINDAH POSTUR
Gerakan-gerakan dalam shalat mirip yoga atau peregangan (stretching). Intinya untuk melenturkan tubuh dan melancarkan peredaran darah. Keunggulan shalat dibandingkan gerakan lainnya adalah shalat menggerakan anggota tubuh lebih banyak, termasuk jari kaki dan tangan. Sujud adalah latihan kekuatan untuk otot tertentu, termasuk otot dada. Saat sujud, beban tubuh bagian atas ditumpukan pada lengan hingga telapak tangan. Saat inilah kontraksi terjadi pada otot dada, bagian tubuh yang menjadi kebanggaan wanita. Payudara tak hanya menjadi lebih indah bentuknya tetapi juga memperbaiki fungsi kelenjar air susu di dalamnya.

MUDAHKAN PERSALINAN
Masih dalam pose sujud, manfaat lain bisa dinikmati kaum hawa. Saat pinggul dan pinggang terangkat melampaui kepala dan dada, otot-otot perut (rectus abdominis dan obliquus abdominis externuus) berkontraksi penuh. Kondisi ini melatih organ di sekitar perut untuk mengejan lebih dalam dan lama. Ini menguntungkan wanita karena dalam persalinan dibutuhkan pernapasan yang baik dan kemampuan mengejan yang mencukupi. Bila, otot perut telah berkembang menjadi lebih besar dan kuat, maka secara alami ia justru lebih elastis. Kebiasaan sujud menyebabkan tubuh dapat mengembalikan serta mempertahankan organ?organ perut pada tempatnya kembali (fiksasi).

PERBAIKI KESUBURAN
Setelah sujud adalah gerakan duduk. Dalam shalat ada dua macam sikap duduk, yaitu duduk iftirosy (tahiyyat awal) dan duduk tawarruk (tahiyyat akhir). Yang terpenting adalah turut berkontraksinya otot-otot daerah perineum. Bagi wanita, inilah daerah paling terlindung karena terdapat tiga lubang, yaitu liang persenggamaan, dubur untuk melepas kotoran, dan saluran kemih. Saat duduk tawarruk, tumit kaki kiri harus menekan daerah perineum. Punggung kaki harus diletakkan di atas telapak kaki kiri dan tumit kaki kanan harus menekan pangkal paha kanan. Pada posisi ini tumit kaki kiri akan memijit dan menekan daerah perineum. Tekanan lembut inilah yang memperbaiki organ reproduksi di daerah perineum.

AWET MUDA
Pada dasarnya, seluruh gerakan salat bertujuan meremajakan tubuh. Jika tubuh lentur, kerusakan sel dan kulit sedikit terjadi. Apalagi jika dilakukan secara rutin, maka sel-sel yang rusak dapat segera tergantikan. Regenerasi pun berlangsung lancar. Alhasil, tubuh senantiasa bugar. Gerakan terakhir, yaitu salam dan menengok ke kiri dan kanan punya pengaruh besar pada ke­kencangan. kulit wajah. Gerakan ini tak ubahnya relaksasi wajah dan leher. Yang tak kalah pentingnya, gerakan ini menghindarkan wanita dari serangan migrain dan sakit kepala lainnya.

Minggu, 11 Juli 2010

Shalat dan Indikatornya dalam Kehidupan Muslim

Ada beberapa nilai spiritual dan moral ada dalam shalat.

Pertama, adalah bahwa ketika seseorang melafadzkan takbir, baik ketika memulai shalat maupun ketika seseorang melakukan perpindahan dari rukun yang satu ke rukun yang lain, maka pada saat itu ia seharusnya mengeluarkan kesan kebesaran makhluk dalam hatinya menuju totalitas kekaguman, kerendahdirian dan penghormatan kepada Allah SWT. Kumandang takbir pada saat yang sama seharusnya secara spiritual menjadi pertanda runtuhnya berhala-berhala makhluk yang mendominasi manusia. Sebagaimana secara fisik kumandang takbir merupakan pertanda bagi runtuhnya berhala-berhala diskitar Ka’bah pada masa kemenangan Islam di kota Mekkah.
Ketika nilai ini dibawa di luar shalat, seseorang pasti akan menjadi manusia yang merdeka dari rasa takut ataupun gentar terhadap sesuatu kecuali Allah. Dengan demikian, akan muncul pribadi yang anti penindasan dan berani dengan lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Sudah tentu, dengan hadirnya manusia-manusia yang memiliki sifat pemberani seperti ini, maka masyarakat akan semakin sehat dan secara pasti akan bergerak menjadi masyarakat yang berkeadilan. Sebab setiap kali kedzaliman  muncul, akan muncul pula manusia-manusia yang tidak gentar dengan apapun kehebatan makhluk. Mereka ini akan meluruskan kedzaliman-kedzaliman tersebut dengan gagah berani. Walaupun semuanya harus mereka tebus dengan pengorbanan nyawa.

Kedua, Shalat merupakan latihan agar manusia selalu menjalin hubungan langsung dengan Allah SWT. Dalam shalat seseorang harus membaca Al Fatihah dan berbagai rangkaian doa. Hal ini merupakan symbol bahwa ruh manusia haruslah selalu berthawaf di titik Ilahiyah. Disana seseorang berbisik, mengadu, meratap, memohon serta mencurahkan seluruh isi hatinya kepada Allah SWT. Sementara jasad mereka selalu berkiprah dalam aktivitas kemanusiaan sebagaimana umumnya manusia. Mereka bekerja, berorganisasi, belajar, mengajar serta berjuang menegakan agama.
Dengan adanya kontak langsung inilah, maka sebenarnya mereka yang sedang melaksanakan shalat sedang menanam benih-benih kemenangan dalam kehidupanya. Bukankah Allah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya? Sebagaimana firman Allah:

    ”Dan berkata Tuhan kalian: Berdoalah kalian, maka Aku akan mengabulkan untuk kalian.” (QS. Al Mu’min: 60).


Dengan adanya kontak langsung inipula, pertolongan-pertolongan Allah akan segera turun dalam segala situasi dan kondisi. Asal mau bersabar menantikan pertolongan tersebut. Bukankah Allah sendiri yang memerintahkan agar manusia selalu mencari pertolongan-Nya dengan sabar dan shalat? Sebagaimana Allah berfirman:

    ”Dan carilah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya yang demikian itu amatlah berat kecuali atas orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45).


Generasi awal Islam dari kalangan sahabat dan tabi’in selalu menjadikan shalat sebagai sumber kekuatan sepiritual mereka. Dalam berbagai riwayat sejarah, pasukan Islam yang menaklukan berbagai Negara besar menghabiskan malamnya dengan shalat malam , doa dan membaca Al Qur’an. Demikian juga dengan Sultan Muhammad Al Fatih. Raja remaja dari kerajaan Turki Utsmani ini terkenal dengan penaklukanya terhadap pusat kota Konstantinopel, Kristen timur. Salah satu sumber kekuatan spiritual dari Beliau adalah bahwa Beliau  tidak pernah semalam pun terlewatkan dari Shalat tahajjud. Pasukan Beliau pun demikian. Semua pasukan Sultan Al Fatih  yang terlibat dalam penaklukan Konstantinopel adalah pasukan yang dipilih  dari mereka yang tidak pernah meninggalkan Shalat tahajjud semalam pun semenjak mereka baligh. Demikianlah keadaan generasi awal Islam. Walaupun mereka hidup dan berjuang dengan fasilitas sederhana, namun mereka toh akhirnya dapat menggapai kejayaan. Rahasia kesuksesan mereka adalah bahwa mereka menjadikan shalat sebagai sumber energi dalam berjuang.

Ketiga, gerakan-gerakan shalat merupakan gerakan-gerakan orang yang tunduk dan merendah kepada Allah. Karena itulah, jika seseorang menangkap makna ini, ia akan selalu tunduk dan patuh pada aturan-aturan ke-Tuhanan (ad dustuur al Ilahiyah). Dengan demikian, shalat akan menjadi faktor penting ketertiban umat. Belum lagi jika kita melihat bahwa aturan-aturan Islam akan member iefek terhadap kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa. Sehingga dengan demikian pelaksanaan shalat akan memberikan sumbangan nyata terhadap kemajuan umat bangsa.
Sikap tunduk dan merendah ini juga menjadi sebab kemuliaan, baik dalam tingkatan perorangan maupun kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

    ”Barangsiapa yang berendah diri, maka Allah akan mengangkatnya.” (HR. Abu Nu’aim/Hasan).


Dengan kerendah-hatian ini akan lahir sebuah masayarakat yang berakhlak mulia serta memiliki kelemahan-lembutan. Dengan demikian, akan timbul kehidupan yang penuh tata karma yang menyebabkan hati manusia akan merasakan ketenangan.

Keempat, dalam shalat kaum muslimin diajarkan untuk bertakhiyyat kepada Allah dan menyampaikan salam secara langsung kepada Rasulullah SAW. Assalaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh. (keselamatan , rahmat Allah dan keberkahan semoga dilimpahkan atas Engkau wahai Nabi). Hal ini merupakan wujud ikatan spiritual dan ikatan cinta antara Nabi dan Umatnya.
Jika kaum muslimin memahami nilai ikatan cinta ini, mereka akan selalu menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswah dalam sikap dan perilaku. Lebih dari itu, mereka akan selalu menangkap kehadiran Rasulullah SAW dalam keseharian kehidupan mereka. Inilah yang dialami oleh seorang tokoh sufi, Syaikh Abul Abbas Al Mursi dengan ungkapanya, ”Andaikata aku terhalang dari (memandang) Rasulullah SAW sekejap mata saja, maka aku tidak berani menghitung diriku sebagai seorang muslim.”

Kelima,dalam shalat seorang muslim selalu menyertakan kaum muslimin yang lain dalam doa-doa yang dipanjatkan. Hal ini misalnya dengan menggunakan kata ganti kami. Seperti dalam Al Fatihah,

    ”Hanya kepada-Mu yaa Allah kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.”


Penyertaan kaum muslimin ini juga dijumpai dalm doa tahiyyat, “Keselamatan semoga atas kami dan  atas hamba-hamba Allah yang saleh.”
Demikian juga ketika seseorang menutup salam. Ia akan menutupnya dengan ucapan salam kepada segenap kaum muslimin dan bahkan kepada segenap makhluk yang berhak mendapatkan doa salam. Semua ini merupakan isyarat bahwa seseorang haruslah memiliki kepedulian terhadap manusia. Hingga dalam shalat pun, mereka masih membawa kepedulian ini. Karena itulah, sangat aneh jika seseorang melakukan shalat, tapi mereka tidak peduli dengan nasib sesama kaum muslimin. Dalam sebuah hadits dikatakan,

    ”Barangsiapa yang tidak memperhatikan keadaan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka.”


Nilai kelima ini juga merupakan modal bagi kaum beriman agar mereka berlomba-lomba berbuat kebaikan kepada sesama. Apalagi dalam Islam sendiri kebaikan manusia tidak tergantung kepada ibadah ritual yang dilakukan. Tetapi lebih kepada sejauh mana seseorang memberikan kebaikan bagi manusia yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

    ”Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain.” (HR. Al Qadha’i/Hasan).


Demikianlah sebagian kecil dari nilai-nilai yang mulia dan berharga dari shalat kita. Jika kaum muslimin membawa nilai-nilai ini dalam keseharian mereka, pasti kebaikan yang besar akan mereka terima. Tinggal sekarang, sudahkah nilai-nilai tersebut sudah kita bawa dalam kehidupan nyata kita.
Wallahu’alam


Tenggelam dalam lautan Shalat

Salah satu pilar terpenting dalam Islam adalah shalat. Dibanding dengan berbagai ritual peribadatan Islam yang lain, shalat adalah ritual yang paling bisa menjangkau keseluruhan umat. Sebab, shalat merupakan kewajiban setiap muslim selama akal serta kesadaran mereka masih normal. Bahkan karena pentingnya shalat ini, maka kaum muslimin mengenal berbagai model shalat untuk berbagai situasi. Ada yang bersifat ’azimah. Yaitu shalat yang dilakukan tanpa ada perubahan dari petunjuk awal. Ada shalat jama’. Yaitu shalat dimana seseorang mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu. Ada shalat qhasar, dimana seseorang melakukan shalat lebih sedikit rekaatnya dari ketentuan awal. Ada shalat khauf, yaitu shalat yang mereka lakukan saat di medan perang. Ada shalat mariadh, bagi mereka yang sakit.

Sementara berbagai ibadah lain hanya diwajibkan ketika seseorang memiliki kemampuan dengan standar tertentu. Haji atau zakat misalnya, hanya diwajibkan atas orang-orang kaya dan mampu. Puasa,  hanya dilakukan oleh mereka yang secara kesehatan mampu. Jihad pun demikian. Jihad di fardhukan ketika kaum muslimin dalam keadaan diserang. Dan mereka yang di perbolehkan berjihad hanyalah mereka yan secara fisik sehat dan mendapat izin dari orang tua.

Dalam Al Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan shalat. Di antara kelima rukun Islam, shalat adalah rukun yang paling banyak disinggung di dalam Al Qur’an. Perintah shalat lima waktu diterima oleh Rasulullah SAW secara langsung dari Allah SWT ketika mi’raj. Dalam sebuah riwayat, bahwa di akhir kehidupan Beliau , Rasulullah SAW bersabda, ”shalaah, shalaah, shalaah”  (ingatlah shalat, ingatlah shalat, ingatlah shalat).

Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan pentingnya shalat, sebagian menerangkan kedudukan shalat, keutamaan shalat, dan tata cara shalat. Karena itulah, berkenaan dengan shalat, Hadratul Mukaron Romo K.H. Abdul Latif Madjid RA memberikan bimbingan bahwa di dalam shalat itulah maqam dimana para hamba-Nya menghadap kepada Allah, menjalin kasih sayang dengan-Nya. Dan didalam shalat itu pulalah Allah memberikan nur ma’rifat dan berbagai ilmu, terutama bagi para muridun. Karena itu, bab shalat ini harus diutamakan.

Kedudukan shalat dalam Islam

Sesungguhnya shalat mempunyai kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunah. Kedudukan-kedudukan tersebut antara lain adalah sebagai berikut;
    Pertama, shalat sebagai tiang penyangga (agama Islam). Suatu bangunan tidak akan berdiri dan tegak kecuali dengan adanya tiang penyangga yang kokoh.
      ”Shalat adalah tiang agama. Maka barangsiapa yang mendirikan shalat, dia telah mendirikan agama, namun bagi siapa saja yang meninggalkan shalat berarti dia telah menghancurkan agama.” (HR. Baihaqi).
    Kedudukan shalat juga mendapat tempat yang tinggi setelah mengucapkan syahadatain sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
      ”Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu: persaksian bahwa tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi/disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad Adalah utusan Allah, menegakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah.”(Muttafaqun ‘alaihi).
    Kedua, shalat adalah induk ibadah dan ketaatan yang paling utama. Hal ini dikarenakan banyaknya nash-nash dari Al Qur’an yang memerintahkanya, menjaganya dengan melaksanakanya tepat waktu dan menunaikanya dengan baik, sebagaimana firman Allah:
      ”Peliharalah segala shalatmu dan peliharalah shalat wustha.”(QS. Al Baqarah: 238).
    Shalat juga merupakan ibadah yang pertama kali dimintai pertanggung jawabanya dari manusia pada hari kiamat kelak.
      ”Sesungguhnya amal ibadah seseorang yang paling pertama kali dihisab adalah shalat. Jika shalatnya dinilai baik, maka bahagia dan tenanglah dia. Namun jika shalatnya rusak, maka rugi dan sengsaralah dia. Adapun jika diantara shalatnya ada yang kurang sempurna, maka Allah azza wa jalla berfirman: Periksalah kembali wahai malaikat, apakah dia suka melaksanakan shalat sunah? Jika ada, sempurnakanlah shalatnya dengan shalat sunahnya tersebut! Seperti itulah perhitungan amal ibadah yang lain.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Nasa’i).
    Ketiga, Shalat merupakan garis pemisah antara keimanan dan kekufuran. Ia adalah sesuatu yang membedakan antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang inkar, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
      “Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”(HR. Nasa’i, Tirmidzi dan Ahmad. Hadits Hasan).
    Ini menunjukan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang Muslim  dan masyarakat Islam. Al Qur’an juga menganggap bahwa menelantarkan atau mengabaikan shalat itu termasuk sifat-sifat orang yang tersesat dan menyimpang. Adapun terus-menerus mengabaikan shalat dan menghina keberadaanya, maka itu termasuk cirri-ciri orang kafir. Allah SWT berfirman:
      ”Jika dikatakan kepada mereka, taatlah dan kerjakanlah shalat, maka mereka enggan mengerjakanya.” (Al-Mursalat: 48).
    Keempat, shalat merupakan senjata ampuh bagi manusia untuk mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini sebagaimana firman Allah  SWT:
      “Sesungguhnya shalat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar.”(QS. Al-Ankabut: 45).
    Dari ayat ini, Allah sesungguhnya telah memberikan janji kepada kaum beriman bahwa dengan shalat  perilaku seseorang pasti akan  berubah menuju kebaikan. Dalam kaitan dengan upaya mengatasi krisis multidimensi bangsa, shalat merupakn alat yang sangat ampuh untuk memperbaiki kualitas bangsa agar lebih bermutu. Terutama dari aspek moralitas.


Menuju shalat yang berkualitas

Seringkali dijumpai kenyataan bahwa ada seseorang yang sudah melakukan shalat, namun berbagai bentuk kemunkaran tetap ia lakukan, seperti mabuk-mabukan, judi dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaanya adalah; mengapa ibadah shalat yang dilakukan seolah-olah tidak ada dampaknya dalam keseharian?
Ada beberapa faktor mengapa itu semua bisa terjadi.

    Pertama, adalah tidak berpengaruhnya shalat terhadap perbaikan perilaku seseorang karena antara lain ia mengkomsumsi barang haram dan memakai barang haram tersebut dalam ibadah shalatnya. Mereka menganggap bahwa halal dan haram bukanlah sesuatu yang penting. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana mengumpulakn harta sebanyak-banyaknya. Masalah halal-haram rezeki adalah masalah yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Karena pentingnya peranan rezeki dalam kehidupan, hingga Allah memerintahkan kepada Rasul untuk mendahulukan harta halal dari pada melakukan amal kebaikan. Allah berfirman:
      ”Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kemudian beramallah kalian dengan amalan yang baik.”(QS. Al Mu’minuun: 51).
    Rasulullah SAW juga bersabda:
      ”Mencari harta halal adalah wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Ath Thabrani/Dhoif).
    Seseorang yang nafkahnya bersumber dari rezeki yang halal pastilah akan menjadi manusia yang cenderung kepada kebaikan. Dan ketika tubuh yang tumbuh dari harta halal tersebut digunakan untuk shalat, maka akan mudah tumbuh kekhusyu’an dalam melaksanakan shalat. Namun sebaliknya, jika tubuh seseorang bersumber dari harta haram, pastilah tubuh tersebut akan selalu cenderung untuk melaksanakan kemaksiatan. Sehingga ketika tubuh tersebut digunakan untuk shalat, maka akan timbul gejolak pemberontakan dari nafsunya yang mengakibatkan hilangnya kekhusyu’an didalam shalat. Bukan hanya itu saja. Bila harta tersebut menjadi kendaraan, maka kendaraan tersebut akan selalu menggerakan pemakainya untuk senantiasa menuju ketempat-tempat maksiat. Ketika uang haram tersebut digunakan untuk membeli makanan dan minuman, maka makanan dan minuman tersebut akan menimbulkan penyakit dalam tubuh, menurunkan kecerdasan serta menyebabkan tumbuhnya berbagai perilaku yang merusak. Karena itulah, Rasulullah SAW bersabda:
      “Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka daging itu paling layak untuk menjadi santapan api neraka.”(HR. At Tirmidzi).
    Dan harta yang haram ini ketika digunakan untuk beribadah, maka ibadah itupun akan menjadi ibadah yang ditolak oleh Allah SWT. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
      “Barangsiapa yang membeli baju 10 dirham dan didalam pembayaranya satu dirham haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian haram itu masih ada padanya.” (HR. Ahmad/Dhaif).
    Karena itu, harta atau sebuah makanan haram, persoalanya bukan hanya pada masalah hukum semata. Namun harta haram sangat erat kaitanya dengan perilaku manusia, ketenangan hati manusia serta kualitas manusia. Kedua, niat yang tidak ikhlas. Ibadah yang dilakukan tidak ikhlas sama sekali tidak bernialai disisi Allah SWT. Ibadah yang dilakukan hanya simbolis belaka. Namun sasaran peribadahan tersebut bukan Allah, tapi perhatian makhluk. Ibadah model ini dalam bahasa agama disebut dengan riyya’ (pamer). Ketiga, melaksanakan shalat tanpa mengikuti tata cara yang benar. Mungkin wudhunya yang salah. Mungkin rukun dan syarat-syaratnya tidak lengkap. Karena itulah, bagi seorang muslim, mempelajari agama sangatlah penting didalam kehidupan. Dengan demikian, ia bisa melakukan shalat secara lebih sempurna dan berkualitas. Alangkah bijaksananya Rasulullah SAW yang telah bersabda:
      ”menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim.” (HR. Al Bayhaqi/Shahih).
    Menuntut ilmu itu wajib. Tingkat kewajibanya berbeda-beda sesuai dengan tingkat kepentingan obyek dari ilmu tersebut, Ilmu tentang shalat lebih penting untuk diketahui oleh tiap-tiap muslim daripada ilmu tentang pesawat misalnya. Karena itulah, bagi tiap-tiap muslim upaya untuk mengetahui tatacara shalat secara baik, benar dan sempurna sangatlah penting agar shalat memilki mutu yang tinggi. Mereka yang melaksanakan shalat secara baik dan benar, secara tepat waktu dan dengan menghayati makna yang terkandung didalam shalat, insya Allah dia tidak terjerumus kedalam kekejian dan kemunkaran dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Keempat, menjaga anggota tubuh dan terutama mata dari kemaksiatan. Memandang wanita atau pria yang bukan muhrim akan menggelapkan hati yang menyebabkan hilangnya kekhusyu’an didalam shalat. Allah telah memberikan bimbingan secaa jelas dengan firmanya:
      ”Katakanlah (wahai Muhammad) kepada kaum mukmin agar mereka menundukan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci (menambah kebaikan) bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nuur: 30).
    Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga bersabda:
      ”Sesungguhnya memandang kepada kebaikan/ keindahan wanita adalah salah satu panah beracun diantara panah-panah iblis. Maka barangsiapa yang meninggalkanya, Allah akan memberikan rasa (keindahan) yang membahagiakan didalam hatinya.” (HR. Al Hakim/Shahih).
    Imam Al Ghazali R.A. berkata,
      ”Kemudian wajib atas engkau, semoga Allah menolongmu dan menolong kami, untuk menjaga mata. Sesungguhnya mata adalah sebab tiap-tiap fitnah dan bahaya.” (Matan Minhajul Abidin ma’a Syarhihil lil jamsi hal. 354-356).


Dengan menghindari dari memandang hal-hal yang diharamkan tersebut, otomatis hati juga akan selalu bersih dari kesan-kesan kemaksiatan. Dan hal ini tentunya sangat membantu seseorang dalam mencapai kekhusyu’an didalam shalat. Wallahu’alam

 

Inilah orang-orang yang akan didoakan oleh para malaikat Allah swt.

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa, Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci".
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia'"
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)

3. Orang yang berada di shaf barisan depan shalat berjamaah

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada pada shaf-shaf terdepan" (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib ra, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

4. Orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan shaf kosong)

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf - shaf"
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5. Para malaikat mengucapkan 'Amin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.

Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu".
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.

Rasulullah SAW bersabda, " Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

7. Orang - orang yang melakukan shalat Shubuh dan 'Ashar secara berjama'ah.

Rasulullah SAW bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?',mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

8.Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.

Rasulullah SAW bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan'"
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda' ra., Shahih Muslim no. 2733)

9. Orang yang berinfak.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'"
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa) kepada orang-orang yang sedang makan sahur" Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa "sunnah" (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib watTarhiib I/519)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan diwaktu malam kapan saja hingga shubuh"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih")

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.

Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain"
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343) 

Semoga bermanfaat
Jazakumullahi khoiroti wasa'adatid dunya wal akhiroh.. amiin

Jumat, 09 Juli 2010

Bagaimana berendah hati?

Salah satu hal yang penting agar seseorang menjadi tawadhu’ atau rendah hati adalah mengetahui hakikat kerendah hatian tersebut. Rendah hati adalah sikap seseorang yang memandang dirinya lebih rendah dari orang lain. Kemudian sikap hati ini memancar dalam perilaku lahiriah seseorang yang menjadikan ia menghargai orang lain dan memandang orang lain dengan pandangan yang positif. Dan sebaliknya, ia memandang dirinya dengan pandangan yang harap-harap cemas. Adakah dirinya manusia yang diridhai Allah ataukah orang yang di murkai-Nya.

Dalam Islam, kerendah hatian di bagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan interaksi masing-masing pribadi dengan pihak di luar dirinya. Bagian tersebut adalah tawadhu’ terhadap Allah, tawadhu’ terhadap Rasul, tawadhu’ terhadap manusia dan tawadhu’ terhadap makhluk-makluk selain manusia.

TAWADHU’ KEPADA  ALLAH

Tawadhu’ kepada Allah berpangkal dari satu keyakinan bahwa Allah adalah pemilik dan Penguasa Tunggal alam semesta. Ia Maha Sempurna, Maha Indah, Maha Bijaksana dan memilki segala sifat Kesempurnaan lainya. Karena itulah, manusia berendah hati kepada Allah dengan bebarapa cara:

    Pertama; adalah dengan melihat Allah dengan penuh pengagungan, kecintaan dan memuliakan. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai sosok yang bodoh, lemah, sangat tergantung dan memerlukan pertolongan dan bantuan Allah SWT. Karena itulah, pada tawadhu’ ini manusia akan selalu memuji, mengagungkan dan menghamba secara total kepada Allah SWT.

    Kedua; adalah tawadhu’ fil hukmi (tawadhu’ berkaitan dengan hukum Allah). Pada tataran ini manusia memandang bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Pengetahuan dan kebijaksanaan Allah SWT sangatlah mutlak dan tidak bisa sedikitpun  dibandingkan dengan makhluk-Nya. Bahkan seluruh makhluk Allah bersatu, baik manusia, jin, malaikat atau makhluk-makhluk lain, tiada bisa dibandingkan kebijaksanaan dan pengetahuan mereka dengan kebijaksanaan dan Pengetahuan Allah SWT.

    Dari sikap dasar di atas, kemudian manusia merendah kepada Allah dengan menaati hukum –hukum Allah secara total. Tak ada sedikitpun di dalam benaknya keinginan untuk mempertanyakan atau menggugat hukum-hukum Allah. Jadilah ia manusia yang konsekuen dengan aturan Allah dan berupaya untuk menegakkan aturan tersebut di tengah-tengah manusia. Demikian juga dengan ketentuan-ketentuan Allah terhadap dirinya. Ia melihat bahwa apapun ketetapan Allah SWT atas dirinya mestilah sebagai sesuatu yang terbaik. Hingga dari sikap dasar ini, ia akhirnya dapat menerima semua ketentuan dan takdir Allah dengan penuh keridhoan dan kerelaan. Demikianlah, maka akhirnya menyatu pada diri manusia keselarasan antara syariat dan hakikat dalam kehidupanya.

    Ketiga; adalah tawadhu’ fish shifat (tawadhu’ dalam sifat). Tawadhu’ ini adalah dengan cara menghilangkan pandangan seseorang bahwa dirinya memiliki sifat-sifat yang mulia secara mandiri. Sebaliknya, ia melihat bahwa sifat kebaikan yang dimilkinya semata-mata karunia Allah (Billah). Bukan miliknya yang mandiri. Ia juga melihat sifat-sifat dasar dirinya adalah sangat rendah. Sebagai manusia, maka ia sangat tergantung dengan sifat kasih sayang Allah, maka ia bisa saja bersifat buruk. Seperti pembohong, penipu, kejam dan berbagai sifat buruk lainya bisa menjadi miliknya. Karena itulah, dengan tawadhu’ fish shifat ini maka ia akan semakin menyadari kelemahan dan ketidak-berdayaan.

    Keempat; adalah tawadhu’ fil fi’li (kerendah-hatian dalam perbuatan). Tawadhu’ ini dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak memilki kekuatan apapun untuk melakukan sesuatu kecuali dengan pertolongan Allah (billah). Ia melihat dirinya sebagai makhluk yang lemah tiada daya. Semua kekuatan yang ada padanya semata-mata karena pertolongan Allah SWT.

    Kelima; adalah tawadhu’ fil wujud (tawadhu’ dalam memandang wujud). Ini adalah tawadhu’nya para Nabi dan arifin. Mereka memandang bahwa Allah adalah Pemilik Tunggal Wujud. Sehingga dari pandangan ini, maka mereka tidak pernah memandang ada wujud lain selain Allah SWT. Dalam setiap waktu dan kesempatan, mereka hanya memandang wujud Allah tanpa melihat lagi kepada wujud selain-Nya.


TAWADHU’ KEPADA RASULULLAH SAW

Tawadhu’ kepada Rasulullah SAW adalah hal yang penting di dalam Islam. Karena Rasulullah SAW adalah sosok yang diangkat oleh Allah sebagai wakil-Nya sebagai penguasa dunia. Berendah hati kepada Rasulullah SAW berarti juga berendah hati kepada Allah SWT. Sebaliknya, takkabur dan tidak menjaga adab kepada Rasulullah SAW berarti juga takabbur dan tidak menjaga adab kepada Allah SWT.

Tawadhu’ kepada Rasulullah SAW ini dapat dilakukan dengan beberapa hal:

    Pertama; adalah dengan meyakini kedudukan beliau sebagaimana Allah jelaskan dalam Al Qur’an serta bersikap terhadap beliau secara layak sesuai dengan kedudukan tersebut serta disisi lain memandang dirinya dengan penuh kehinaan, apalagi dibandingkan dengan kedudukan Rasulullah SAW. Allah SWT menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah utusan beliau yang paling mulia dan terakhir. Hal ini sebagaimana firman Allah:

      Muhammad bukanlah ayah salah seorang laki-laki di antara kalian. Tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40).


    Berendah hati kepada beliau juga dengan meyakini dan bersikap yang layak terhadap kedudukan Rasulullah SAW sebagai orang yang paling mulia akhlaknya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

      ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang terpuji.” (QS. Al Qalam: 4)


    Beliau juga seorang pemimpin seluruh manusia, khususnya di akhirat nanti. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

      ”Aku adalah pemimpin anak Adam, dan tidak membanggakan diri.” (HR. Bukhari)


    Sementara disisi lain Allah dalam Al Qur’an mensifati manusia biasa pada umumnya, termasuk kita sebagai makhluk yang aniaya, tergesa-gesa, dzalim dan sombong. Hal ini sebagaimana firman Allah:

      ”Sekali-kali janganlah (disangkal nikmat Allah itu). Sesungguhnya manusia amatlah durhaka. Karena ia telah melihat dirinya kaya raya.” (QS. Al ‘Alaq: 5 6).

      “Sesungguhnya manusia dijadikan sifat berkeluh kesah. Apabila ditimpa kejahatan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (harta), ia enggan (bersedekah).” (QS. Al Ma’arij: 19 21).

      ”Sesungguhnya manusia itu bersifat aniaya lagi jahil.” (QS. Al Ahzab: 72).


    Jika orang menyadari kenyataan ini, maka ia akan merendahkan dirinya, khususnya kepada Rasulullah SAW.

    Kedua; adalah dengan meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia suci yang terjaga dari kesalahan (ma’shum). Sedangkan kita sebagai manusia bukan hanya bisa melakukan kesalahan, namun pelanggan tetap dari kesalahan. Dengan cara pandang seperti ini, maka orang akan memandang ajaran-ajaran dan bimbingan Rasulullah SAW sebagai sesuatu yang berharga bagi hidup dan keselamatanya.

    Kebalikanya adalah sikap takabbur kepada Rasulullah SAW. Hal ini dilakukan antara lain dengan “mencurigai” ajaran-ajaran beliau sebagai ajaran yang tidak relevan dengan kemajuan zaman. Atau meragukan peran dan kemampuan ajaran Rasulullah SAW dalam membawa manusia menuju kebahagiaan. Atau memandang ajaran Rasulullah SAW sebagai sesuatu yang tidak lengkap, sesuatu yang perlu dikritik atau direvisi.

    Ketiga; adalah dengan menghayati jasa-jasa Rasulullah SAW bagi kebahagiaan manusia. Betapa beliau telah membebaskan manusia dari era penindasan menuju keadilan hingga pola ini menjadi model kehidupan manusia hingga saat ini. Sementara disisi lain ia memandang dirinya sebagai orang yang dzalim, khianat terhadap masyarakat serta memilki banyak tanggungan atas umat di hari kiamat nanti. Hingga dengan demikian, ia akan lebih berhati-hati dalam perilaku sehari-hari dengan lingkungan dan masyarakatnya.


TAWADHU’ DENGAN MANUSIA PADA UMUMNYA

Tawadhu’ atau rendah hati dengan manusia pada umunya, mungkin tidak begitu sulit untuk diketahui caranya. Misalnya jika terhadap orang tua, maka seseorang meyakini bahwa orang tersebut dengan banyaknya usia sudah tentu lebih banyak pula ibadahnya daripada dirinya. Sehingga dengan demikian seseorang akan menghargai orang lain yang lebih tua tersebut. Jika bertemu dengan orang yang lebih muda, maka ia meyakini bahwa orang tersebut lebih sedikit  maksiatnya daripada dirinya dengan kemudaan usianya. Dengan demikian ia pun akan semakin menghormati anak muda tersebut.

Terhadap seorang ulama, kita meyakini bahwa amal dan ilmunya ulama tersebut sangat jauh lebih banyak daripada amal dan ilmu kita. Sementara di sisi lain kita merasa bahwa dosa dan kelalaian kita jauh lebih banyak. Demikian seterusnya, seorang yang tawadhu’ akan selalu menempatkan dirinya lebih rendah daripada orang lain. Bahkan lebih dari itu, ia merasa bahwa tiada satupun kebaikan yang dimiilkinya yang pantas untuk dia banggakan. Hingga seorang sufi berkata, ”Siapa yang masih merasa memilki kebaikan, maka ia tidak mendapatkan bagian dari kerendah-hatian.” Pada bagian lain, Imam Asy Syibili berkata, ”Sesungguhnya kerendah-hatian menjadikan aku tidak bisa melihat aib yang ada pada orang Yahudi.”

Yang menjadi masalah sekarang adalahbagaimana tawadhu’ terhadap orang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan, sementara kita sedang melakukan ketaatan? Kemudian, apakah sikap tawadhu’ tersebut kemudian menghalangi seseorang untuk beramar ma’ruf nahi munkar?

Terhadap masalah di atas, Al Ghazali mengatakan bahwa tawadhu’ terhadap orang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan tetap menjadi keharusan. Namun bentuknya berbeda dengan tawadhu’ terhadap para alim ulama atau terhadap orang tua. Secara lahiriah, menurut Al Ghazali, seseorang harus tetap menunjukkan ketegasanya dalam mensikapi terhadap kemaksiatan. Namun dalam hati, seseorang harus tetap berendah hati. Hal ini dilakukan dengan mempertanyakan pada diri sendiri bahwa adakah jaminan bagi kita yang melakukan ketaatan untuk beristiqomah dengan ketaatan tersebut? Betapa banyaknya orang yang melakukan ketaatan kemudian tergelincir dari jalan yang benar. Bahkan ia meninggal dengan tanpa iman (na’udzu billah).

Sebaliknya, terhadap pelaku kemaksiatan seorang yang rendah hati tetap berkhusnudhon bahwa suatu saat bisa jadi orang tersebut akan kembali kepada ketaatan. Bahkan ia akan mengakhiri hidupnya dengan iman dan kebaikan. Betapa banyaknya hal ini terjadi dalam kehidupan manusia. Walaupun secara lahiriyah seseorang harus bersikap tegas terhadap kemaksiatan yang dilakukanya. Akhirnya, sesungguhnya kemuliaan sejati adalah saat kita mati dalam keadaan iman dan Islam, kemudian kita bebas dari siksa kubur dan seterusnya masuk syurga Allah tanpa merasakan siksa neraka. Namun siapakah yang memastikan bahwa kita mendapat anugerah kemuliaan tersebut?

Karena itulah, sangat tidak patut jika keadaan kita yang belum pasti akhir hidupnya ini untuk bersombong kepada orang lain. Yang paling tepat bagi kita adalah berendah hati dan terus berendah hati hingga ajal menjemput kita. Marilah kita berdoa agar Allah senantiasa melindungi kita dari segala tipu daya syetan dan kemaksiatan, jika itu terjadi semoga Allah segera memberikan bimbingan dan hidayah-Nya kepada kita semua agar selalu menjadi orang yang berandah hati, Qona’ah dan khusnul khotimah.. Amiin

Wallahu’alam
 

Menumbuhkan Sikap Tawadhu

Tawadhu adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya, baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda:


    ”Barangsiapa yang bersifat tawadhu karena mencari ridho Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tidak berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri, maka Allah akan menghinakanya, ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi.” (HR. Baihaqi).


Tawadhu adalah anugerah Allah yang tidak pernah diiringi dengki. Sedangkan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Orang mencari kemulian dalam kesombongan tak kan pernah mendapatkanya, dan orang yang tawadhu pasti akan mendapat kemuliaan walaupun ia tidak menginginkanya.

Manusia adalah tempatnya berbagai kelemahan, dan Allah meletakkan suatu kelebihan kepada orang tertentu dan meletakkan kekurangan kepada orang tertentu pula. Maka tidaklah mungkin ada orang yang sempurna dan tidak kekurangan. Orang yang rendah hati menyadari hal itu, sehingga ketika dia melihat saudara sesamanya memiliki sesuatau yang dia tidak miliki, maka dia akan tetap tenang dan tidak sakit hati. Hal ini bertolak belakang dibandingkan dengan orang yang sombong. Dia akan selalu gelisah dan merasa jengkel ketika dia melihat seseorang melebihi dirinya, entah hartanya, kecantikanya/ ketampananya, kedudukanya dan sebagainya.

Barangsiapa mau merendahkan hatinya di hadapan manusia dan Allah, maka tenanglah hatinya.

Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada pada dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan seseorang, semakin sempurnalah ketawadhuanya.

Kita adalah hamba Allah SWT, sungguh tidak pantas bagi seorang hamba berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Allah berfirman:


    ”Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka.” (QS. Al Furqan: 63)


Dalam surat Asy-Syu’ara Allah SWT juga berfirman:



    ”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215).


Rasulullah SAW bersabda:



    ”Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri, sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat dzalim atas yang lain.” (HR. Muslim)>


Sifat tawadhu tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu antara lain:

a.    Mengenal Allah SWT


    “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan makrifatnya (pengenalanya) kepada Tuhanya.” Orang yang mengenal Allah dengan sebeenarnya akan menyadari bahwa Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya, dan Maha Perkasa, yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bila ia mendapat kebaikan, ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui bahwa dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.


b.    Mengenal Diri


Langkah utama utnuk mengenal Allah SWT. Adalah mengenal diri kita sendiri. Dilihat dari asal-usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina. Kemudian lahir kedunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mngetahui apapun. Karena itu manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Manusia dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan, padahal ia justru melakukan kerusakan dan kedzaliman. Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan intropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan, dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak di hari Qiyamat Yaumul Hisab. Hal ini harus disadari atas kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu dan tidak akan sombong kepada orang lain, terutama kepada Tuhan Allah SWT.

c.    Merenungkan Nikmat Allah


    Hakikatnya seluruh nikmat yang di anugerahkan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Banyak manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Banyak diantara kita diberi nikmat, baik berupa ilmu, harta, kedudukan, prestasi dan lainya, merasa bangga pada diri sendiri. Kekaguman pada diri sendiri adalah pangkal kesombongan. Karena itu kita perlu merenungkan atas nikmat Allah yang kita terima, sekecil apapun. Apakah kita syukur atau kita kufur. Dengan tawadhu dan hati-hati, kita mesti bersyukur dan bahkan mewaspadai jangan-jangan  kita masuk perangkap “istidraj”, perilaku yang akan berakibat fatal. Selain merenungkan nikmat Allah dalam usaha untuk menumbuhkan akhlak tawadhu, supaya merenungkan manfaat tawadhu.


d.    Meniru dan mencontoh keteladanan tawadhu yang dilakukan Rasulullah SAW dan para orang-orang saleh terdahulu, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu (berakhlak baik)


Dengan tawadhu, hormat dan rendah diri yang dilakukan Rasulullah SAW, banyak orang yang tadinya benci dan memusuhi, akhirnya simpati, jatuh cinta dan banyak juga yang dengan rela hati masuk Islam.

Tawadhu’; Tangga Emas Menuju Kemuliaan.

Siapa yang ingin menjadi orang hina? Tentu tiada seorangpun ingin menjadi orang hina. Baik hina di dunia maupun di akhirat. Hanya saja setiap orang berbeda dalam dua hal.

 
    Pertama; adalah kemuliaan menurut siapa yang akan di cari. Apakah kemuliaan tersebut menurut Allah, menurut keluarga, menurut masyarakat atau menurut  kelompok tertentu. Misalnya menurut kalangan akademisi atau menurut seniman.

    Yang Kedua; adalah cara memperoleh kemuliaan tersebut. Setiap manusia akan berbeda cara meraih kemuliaan yang ia dambakan berdasarkan perbedaan kemuliaan menurut siapa yang ia cari. Seorang yang ingin mulia di kalangan seniman, maka ia akan meraih dengan cara-cara seorang seniman. Bahkan terkadang ia melakukan hal-hal yang menurut moralitas tidak lazim. Seperti foto telanjang misalnya. Lain lagi dengan mereka yang ingin mulia di kalangan birokrat. Mereka biasanya akan habis-habisan mengejar jabatan dengan berbagai cara. Bisa dengan kemampuan akademis, jaringan pertemanan, bahkan kalau perlu dengan uang. Hal ini banyak terjadi dalam berbagai kesempatan pemilu di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Mereka yang ingin meraih kemuliaan di mata kalangan olah raga pun memiliki cara yang lain lagi. Mereka akan mengejar hasrat meraih kemuliaan tersebut dengan cara olah ragawan pula. Ada yang dengan cara yang legal, seperti giat berlatih, mengikuti berbagai kejuaraan dan bahkan sampai pada tingkat menghalalkan segala cara. Yaitu dengan menggunakan doping atau dengan menyuap wasit misalnya. Dan yang lebih spektakuler adalah mereka yang ingin mulia di hadapan Allah. Ada yang meraihnya dengan banyak amalan, dengan banyak sedekah, dengan banyak berdakwah bahkan hingga dengan mengorbankan nyawa untuk meraih kematian sebagai seorang syuhada’.


TAWADHU’; GERBANG MENUJU KEMULIAAN

Satu hal yang selama ini yang kurang mendapat perhatian banyak manusia, bahkan di kalangan kaum muslimin sekalipun adalah bahwa sikap rendah hati adalah salah satu gerbang utama dan terpenting menuju kemuliaan sejati. Baik di dunia maupun di akhirat. Baik di kalangan manusia maupun di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

    “Barangsiapa yang berendah hati, maka Allah akan mengangkat (kedudukanya). Dan barangsiapa yang sombong (tinggi hati), maka Allah akan merendahkanya.”(Alhadits).


Hadits di atas memang benar adanya. Mereka yang berendah hati dan dengan jujur merasa sebagai manusia yang tidak bernilai sebenarnya adalah orang yang justru memiliki banyak kelebihan. Dan justru kerendah-hatian inilah, maka manusia semakin mencintainya dan memuliakanya.

Sebaliknya, mereka yang sombong sebenarnya adalah manusia yang banyak memiliki kelemahanya. Karena itu, ia akan sangat takut jika kelemahan tersebut akan terbongkar oleh manusia dan akhirnya manusia meremehkanya. Karena itulah, maka ia berusaha menutupi kekuranganya tersebut dengan menunjukan kelebihan-kelebihanya serta merendahkan orang lain. Padahal ia tidak menyadari, bahwa semakin ia memproklamirkan kelebihanya di hadapan manusia, hal tersebut menunjukan bahwa ia tidak percaya diri dengan apa yang ada pada dirinya. Andaikan ia benar-benar mulia, tanpa harus menyombongkan diri di hadapan manusia serta merendahkan manusia lain, orang lain niscaya pasti akan memuliakanya.

TAWADHU’; GERBANG MENGGAPAI PERTOLONGAN ALLAH

Tawadhu’ juga merupakan sarana ampuh agar seorang mendapatkan pertolongan langsung dari Allah SWT. Sebab dengan menyadari kelemahan dirinya, seorang akan berusaha menggapai jalan pertolongan Allah SWT dengan penuh kekhusyu’an. Dan kekhusyu’an di dalam do’a tersebut akan menjadi daya penggedor pintu pertolongan Allah SWT.

Karena itulah, Allah SWT menggambarkan betapa kerendahan hati dapat menarik pertolongan-Nya dengan firman-Nya:

    ”Dan benar-benar menolong kalian di dalam perang badar, sedangkan saat itu kalian dalam keadaan hina (menghinakan diri).”(QS. Al Imran:123).


Bahkan dengan kerendah hatian ini, seseorang akan selalu dalam keikut sertaan Allah SWT. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

    ”Aku bersama dengan mereka yang hatinya hancur (merendah) karena-Ku.”


Kerendah hatian inilah yang menjadikan kaum muslimin pada awal islam menuai kemenangan dalam setiap peperanganya. Seorang Romawi dengan putus asa menggambarkan keadaan kaum muslimin, “mereka itu laksana petapa di malam hari dan singa di siang hari.” Maksudnya laksana petapa di malam  hari adalah bahwa kaum muslimin menghabiskan malamnya dengan merendah (tawadhu’) memohon pertolongan Allah SWT. Sedangkan maksudnya bagai singa di siang hari adalah karena jika kaum muslimin terjun di medan perang, mereka pantang untuk menyerah atau mundur. Mereka hanya punya dua pilihan, menang dan jaya atau mati masuk surga.

Sebaliknya, ketika rasa rendah hati dan merasa membutuhkan pertolongan ini tidak ada. Hal ini sebagaimana terjadi dalam permulaan perang Hunain. Saat itu jumlah pasukan Islam sangat besar, yaitu 12.000 prajurit. Jumlah ini pada saat itu adalah jumlah terbesar yang dimiliki kaum muslimin. Hingga timbul rasa kesombongan pada sebagian anggota pasukan. Akibatnya, pada babak pertama kaum muslimin dikocar-kacir oleh musuh. Walaupun kemudian mereka segera menyadari kesalahanya dan membalik keadaan peperangan.
Dalam hal ini Allah berfirman:

    “Dan Allah benar-benar telah menolong kalian di tempat-tempat yang banyak dan pada hari (perang) Hunain ketika banyaknya jumlah kalian menjadikan kalian bangga. Maka jumlah yang banyak itu tidak menjadikan cukup kalian dan menjadi sempit bumi yang lapang dan kemudian kalian berpaling mundur.” (QS. At Taubah:25).


Demikian juga dengan berbagai kaum sebelum umat ini. Kesombongan telah mengantarkan mereka kepada kehancuran. Dan sebaliknya, kerendah hatian telah mengantarkan kepada mereka menuju gerbang pertolongan Allah SWT.

TAWADHU’; SIMBOL TINGGINYA INTELEKTUALITAS MANUSIA

Kerendah-hatian juga merupakan standar dasar agar manusia layak disebut sebagai orang berilmu. Ketika seseorang berusaha mengenal hakikat dirinya sebagai makhluk, maka yang ia temukan adalah kelemahan dan ketergantungan. Secara fisik manusia sebenarnya tidak lebih dari binatang. Ia makan daging, makan tumbuhan dan buah-buahan. Bahkan sebenarnya, secara fisik andaikan manusia tidak merawat tubuhnya dengan mandi, gosok gigi dan menjaga kebersihan tubuhnya, maka aroma tubuhnya tidak akan lebih wangi dari aroma binatang. Bahkan mungkin lebih tidak sedap lagi. Sementara isi perut manusia pada hakikatnya adalah kotoran dan air seni yang menjijikan. Sedangkan secara ruhani, manusia sangat tergantung dengan hidayah Allah. Apakah ia akan menjadi seperti Fir’aun, Qorun, Namrudz dan Abu jahal. Atau ia akan menjadi orang shalih, waliyullah ataupun seorang Nabi dan Rasul, semua tergantung kepada Allah SWT. Apakah Allah memberinya hidayah atau tidak.

Nah, mereka yang sebagai orang kuat, bersih, hebat dan sempurna hingga ia merendahkan orang lain, sebenarnya adalah orang-orang bodoh dan akalnya tidak berfungsi dengan baik. Bahkan sebenarnya ia adalah manusia yang dirinya sendiri pun tidak mengenal. Bagaimana ia merasa sebagai orang berilmu yang mengenal berbagai rahasia dunia?

Sedangkan mereka yang merasa dirinya penuh dengan kakurangan, dan sangat tergantung kepada Allah SWT itulah orang yang akalnya dapat berfungsi dengan sempurna. Karena itulah, jika seorang meneliti kehidupan para intelektual sejati, yaitu para Nabi, para Malaikat, para Sahabat, para Waliyullah, dan para ulama’ sejati, maka ia akan menemukan bahwa kehidupan mereka penuh dengan kerendah-hatian.

Ketika Allah memberikan ujian kepada malaikat untuk menyebut nama-nama makhluk, maka dengan penuh kerendah-hatian malaikat menjawab:

    ”Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tiada sedikitpun ilmu pada kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al Baqarah: 32).


Ketika Imam Malik Rahimahullah ditanya oleh seseorang dengan sekitar 40 pertanyaan, maka 36 pertanyaan yang ada beliau jawab dengan jawaban “tidak tahu”. Ketika penanya tersebut menanyakan, “Wahai Imam, apa yang aku sampaikan kepada mereka jika Anda menjawab berbagai pertanyaan dengan “tidak tahu”? Maka Imam Malik berkata, “Yah, sampaikan apa adanya. Itu lah aku.” Ketika Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menetapkan sebuah keputusan pemerintah, seorang ibu menginterupsinya dengan memberikan alasan yang kuat. Maka Umar tanpa segan dan  malu mencabut kembali keputusan tersebut. Demikian juga dengan Khalifah Ali KW berada di majelis pengadilan dalam sengketa dengan seorang Yahudi. Sang Hakim yang ilmunya tiada seberapa dibandingkan dengan Khalifah memperlakukan Khalifah sebagaimana umumnya rakyat di pengadilan. Demikianlah,  kecerdasan dan keluasan ilmu membimbing manusia menuju kerendah-hatian.

KERENDAHAN HATI RASULULLAH SAW

Banyak sekali manusia yang mengagumi sosok Rasulullah SAW, baik dari kalangan muslim atau non muslim, baik pada masa lalu hingga saat ini. Beliau seorang pemimpin yang hebat, ditaati banyak orang, memiliki wewenang dan kekuasaan yang besar. Saat Beliau masih hidup, ratusan ribu orang siap untuk menaati perintah Beliau.

Andaikan hal ini terjadi pada orang selain Beliau, bisa jadi orang tersebut akan berubah cara hidupnya. Mungkin ia akan bersikap sombong, menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri atau melakukan berbagai kedzaliman dan pamer kemewahan.

Namun tidaklah demikian dengan Rasulullah SAW. Di tengah kekuasaan yang sangat besar, popularitas yang sangat luas serta dukungan masyarakat yang kuat, beliau justru tampil dengan sangat sederhana dan rendah hati. Rumah Beliau tidak lebih dari sebuah bangunan dengan ukuran yang tidak lebih dari 4x5,5M. Itupun hanya berlantai tanah, tanpa lepa serta beratapkan pelepah kurma. Jika seorang berdiri dan mengangkat tangan, maka tangan tersebut  akan menyentuh atap “istana” Nabi yang Mulia ini. Jika bepergian, seringkali Beliau hanya mengendarai keledai, sebuah kendaraan yang dipandang rendah masyarakat saat itu. Itupun dengan keadaan sambil membonceng orang lain di belakang Beliau. Beliau tidak pernah menolak undangan, walaupun dari seorang budak. Jika dirumah, Beliau juga membantu kesibukan istri-istri Beliau, dan dengan tanpa gengsi menambal baju beliau yang robek atau memperbaiki sandal Beliau yang rusak.

Dalam bergaul dengan para sahabat, beliau selalu bersikap santun dan lembut. Hingga banyak musuh Beliau yang bertekuk lutut menyatakan ketundukan kepada Beliau bukan karena keliatan pedang atau tusukan tombak. Namun karena kerendah-hatian dan kesederhanaan Beliau miliki. Demikianlah, walaupun Beliau hidup dengan segala kemuliaan yang Beliau miliki, baik dihadapan Allah maupun di hadapan manusia, namun hati Beliau semakin merendah dan merendah. Hingga dalam sebuah hadits Beliau bersabda:

    ”Sungguh, aku benar-benar memohon ampun dan bertaubat dalam satu hari sebanyak tujuh puluh kali."(HR. Muslim).


Semua yang beliau lakukan ini bukanya menjadikan Beliau hina. Namun justru menimbulkan kekaguman dan simpati manusia. Semua ini membuktikan bahwa kerendah-hatian bukan menjadikan seseorang hina. Namun sebaliknya, kerendah hatian menjadikan seseorang semakin mulia.