Jumat, 06 Agustus 2010

Indahnya Keadilan, Bahayanya Ketimpangan

(Catatan atas ajaran yu’tii kulladzii haqqin haqqah)

Salah satu ajaran Wahidiyah yang seringkali diabaikan dalam kehidupan saat ini, adalah yu’tii kulladzii haqqin haqqah. Kalimat ini sederhana namun memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Bahkan kebahagiaan dan kesengsaraan sangat tergantung dengan pelaksanaan ajaran ini. Mulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat hingga negara sangat memerlukan pelaksanaan ajaran ini. Saat kita seringkali menemui berbagai bentuk kerusuhan dan ketidak stabilan dalam masyarakat.

Dalam bidang politik, kita dibuat resah dengan hiruk pikuk skandal Bank Century. Dalam bidang sosial, kita dibuat resah oleh banyaknya kerusuhan, demonstrasi dan berbagai ketidakstabilan dalam masyarakat. Dalam bidang ekonomi, kita dibuat kalang kabut dengan berbagai fliktuasi yang  tidak pasti. Salah satu faktor yang menyebabkan instabilitas dalam kehidupan adalah tidak adanya keadilan.

Kata adil ini berasal dari kata al ‘adaalah. Adil atau ‘adaalah ini sering dimaknai dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Secara jelasnya bahwa keadilan adalah sebuah keadaan dimana sebuah aturan main yang melindungi hak-hak semua pihak terpenuhi dengan baik. Dalam prakteknya, Hadrotul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’rof QS wa RA merumuskanya dengan kalimat singkat, yaitu yu’tii kulladzii haqqin haqqah (memenuhi hak semua pemilik hak).

Sekali lagi, kalimat ini walaupun sangat singkat, namun memiliki makna yang sangat dalam dan efek yang luas dalam kehidupan manusia. Sebab dengan terpenuhinya hak-hak semua pemilik hak, otomatis akan tercipta harmoni dan keselarasan dalam kehidupan.

Sebagai lawan dari keadilan adalah kedzaliman yang berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Hal ini terjadi jika hak-hak para pemilik hak tidak terpenuhi dengan baik. Otomatis hal ini akan menimbulkan berbagai reaksi dan upaya tuntutan pemenuhan hak tersebut. Dan hal ini akan menimbulkan berbagai ketidakstabilan dalam kehidupan.

Sebagian orang ada yang mengumpamakan keadilan sebagai sebuah neraca. Ketika kedua sisi neraca terpenuhi dengan seimbang, maka timbangan tersebut akan stabil dan tenang. Keadaan ini sering pula disebut sebagai moderat (I’tidaal). Sebaliknya, ketika salah satu dari kedua sisi tidak seimbang dengan sisi yang lain, maka timbangan tersebut akan timpang. Karena itulah, maka Rasulullah SAW bersabda,
    ”Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan.” (HR. Muslim).
Keadaan ini dalam kehidupan dikenal dengan istilah tatharruf (ekstrim), dimana terjadi pengabaian dan kedzaliman hak-hak terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki hak tersebut. Padahal Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak menghendaki kedzaliman. Tapi menghendaki keadilan bagi tiap-tiap mukmin. Keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan keluarga.


Sesungguhnya seluruh semesta ini oleh Allah diatur dalam aturan keseimbangan. Dalam tingkat individu misalnya, masing-masing tubuh manusia memiliki hak yang harus dipenuhi. Perut memiliki hak,mata memiliki hak, telinga memiliki hak dan seterusnya dan seterusnya. Ketika manusia mengabaikan hak-hak anggota tubuhnya, maka berarti ia telah melakukan kedzaliman terhadap anggota tubuhnya tersebut. Dan kedzaliman ini akan menimbulkan kerusakan pada tubuh tersebut. Misalnya jika seseorang mengabaikan hak makan atas perutnya dan hanya mengisi hidupnya dengan penuh shalat. Maka sudah tentu tubuhnya akan lemah. Atau ketika seseorang mengabaikan hak istirahat untuk tubuhnya, maka tubuh akan segera rusak dan sakit. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan bisa berbuat baik untuk seterusnya. Bahkan mungkin ia akhirnya akan menjadi beban bagi orang lain.

Dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa suatu saat ada tiga orang mengunjungi rumah istri-istri Rasulullah SAW dan menanyakaan tentang ibadah beliau. Ketika mereka mendapatkan penjelasan tentang ibadah beliau, maka mereka ini seolah-olah menganggap ibadah Rasulullah SAW terlalu ringan. Mereka mengatakan, ”Kita jangan menyamakan dengan Rasulullah SAW. Bukankah beliau (beribadah ringan tersebut karena) telah diampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah lewat maupun yang akan datang!” Salah seorang diantara mereka berkata, ”Adapun saya maka saya akan shalat malam (tidak akan tidur malam).” Yang lain berkata, ”Saya akan puasa selamanya dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata, ”Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Rasulullah SAW kemudian datang kepada mereka dan berkata,
    ”Kaliankah yang mengatakan demikian demikian? Ingatlah… demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah. Tetapi toh aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur juga, aku juga menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan bagian dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaih).


Ada satu riwayat lain yang menunjukkan bahwa yu’tii kulladzii haqqin haqqah sangat penting untuk dilakukan. Saat itu, Rasulullah SAW mempersaudarakan Salman Al Farisi dengan Abu Darda’ Al Anshari. Suatu saat, Salman mengunjungi rumah Abu Darda’. Disana ia menemukan istri Abu Darda’ berpakaian tidak rapi (nglombrot dalam bahasa jawa). Salman kemudian bertanya, ”Ada apa denganmu, kok pakaianmu asal-asalan begitu?” Istri Abu Darda’ menjawab,”Saudaramu Abu Darda’  tidak lagi membutuhkan dunia.” kemudian Abu Darda’ datang dan membuatkan makanan untuk Salman. Setelah makanan jadi, Abu Darda berkata,”Makanlah… saya nggak makan karena puasa.” Salman menjawab, ”Aku tidak akan makan sampai kamu juga makan.” Kemudian mereka pun makan bersama-sama. Ketika malam tiba, Abu Darda’ bermaksud shalat. Namun Salman menyuruhnya tidur. Setelah tidur beberapa saat, Abu Darda’ bangun dan akan shalat malam. Namun Salman masih menyuruhnya tidur lagi. Ketika akhir malam tiba, Salman berkata, ”Sekarang mari kita shalat!” kemudian mereka shalat. Salman kemudian berkata, ”Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas kamu, dirimu juga mempunyai hak atas kamu, dan keluargamu juga mempunyai hak atas kamu. Berikanlah hak-hak kepada setiap pemiliknya.” Kemudian Abu Darda’ mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadukan Salman. Rasulullah SAW bersabda,
    ”Salmanlah yang benar.” (HR. Bukhari).


Apa yang dilakukan oleh Salman RA ini bukan berarti bahwa Nggentur tirakat dilarang didalam Islam. Salman dalam hal ini melakukan upaya therapy (pengobatan) kepada Abu Darda’ yang telah sedemikian tenggelam dalam kehidupan spiritual sehingga ia mengabaikan sekian banyak hak-hak kemanusiaan kepada istri dan keluarganya. Salman, dalam hal ini berpendapat bahwa ketika sebuah besi bengkok ke kanan, maka untuk menjadi lurus kembali tidak cukup hanya dengan membengkokkan kea rah tengah. Sebab jika bengkokan tersebut hanya kearah tengah, maka dengan segera besi itu akan kembali ke arah kanan. Nah, agar besi tersebut  lurus kembali, besi tersebut perlu dibengkokkan kearah kiri agar kecenderungan bengkok ke arah kanan pada besi tersebut membawa besi lurus kembali di garis tengah.

Demikanlah kecakapan spiuritual Salman RA. Ia memang menjadi salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki kapasitas untuk menjadi Mursyid atau dokter spiritual. Hal ini terbukti dengan kedudukan Salman sebagai salah seorang mata rantai silsilah dalam sebuah tarekat dimana Salman menerima kemursyidan tersebut dari Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.

KESEIMBANGAN DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Manusia bukan makhluk individu semata. Namun ia juga makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Untuk makan sesuap nasi misalnya, dibutuhkan keterlibatan banyak manusia. Bahkan bisa mencapai ribuan. Seseorang yang akan memakan sesuap nasi pasti membutuhkan alat-alat memasak. Dan adanya alat-alat memasak ini melibatkan sebuah pabrik yang melibatkan sekian banyak karyawan. Seseorang yang akan makan sesuap nasi juga membutuhkan beras. Tentu melibatkan petani yang menanam padi. Dalam proses penanaman padi juga dibutuhkan peralatan pertanian. Disini diperlukan keterlibatan pabrik alat-alat pertanian yang melibatkan karyawan. Dan para karyawan serta petani yang bekerja juga membutuhkan pakaian. Maka disana juga melibatkan penjahit, toko kain, pabrik pakaian dan demikianlah seterusnya. Semua ini menunjukkan bahwa manusia selalu membutuhkan kehadiran orang lain.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sudah tentu masing-masing manusia memiliki kewajiban untuk menunaikan hak-hak orang lain. Seorang karyawan berkewajiban menunaikan hak-hak majikanya. Ia harus bekerja professional. Demikan juga seorang majikan mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak karyawanya. Hak untuk mendapatkan upah misalnya. Seorang warga masyarakat juga memiliki kewajiban terhadap warga masyarakat lain. Mereka harus memberikan kenyamanan dan keharmonisan satu dengan yang lain. Seorang pedagang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak pembelinya dengan bersikap jujur dalam berdagang. Demikian juga seorang pembeli berkewajiban untuk mebayar biaya barang yang dibelinya.

Demikianlah, maka keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sengat tergantung sejauh mana masing-masing pihak manunaikan hak-hak pihak lain. Ketika hak-hak pihak lain tersebut tertunaikan dengan baik, maka disana akan ada keharmonisan kehidupan. Namun sebaliknya, ketika hak-hak pihak lain di abaikan, maka akan terjadi banyak kekacauan.

KESEIMBANGAN DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA

Salah satu karakteristik dari Syariat Islam adalah al ‘adaalah (adil). Artinya adalah bahwa salah satu tujuan pelaksanaan Syariat islam adalah tertunaikanya hak-hak masing-masing individu secara penuh tanpa ada setu pihak pun yang diabaikan haknya. Hal ini sesuai dengan prinsip yu’tii kulladzii haqqin haqqah. Allah SWT berfirman:
    ”Bersikap adillah, karena keadilan itu mendekatkan kepada takwa.” (QS. Al Maidah: 8).

Dalam hal ini, masing-masing pihak komponen Negara, yaitu rakyat dan pemerintah haruslah menunaikan kewajibanya masing-masing. Penunaian kewajiban ini pada dasarnya adalah pemenuhan hak-hak pihak lain. Dari pihak rakyat, maka mereka harus menaati keputusan-keputusan pemerintah. Allah SWT telah memerintahkan kaum Mukminin untuk menaati para pemimpin mereka dengan firman-Nya:
    ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59).


Rasulullah SAW berpesan,
    ”Kewajiban muslim adalah mendengarkan dan menaati (pemimpin) dalam apa-apa yang ia sukai atau ia benci. Kecuali jika ia diperintahkan untuk maksiat. Maka sama sekali ia tidak boleh mendengarkan dan menaatinya.” (HR. Muslim).


Sebaliknya pula, seorang pamimpin  haruslah juga memenuhi hak-hak rakyatnya. Hal ini karena Islam pada dasarnya adalah agama keadilan dan pembebasan dari berbagai bentuk penindasan dan kedzaliman. Rasulullah SAW adalah manusia yang gandrung kepada keadilan,beliau bersabda,
    ”Sesungguhnya mereka yang adil disisi Allah akan berada di atas mimbar dari Nur. Mereka ini adalah manusia  yang adil dalam keputusan hukum mereka, adil terhadap keluarga mereka dan adil terhadap apa yang menjadi kekuasaan mereka.” (HR. Muslim)


Sedang terhadap mereka yang dzalim, beliau bersabda,
    ”Barangsiapa yang oleh Allah diberi wewenang terhadap orang muslim kemudian ia menghalangi kebutuhan mereka, keinginan mereka dan menghalangi kaum fakir dari kalangan mereka, maka Allah juga akan menghalangi dia dari kebutuhanya, keinginanya dan kefakiranya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan At Trimidzi/ Riyadhush Sholihin hal 112).


Rasulullah SAW juga memperingatkan Mu’adz bin Jabal ketika Mu’adz  hendak baliau kirim ke Yaman.
    ”Takutlah engkau terhadap doa orang tertindas, karena sesungguhnya antara doanya dan Allah tidak ada pembatas.” (Muttafaq ‘alaih/ Riyadhush Sholihin hal. 113).


Bukan hanya sampai disitu, Rasulullah SAW masih mendoakan terhadap mereka yang dzalim dan adil dengan doa sebagai berikut,
    ”Yaa Allah, siapa saja yang memegang suatu urusan umatku kemudian mempersulit mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang memegang suatu urusan umatku kemudian ia bersikap sayang kepada mereka, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim/ Riyadhush Sholihiin hal. 316).


Rasulullah SAW juga memesankan kepada umatnya agar tidak menolong para penguasa dzalim. Beliau bersabda,
    ”Akan ada sesudahku para penguasa yang berbohong dan dzalim. Maka barangsiapa yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong mereka dalam melakukan kedzaliman, maka ia bukan bagian dariku dan aku juga bukan bagian darinya. Dai tidak akan datang ke haudh (danau)ku.” (HR. At Turmudzi/ Shahih/ Al Mughni/ II/ Hal. 140).


Karena itulah, Islam pada masa awal –awal mendapat sambutan yang luar biasa dari mereka yang mendambakan keadilan. Di Makkah, kaum muslimin banyak dari kalangan budak yang selama ini mendapatkan penindasan dari para majikan. Di antara mereka adalah Bilal, Sumayyah, Yasir, Amar bin Yasir, Shuhaib dan masih banyak lagi. Mereka adalah para budak yang kelak mendapatkan peranan penting dalam peranan Islam.

Ketika kaum muslimin meluaskan dakwah mereka di Syiria, mereka mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penduduk asli Syiria, walaupun mereka beragama Kristen. Majalah Kristen Pensyil edisi 38/1999 memuat salah satu surat masyarakat Kristen Syiria kepada Ubaidah, Jendral Islam yang memimpin misi Islam saat itu, mereka menulis surat sebagai berikut, ”Saudara-saudara kami kaum muslimin, kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Roma/ Byzantium, meskipun mereka seagama dengan kami. Karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih berbelas kasih kepada kami dengan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak adil. Pemerintah Islam lebih baik dari pemerintah Byzantium, karena orang-orang Byzantium itu telah merampok harta-harta dan rumah-rumah kami.”

Bambang Noorsena, seorang pemimpin Gereja Ortodox Syiria di Indonesia menulis dalam majalah diatas, ”Justru di kalangan Kristen Ortodox Syiria dikenal sebuah slogan,’Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari kekuasaan Kristen Yunani yang menindas kami, kemudian menempatkan kami dibawah penguasa Arab Muslim’. Sebab harus diakui bahwa penguasa Arab Muslim memang menjamin keselamatan jiwa, harta, Gereja dan salib-salib mereka, seperti yang dijamin dalam piagam yang dibuat Nabi Muammad SAW dan sahabat-sahabatnya.”

Inilah wujud prinsip keadilan Islam. Seorang Muslim tidaklah pantas untuk terlibat dalam kedzaliman kepada siapapun, walaupun kepada seorang kafir. Ketika kemudian datang masa penguasa dzalim memerintah dunia Islam, maka Islam pun selalu mempersembahkan para pejuang keadilan yang lantang berbicara di depan para penguasa. Diantara mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Al Buwaithi (murid Imam Syafi’i), Imam Sa’id bin Jubair, Imam Zaid bin Ali dan masih banyak lagi yang lainya. Semoga mereka selalu mendapatkan keridhaan Allah SWT, amien.

MENJAGA DAN MEMELIHARA SHALAT


Mudah-mudahan kita tergolong orang-orang yang senantiasa mendapat hidayah-taufik Allah SWT, syafaat-tarbiyah Rasulullah SAW, nadroh-barokah Ghautsu Hadzaz Zaman RA dan selamat sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat amin..
Allah SWT berfirman:
    ”Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang yang beriman.”(QS. An Nisa: 103)

Rasulullah SAW bersabda:
    ”Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang mendirikan shalat, maka sungguh, (berarti) ia (telah) menegakkan agamanya, (sebaliknya) barangsiapa tidak shalat, meninggalkan shalat, sungguh (berarti) ia merobohkan agamanya hancur agamanya.” (HR. Bukhari).


Dari dawuh-dawuh tersebut, jelaslah bahwa shalat adalah suatu kewajiban bagi setiap orang beriman. Melaksanakan shalat, berarti menegakkan agama dan tegaklah agamanya. Orang beriman yang tidak melaksanakan kewajiban shalat, berarti rusak dan hancur agamanya.

Marilah kita melaksanakan shalat lima waktu dengan dasar lillah dan kita jaga dan pelihara dengan baik sesuai dengan syarat rukun dan qabulnya shalat, sebagaimana firman Allah SWT:
    ”Peliharah segala shalatmu dan (peliharalah) shalat wustha. (Berdirilah) karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al baqarah: 238).


Dalam Kitab Tarhib wat Tahdzib, sebuah hadits, Rasulullah SAW telah bersabda:
    ”Barangsiapa  menjaga dan memelihara shalatnya, Allah akan memuliakan kepadanya dengan lima perkara:
      1. Dihilangkan kesempitan/ kesulitan hidup dan kehidupanya.
      2. Di bebaskan dari siksa kubur.
      3. Diberi Allah dapat menerima buku catatan amal dengan tangan kananya.
      4. Dan dapat berjalan melewati ”Jembatan” shirotol mustaqim dengan cepat seperti kilat.
      5. Masuk syurga tanpa di hisab.


Sebaliknya:
    ”Barangsiapa ’anggegampang’ menyepelekan shalat, artinya tidak menjaga dan memelihara shalat dengan baik (apalagi tidak melaksanakan), Allah akan menyiksanya dengan 15 macam siksa. 6 siksa di dunia, 3 menjelang mati, 3 di dalam kubur, dan 3 di akhirat.

    “Enam (6) macam selagi masih di alam dunia:
      1. Umurnya tidak diberi barokah.
      2. Tanda-tanda sebagai orang sholeh di hapus dari wajahnya.
      3. Semua amal yang dilakukan oleh Allah tidak diberi pahala.
      4. Doanya tidak dapat naik keatas langit, artinya doanya tidak diterima oleh Allah SWT.
      5. Tidak dapat bagian doanya orang-orang shalih.
      6. Keluar ruhnya/ mati tidak membawa iman (su’ul khatimah).”


    Adapun siksa menjelang kematian ada tiga (3):
      1. Dalam keadaan hina.
      2. dalam keadaan lapar.
      3. dalam keadaan haus.


    Begitu juga, siksa dalam kuburnya ada tiga (3):
      1. Kuburnya disempitkan oleh Allah, menyempitnya sampai tulang-tulangnya berserakan.
      2. Didalam kuburnya dinyalakan api dan di panggang siang dan malam di bolak-balik di atas api.
      3. Di dalam kubur di belit ular.


    Sementara tiga (3) siksa di akhirat saat menjelang  pengadilan Tuhan:
      1. Di datangi malaikat dan merantainya dan menyeretnya sambil mengumumkan,
      “Inilah pembalasan bagi orang yang menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban Allah.”
      2. Allah tidak mau melihatnya.
      3. Allah tidak membersihkan kotoran-kotoran dosa yang dilakukanya, dia mendapat siksa yang sangat pedih.


Marilah kita sadar, betapa berat dan dahsyatnya siksa yang mesti ditanggung oleh orang-orang yanh menyia-nyiakan shalat. Marilah kita bertaubat mohon ampunan Allah SWT, syafaat tarbiyah Rasulullah SAW, dan barokah-nadroh Ghautsu Hadza Zaman RA, serta memelihara, menjaga kewajiban-kewajiban kita terutama shalat lima waktu. Amin amin ya Rabbal ‘alamin…

Rabu, 04 Agustus 2010

Jangan Sembunyikan Yang Hak

“Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 42)

Ayat di atas memberikan kaidah penting dalam cara ke Islaman yang kaffah (sempurna) dan kholish (murni). Pada ungkapan WALAA TAL BISUUL HAQQA BILBAATHIL (dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil mengandung petunjuk  agar kita semua kaum muslimin menghindari bid’ah dholaalah (kreasi yang sesat) dalam beragama. Sehingga dengan demikian, kita melaksanakan Islam secara lurus dan murni serta terhindar dari kesesatan.

Pencampuran Islam dengan kesesatan  ini di dalam istilah Islam dinamakan bid’ah. Nah, dalam kaitan dengan bid’ah, maka kata bid’ah ini secara bahasa berasal dari kata bada’a yang berarti menciptakan  sesuatu tanpa contoh sebelumnya.

Dari sudut bahasa, maka seluruh kreasi manusia, baik dalam lingkup keagamaan ataupun dalam lingkup keduniawian dinamakan bid’ah. Dari sudut pandang bahasa inilah, maka Amirul Mukminin Umar bin Khatthab RA mengomentari shalat tarawih berjama’ah, “sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Riwayat Bukhari dan Malik). Dari sudut pandang bahasa ini pulalah, maka Imam Asy Syafi’i rahimahullah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah ghoiru madzmumah (kreasi yang tidak tercela), yaitu kreasi yang tidak menyalahi Al Qur’an dan Sunnah dan bid’ah dholaalah (kreasi sesat), yaitu kreasi yang menyalahi (Manaqib Al Imam Asy Syafi’I juz I hal. 469). Dari sudut pandang ini pulalah, maka para huffadz, seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al Hafidz Ibnul Atsir, Al Hafidz Ibnu Hajar dan lain-lain membagi bid’ah menjadi dua, yaitu kreasi baik (bid’ah hasanah) dan kreasi tercela (bid’ah sayyi’ah). Yang menjadi masalah adalah pengertian bid’ah secara syar’i. Ketika Rasulullah SAW bersabda:
    ”Setiap bid’ah sesat.” (HR. Muslim),
maka apakah maksud bid’ah dari ungkapan disini?


Ada perbedaan di kalangan manusia dalam memaknai bid’ah secara syar’i yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
    Kelompok pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa bid’ah adalah semua kreasi baru tanpa memperdulikan aspek-aspek  duniawi atau keagamaan. Kelompok ini diwakili oleh salah seorang tokoh Saudi, Al Utsaimin (Al Ibda’ fi kamalisy syar’i hal. 13). Jika kita mengikuti kaidah kelompok pertama ini, maka seluruh kreasi manusia yang tidak ada di masa Rasulullah SAW adalah sesat dan masuk neraka. Sehingga dengan demikian, manusia tidak boleh menggunakan misalnya telephon, mobil, hp, internet dan lain-lain.

    Kelompok kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa bid’ah semua amalan yang tidak pernah dilakukan, diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam bidang keagamaan. Pengertian ini seringkali dikemukakan oleh pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi). Berdasarkan pengertian kelompok kedua ini, maka semua kreasi doa (seperti hizb Nawawi, Hizb Barqi), semua kreasi shalawat (seperti Shalawat Nariyah, Munjiyat, Shalawat Barzanji, termasuk shalawat Wahidiyah, dll) adalah bid’ah, sesat dan tertolak.

    Kelompok ketiga adalah  mereka yang mengatakan bahwa bid’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’. Maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Di antara penganut tafsir ini adalah Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah (Manaqib Al Imam Asy Syafi’i juz I hal 469) dan para hufadz hadits.

    Dari ketiga pendapat tersebut maka jika kita memilih pendapat pertama, nampaknya mustahil dan hal ini bertentangan dengan kenyataan dalam sejarah. Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW banyak melakukan hal-hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Seperti penggunaan nama Amirul Mukminin pada Khalifah, pelaksanaan tarawih berjama’ah secara terus menerus (pada masa Rasulullah SAW pernah berjama’ah tapi kemudian sendiri-sendiri), pembukuan Al Qur’an dan lain-lain.

    Jika kita mengikuti kelompok kedua, maka kita pun akan menemui beberapa kontradiksi dengan kenyataan pada masa Rasulullah SAW maupun para sahabat. Jika kita mengatakan bahwa bila sesuatu itu baik, pastilah Rasulullah SAW akan paling dahulu melakukanya. Namun ternyata hal ini tidak sesuai dengan realita dalam kehidupan para sahabat dan tabi’in. berikut ini beberapa contoh:
      1. Dalam kasus pembukuan Al Qur’an menjadi satu buku, ini baru dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.
      2. Penunggalan kondifkasi model Al Qur’an baru dilakukan dimasa Amirul Mukminin Utsman RA.
      3. Dalam kasus pembacaan qunut, Umar bin Khaththab RA memilki doa qunut tersendiri yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Al Adzkar An Nawawi hal 49).
      4. Dalam masalah doa, seorang tabi’in Imam Ali Zainal bin Husain bin Ali bin Abi Thalib RA mengarang rangkaian doa yang kemudian diberi nama Ash Shahifah As Sajadiyyah.


Menurut saya, kelompok ketiga yang mengatakan bahwa bid’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’. Tetapi jika hal baru tersebut masih bisa dikembalikan kepada dasar Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaskudkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas: KULLU BID’ATTHUNN DHALAALAH (setiap bid’ah adalah sesat). Ini lebih sesuai dengan realita dalam perjalanan sejarah Islam maupun kandungan hadits.
    ”Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Abu Dawud),
justru menguatkan bolehnya berkreasi menyusun doa, shalawat dan kalimat-kalimat baik lainya. Karena hadits ini memiliki beberapa kandungan makna (mafhum) sebagai berikut:

    1. Bahwa dalam hadits tersebut, ada perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus).
    2. Perkara ini tertolak perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus ) ini tertolak. Point 1 dan 2 ini disebut mafhum manthuq pemahaman eksplisit).
    3. Secara terisrat (implisit/ mafhum), ketika Rasulullah SAW menyatakan bahwa ada perkara baru dalam agama yang tidak berasal dari agama, hal ini mengisyaratkan adanya perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar dari agama, baik secara umum maupun khusus). Berbeda jika redaksi hadits itu berbunyi “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara ini, maka ia tertolak.” Jika redaksi hadits demikian, maka seluruh kreasi baru secara mutlak ditolak. Tapi nyatanya dalam hadits di atas ungkapan, ”…hal-hal baru dalam perkara kami” masih disifati dengan ungkapan ”yang tidak berasal darinya”. Sehingga dengan demikian, ungkapan ini mengharuskan adanya hal-hal baru yang berasal dari agama.
    4. Perkara pada poin no. 3, yaitu perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang memiliki dasar dari agama baik secara umum maupun khusus) tersebut secara otomatis tidak tertolak oleh cakupan hadits di atas. Karena penolakan hadits hanya pada perkara baru yang tidak ada dasarnya dari agama. Poin 3 ini disebut dengan mafhum mukhalafah (pemahaman implisit). Inilah yang kemudian mendasari munculnya berbagai redaksi doa, shalawat atau bacaan-bacaan lain dari para sahabat maupun tabi’in.


Karena itulah, sangat bijaksana ketika Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
    ”Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena udzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali belum diketahui oleh mereka.” (Itqaan Shin’ah fi tahqiiqi ma’na bid’ah hal. 5).


Pemahaman ini pulalah yang kemudian memunculkan istilah bahasa (bukan istilah syara’) bid’ah hasanah. Istilah bid’ah hasanah ini bukan berarti merupakan kontradiksi dari hadits ”kullubid’ah dholaalah”. Karena bid’ah dalam hadits “kullu bid’ah dholaalah” adalah bid’ah syar’i, sedangkan bid’ah hasanah yang diungkapkan oleh para huffadz merujuk pada istilah kebahasaan dengan pengertian;
    ”Sesuatu yang tidak dilakukan/ dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun berada dalam keumuman atau kekhususan sebuah dalil.”
Allahu a’lam

Selasa, 03 Agustus 2010

Berbakti Kepada Orang Tua

Setiap kita pasti mempunyai orang tua. Baik yang masih hidup maupun yang telah berada di alam baka. Melalui perantara mereka, Allah SWT menghadirkan kita ke dunia. Keduanya merupakan orang yang paling berjasa membesarkan, merawat dan mendidik kita. Maka tak heran jika Allah menempatkan orang tua dalam  posisi yang mulia. Banyak ayat Al Qur’an yang berisi tentang perintah untuk berbakti pada orang tua. Bahkan berkata ”ah” (membentak) saja sudah di kecam oleh Al Qur’an.

Begitu juga dengan Rasulullah SAW. Dalam beberapa haditsnya beliau juga memerintahkan umatnya agar berbakti kepada orang tua, sampai-sampai Allah menggantungkan ridha dan murka-Nya pada mereka. Bila orang tua ridha, Allah pun ridha, sebaliknya bila orang tua murka, Allah juga murka.

Kisah-kisah tentang ridha dan murka orang tua juga sering  kita dengarkan. Mulai dari cerita rakyat Malin Kundang, kedurhakaan Kan’an putra Nabi Nuh AS, pemuda taat di masa Nabi Sulaiman AS, sampai kisah Alqamah di masa Rasulullah SAW. Semuanya membuktikan, betapa Allah SWT memberi kedudukan istimewa bagi kedua orang tua. Adapun adab-adab berbakti kepada kedua orang tua antara lain:

    1. Mendengarkan perkataan mereka dan tidak memutus perkataan ketika mereka berbicara.
    2. Berdiri menyambut keduanya ketika mereka berdiri demi menghormati dan memelihara kehormatan mereka.
    3. Mematuhi perintahnya selama perintah itu bukan dalam mendurhakai Allah.
    4. Tidak berjalan di depan keduanya, tetapi di samping atau belakangnya. Jika ia berjalan di depan kedua orang karena suatu hal, maka tidaklah mengapa ketika itu.
    5. Tidak mengeraskan suara kita melebihi suara kedua orang tua demi sopan santun terhadap mereka.
    6. Menjawab panggilan mereka dengan jawaban yang lunak.
    7. Berusahalah keras mencari keridhaan kedua orang tua dengan perbuatan dan perkataan.
    8. Bersikaplah rendah hati dan lemah lembut kepada orang tua seperti melayani mereka. Menyuapi makan dengan tangan kita bila keduanya tidak mampu dan mengutamakan keduanya di atas diri dan anak-anak kita.
    9. tidak mengungkit-ungkit kebaikan kita kepada keduanya maupun pelaksanaan perintah yang kita lakukan untuk mereka. Seperti mengatakan ”Aku beri engkau sekian dan sekian dan aku lakukan begini kepada kamu berdua.” Karena perbuatan itu bisa mematahkan hati. Ada yang mengatakan, menyebut-nyebut kebaikan itu memutuskan hubungan.
    10. Jangan memandang kedua orang tua dengan pandangan sinis.
    11. Janganlah bermuka cemberut kepada keduanya, dan jangan tertawa di depan mereka jika tidak ada sesuatu yang pantas ditertawakan.
    12. Janganlah bepergian, kecuali dengan idzin keduanya, yaitu perjalanan untuk jihad, haji tathawwu’, menziarahi para Nabi dan wali serta perjalanan yang bisa mengancam keselamatan untuk berniaga. Maka perjalanan macam itu diharamkan, bilamana tidak diizinkan oleh ayah dan ibu, meskipun diizinkan oleh yang lebih dekat darinya. Kecuali perjalanan untuk belajar ilmu yang fardhu, walaupun kifayah, seperti nahwu dan derajat pemberian fatwa. Maka tidaklah diharamkan, meskipun tidak diizinkan orang tua.
    13. Mengajak mereka bermusyawarah di dalam setiap pekerjaan dan perkara.
    14. Menghormati saudara dan sahabat-sahabat keduanya semasa mereka hidup dan setelah meninggal.
    15. Mendoakan mereka, terutama setelah mereka meninggal, karena itu sangat bermanfaat bagi mereka, karena doa anak kepada orang tua akan menjadi pengampunan baginya.
    16. Adakalanya seorang anak mempunyai orang tua yang kafir. Menghadapi mereka, maka anak harus tetap mempergauli dengan baik dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama selama ia masih hidup.


Bila seorang anak menerapkan adab-adab tersebut dengan sebaik-baiknya, maka Allah akan membalas dengan setimpal. Baginya telah dipersiapkan dua surga di akhirat nanti. Di dunia pun ia akan selalu berlimpah kebaikan. Sebagaiama kisah yang terjadi di masa Nabi Sulaiman AS. Ketika beliau berjalan-jalan menuju sebuah pantai, tiba-tiba dari dasar laut muncul sebuah istana nan indah. Tak berapa lama, dari dalam istana tersebut muncul sosok pemuda tampan dengan pakaian serba indah pula. Nabi Sulaiman bertanya, gerangan apa yang telah dilakukan pemuda tersebut hingga ia memperoleh nikmat yang begitu melimpah? Si pemuda menuturkan bahwa apa yang diperolehnya adalah sebagai balasan atas bakti dan taatnya pada orang tua. Saat keduanya masih hidup, si pemuda taat dan berbakti kepada keduanya, dan setia merawat mereka saat keduanya menderita lumpuh dan buta, sampai keduanya wafat.


Berbakti kepada orang tua juga lebih utama daripada berjihad (perang) di jalan Allah.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar RA.
    ”Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW: ‘Aku ingin berjihad.’ Nabi bertanya, ‘ Apakah engkau mempunyai dua orang tua?’ ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.”


Kewajiban untuk berbakti dan taat tidak hanya kepada orang tua biologis yang melahirkan kita saja. Lebih dari itu adalah berbakti dan taat kepada orang tua rohani, yaitu seorang ’Priyatun Agung’ yang menunjukkan kita jalan menuju wushul, sadar kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. (Maroqil ubudiyah, tarbiyah aulad)

'UBBAD

Dalam memulai suatu perkara maka mulailah dengan menyebutka nama Allah SWT “BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM”, kemudian “ALHAMDULILLAH IROBBIL ‘ALAMIIN”… Dst. Pernyataan syukur kepada Allah SWT. Dia dalam Al Qur’an di mulai dengan “Bismillah” atau billah istilah Wahidiyah atau di sebut Tauhid. Sedang “Ar Rohmaanir rohiim” ini sifat “JAMAL” atau sifat kasih sayang, yang menunjukkan bahwa kasih sayangnya Allah lebih banyak dan tak terhitung. Ada sebuah dawuh:
    ”RahmatKu mendahului amarahKu”.


Kasih sayang Allah SWT mendahului murkanya bahkan lebih menonjol. Ini dimaksudkan agar hamba-Nya atau manusia senantiasa mengharap kepada Allah SWT dan jangan sampai putus asa sebab Rahmat itu min ‘indillah. Baik itu Rahmat ni’matul ijad (Ni’mat di wujudkan) maupun ni’matul imdad (ni’mat dipelihara oleh Allah SWT).

    ”Dan RahmatKu meliputi segala sesuatu.” (Al –‘Araf: 156)


Ghodob atau murkanya Allah SWT itu hanya sebagian dan kemurkaan Tuhan itu sebab dari hamba. Jadi Rahmat atau kasih sayang-Nya Allah itu lebih kuat dari pada Ghodob atau murka-Nya di samping itu sekalipun manusia berlarut-larut, kalau di banding dengan belas kasihan Tuhan, bukan bandingan. Jadi terkecam sekali jika manusia itu sampai berputus asa akan Rahmat Tuhan karena berlarut-larutnya. Oleh karena itu menurut Syekh Abdullah As Syarkowi penyarah kitab Al Hikam mengatakan bahwa kita sebagai manusia harus meningkatkan Tauhid dan ubudiyah kepada Allah SWT.

Di dalam kitab Al Hikam yang di karang oleh Syekh Ahmad bin Muhammad bin  Abdul Karim terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Ato’illah, As Sakandari. Beliau berguru kepada Syekh Abas Al Mursyi. Syekh Abdul Abbas Al Mursyi ini berguru kepada Syekh Abul Hasan As-Syadzali dan beliau ini muridnya Syekh Ibnu Abdus Salam Al Masyis. Beliau Syekh Ibnu ‘Atho’illah sebelum terjun dalam dunia tasawuf sudah menguasai bidang syariat. Maka disamping terus memperdalam bidang syari’at beliau terjun di bidang haqiqat atau tasawuf. Menurut kitab “At Toriqot Syafi’iyah, beliau wafat di Qohiron Mesir pada bulan Jumadil Akhir tahun 709 H, adapun tanggal kelahiranya tidak disebutkan.

Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa kata “HIKAM” merupakan jama’ dari kata “HIKMAH” yang artinya kata-kata berguna. Biasanya kata-kata hikmah itu singkat tegas dan luas. Kata HIKAM lebih terkenal dengan kata Mutiara. Disana disebutkan:
    Setengah dari pada tandanya menjagakan kepada amalnya, ibadah atau perbuatanya, usahanya yaitu turun harapan atau tipis harapan ketika menemui kemacetan atau kegagalan atau kenegatifan atau kesalahan baik itu disengaja atau tidak.


Orang yang menjagakan amalnya ketika mengalami atau menemui kesalahan didalam usaha atau ibadah lalu tipis harapan, pesimis, kecil hati. Tapi kalau mengalami keberhasilan atau kemajuan menjadi tambah atau besar harapan, besar hati atau optimis. Mereka menjagakan amal yang sifatnya jawarih seperti dzikir, sembahyang, puasa, dan lain-lain. Atau bahkan tidak hanya amal lahiriyah juga amal bathiniah. Sebenarnya amal batin bagi orang yang sudah bisa menggunakan itu lebih selamat. Adapun amal lahir seperti baca shalawat, dzikir atau mujahadah dan sebaginya atau amalan yang secara langsung berhubungan dengan Tuhan seperti sembahyang, baca Qur’an, dzikir dsb, juga amalan yang berhubungan dengan masyarakat seperti zakat, menolong orang lain, memberi sedekah, memberi petunjuk dsb semua itu jika tidak tepat atau salah lalu menjadi tipis harapan, mereka pesimis berhasil mendapat Ridha Allah SWT, atau kecil hati untuk selamat.

Maka orang yang masih menjagakan amalnya mereka masih tebal nafsunya. Masih dikuasai nafsu lalu mengaku bisa berbuat begini bisa begitu, bisa beramal dan sebagainya. Sehingga menjagakan atau membanggakan kepada amalnya atau usahanya.

Orang yang mempunyai kriteria demikian disebut ’UBAD yaitu orang-orang ahli ibadah lahir atau disebut muriiduun yaitu orang-orang yang menginginkan wushul atau sadar kepada Allah SWT. Jadi kalau ditegaskan bahwa Ubad atau Muriiduun mereka masih tipis harapan ketika menemui kesalahan atau kenegatifan, yaitu orang yang masih menjagakan amalnya, karena mereka belum sadar kepada Allah SWT.

Untuk menuju sadar kepada Allah SWT ada beberapa golongan:
    1. ‘Ubad yaitu orang ahli ibadah. Yang diinginkan adalah syurga. Atau istilah lain ingin selamat dunia dan akhirat mendapatkan syurga yang tinggi yang megah dsb. dan terlepas dari siksa neraka.

    2. Muriiduun dan salikuun. Yaitu orang yang menghendaki wushul atau sadar kepada Allah SWT. Muriiduun atau salikuun dalam satu hal sama tapi yang sebenarnya dimaksud “MURIIDUUN” yaitu orang yang baru melangkah atau akan melangkah.”SALIKUUN”,  yaitu orang yang sudah melangkah atau sedang berjalan namun belum sampai. Jadi itu tadi kalau dua kata itu berjajar. Sedang kalau tidak berjajar atau terpisah yang dimaskud salikuun juga muriiduun.
    Muriiduun masih menjagakan amalnya untuk wushul kepada Allah SWT, kalau saya mujahadah mempeng, giat pasti cepat mencapai wushul  kepada Allah SWT atau sadar, itu fikiran mereka. Maka kedua kelompok ini baik muriiduun maupun salikuun didalam menjagakan amalnya itu terkecam sebab yaitu tadi masih mengaku, mengaku bisa beramal, bisa usaha, masih memandang kepada nafsunya atau pribadinya. Aku ada, aku bisa berbuat , bisa beramal, ini terkecam. Sebab bukankah sesungguhnya “LAHAULAA WALAAKUWWATA ILLA BILLAH”. Maka jika ia mengaku ada, bisa berbuat, beramal dsb maka terkecam.

    3. Arifuun yaitu orang yang telah arif sadar kepada Allah SWT. Ia tidak menginginkan syurga atau takut neraka dalam melangkah beribadah karena Allah SWT (Lillah) ikhlas tanpa tendensi apa-apa dan tidak mengaku mampu beribadah, berbuat atau beramal sebab kemampuannya semua digerakkan oleh Allah SWT (Billah). Jadi dalam berbuat bukan karena nafsunya namun ”LAHAULAA WALAAKUWWATA ILLA BILLAH”.


Dengan demikian sebelum kita melangkah harus kita deder tatanan kesadaran ini, kita harus memakai dasar yang kukuh dan kuat. Ibarat bangunan pondasinya harus kuat. Bangunan yang pondasinya tidak kukuh pasti akan hancur. Bagitu juga amal perbuatan, kalau tidak ada pondasi kesadaran otomatis akan hancur tidak berguna, hancur menjatuhi kepada yang membangun, baik soal itu saja sudah berat lebih-lebih menjatuhi soal akhirat itu akan lebih berat lagi.

Ini semua adalah soal Tauhid yang merupakan hal pokok dan penting sekali, kita harus Roja’ besar harapan atau optimis kepada Allah SWT. Didalam kita mujahadah, beramal apakah harapan kita stabil atau berubah-ubah, pasang surut. Bila kondisi kita pasang surut menurut keadaan kita berarti amal kita belum tepat dan mestinya harapan atau Roja’ kita hanya diarahkan kepada Allah SWT, jika diarahkan kepada amalnya, mujahadahnya, do’anya maka itu tidak tepat bahkan su’ul adab, salah alamat.

 Dengan demikian harus kita dirikan pandemen didalam hati  sanubari kita yaitu  pandemen tauhid yang sekokoh-kokohnya. Jangan sampai kita menjagakan kepada amal kita. Kalau kita rajin menjadi besar harapan sedang ketika kita malas (Glonjom) kemudian tipis harapan, itu namanya masih mempertuhankan kepada nafsu, kepada amalnya, kepada usahanya. Jadi kita  harus memandang kepada Allah SWT. Sekalipun bagaimana giat kita, kita harus tetap takut kepada Allah SWT, sebab hanya Allah SWT yang wajib ditakuti, sekalipun bagaimanapun baiknya keadaan kita. Dan sekalipun bagaimana glonjom kita, kita harus tetap mengharap kepada Allah SWT. Kita mengharap kepada Allah SWT, sebab sifat Tuhan  Maha Pemberi, Maha Pengampun, Maha Penyayang dsb. Dan pemberian Tuhan tidak digantungkan kepada keadaan atau usaha kita. Sebelum ada apa-apa Allah SWT sudah “WARAHMATII WASI’ AT KULLA SYAI’IN”. “Bismillahir Rohmaanir Rohiim”, sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan kita. Sekali lagi! Tidak terpengaruh. Maka bagaimana dengan Nabi Adam AS apakah itu salah semua? Misalnya, kita tidak boleh begitu, jangan tergesa-gesa menyalahkan suatu persoalan sebelum menguasai dengan sepenuhnya. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan persoalan, kalau sudah menguasai suatu persoalan secara obyektif, secara menyeluruh, menguasai jumlah dan tafsilnya sampai menyeluruh, itu baru boleh menyalahkan.

Bila kita glonjom, supaya mengecam dirinya sendiri. Tapi ketika kita baik keadaanya, maka ”FALNAHMADILLAH” kita harus memuji kepada Allah SWT dan syukur kepada Allah SWT. Kita harus berterima kasih kepada makhluk lain yang ada hubunganya baiknya keadaan kita baik soal moril maupun materiil. Tapi kalau buruk keadaan kita ”FALAA TALUMANNAILLAA ANFUUSANA”. Janganlah  kita mengecam selain kepada diri kita sendiri. Dan didalam mengecam dirinya sendiri harus dijiwai LILLAH BILLAH istilah Wahidiyah. Itu semua harus senantiasa menjadi dasar dalam segala gerak-gerik kita itulah tunutnan Islam, tuntunan Rasulullah SAW. Bahkan tuntunan segala agama yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. ”Untuk Tuhan dan sebab Tuhan”, yang berbeda istilahnya saja. Bahkan bagi kita bangsa Indonesia yang punya Pancasila dan didalam perbuatan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Harus mendasari segala amal perbuatan kita dengan LIL TUHAN DAN BIL TUHAN Yang Maha Esa.

Di waktu kita glonjom ada kata-kata ”ILLAA AMANIYYA”, yaitu orang yang menduga-duga ”MELAMUN”. Mengharap atau Roja’ tapi tak mau berjuang atau usaha, maka ini bukan Roja’ namun terkecam. Yang dinamakan mengharapkan atau Roja’ sekalipun tidak menjagakan amalnya, perbuatanya, usahanya, ibadahnya tapi harus giat berusaha, bersungguh-sungguh, bermujahadah. Juga jangan sampai kita salah faham atau salah menempatkan segala bidang di masing-masing tempatnya. Kalau kita salah menempatkan sesuatu pada tempatnya itu namanya “DHOLIM”. Sesuai definisi Dholim yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, begitu jika kalau kita menjagakan amal kita itu namanya salah alamat ”Dholim”. Mestinya harus menjagakan kepada Tuhan saja.

Namun sekalipun glonjom kita harus tetap menjagakan kepadaTuhan, tapi selain menjagakan kita harus berusaha dan berbuat, bila tidak mau berbuat atau berusaha iu namanya ”AMANI” atau lamunan. Dan ini terkecam jadi sekalipun mengharap atau Roja’ kepada Tuhan, itu penting tapi lebih penting lagi adalah tepatnya. Hubungan ini mungkin, orang selalu kuat non stop usahanya, mujahadahnya, tapi tidak ada Roja’ kepada Tuhan melainkan menjagakan kepada amalnya, sering istirahat tapi dia tepat. Tapi kita harus sebanyak mungkin dan setepat mungkin, ini tepatnya. Jadi yang penting dan prinsip adalah setepat mungkin. Jadi tidak boleh hanya menyalah gunakan, misal, biarlah sedikit asal tepat saja, sekalipun banyak kalau tidak tepat, itu tak berarti dsb. Itu namanya menyalah gunakan, tidak boleh dan terkecam karena menyalah gunakan. Jadi kita harus setepat mungkin dan sebanyak mungkin, istilah kwalitas dan kwantitas. Adapun kwantitasnya atau banyaknya itu nomor dua yang paling penting adalah kwalitas yaitu isi atau mutunya. Namun yang harus tetap berusaha mengisi keduanya kwalitas dan kwantitas.

Secara umum seperti Lillah Billah yang paling pokok adalah Billah, karena hubungan dengan Tauhid. Lillah hubunganya dengan ‘Ubudiyah, tetapi mungkin akan disalah gunakan. Kalaum berani menyalah gunakan berarti bunuh diri. Jadi yang paling prinsip ialah Billah, atau Tauhid. Tapi kita harus berusaha bersama-sama mengisi Lillah dan Billah, Syari’at dan Haqiqat. Bgitu juga hubungan antara Roja’ dan ikhtiyar atau usaha.

Kembali kepada permasalahan. Bahwa setengah tanda atau alamat orang yang menjagakan kepada amalnya yaitu ”NUQSHONUR-ROJA’” berkurangnya harapan untuk selamat dunia akhirat, dapat diridhai Allah SWT atau dapat wushul sadar kepada Allah SWT ketika sedang dalam keadaan maksiat atau glonjom. Itu namanya menjagakan amal atau usahanya, tidak menjagakan kepada Tuhan. Atau menjagakan nafsu. Dengan demikian soal yang pokok harus kita tempatkan  pada yang pokok pada tempatnya masing-masing dan seterusnya. Kata Sayyidina Ali Karromallahu wajhah:
    ”Tidak akan mengalami kerusakan orang yang tahu kedudukan dirinya”.

‘Ubad adalah orang-orang yang masih menjagakan amalnya, atau orang ahli ibadah yang belum sadar. Ada kata-kata:
    ”Orang yang sembahyang lima waktu pada awal waktunya di samping ibadah lain-lain, itu dinamakan ‘abidin (ahli ibadah)”

    “Dan orang yang keluar dari dunia, orang yang menjauhi dunia, fanak atau rusak pandanganya terhadap dunia, dinamakan orang yang bertapa “ZUHUD”.

    “Barang siapa yang keluar dari nafsunya, yang bebas dari nafsunya, dinamakan orang arif, orang yang sadar kepada Allah SWT”


Tapi ya bisa merangkap-rangkap, artinya al ‘Arif atau orang yang sadar kepada Allah SWT, disamping itu ia juga ahli ibadah dan Zuhud atau bertapa. Ada istilah:
    ”Orang arif itu kaainun yaitu tetap ada diantara manusia yang lain dalam segala bidang. Tapi Baainun: yaitu diluar manusia. Maksudnya wujudnya sama-sama kepasar, sama tukang jahit, kesawah namun batinya berpisah yaitu Ilallah. Jadi yang satu hanya lahirnya saja dan satu luar dalam.

Dan juga dikatakan:
    ”Orang arif lahirnya bersama makhluk, batinya bersama Allah.”

    “Setengah dari pada alamat atau tandanya minal ‘Arifin, adalah orang yang sadar kepada Allah SWT, dia fanak terhadap pandangan nafsunya”, nafsu tidak menjadi acara.

    “Ketika dia jatuh atau terkena musibah lupa, dia selalu sadar akan berlakunya kekuasaan Tuhan. Dan dalam istilah Wahidiyah Billah”.


Bidang Billah, baik dalam keadaan maksiat ataupun Tho’at ini harus senantiasa Billah. Tetapi kalau Lillah atau bidang-bidang lain (syariat) itu hanya soal tho’at yang hanya boleh diberi dasar Lillah, seperti dalam rukun Iman yang keenam artinya:
    ”Dan qodar baik buruk dari Allah”.


Kita harus yakin bahwa baik dan buruk itu sudah kodar dari Allah Ta’ala. Ibarat bangunan sudah direncanakan oleh yang membangun, baik itu baik maupun buruk. Begitu juga makhluk sudah direncanakan oleh Allah SWT, ”KHOIRIHI WASARRIHI MINALLAH”. Baik dan buruk itu hanya dari Allah SWT. Itu bidang Billah harus kita isi, disamping mengisi bidang Lillah.

Oleh karena itu orang ‘Arifin ketika dalam keadaan terbelegong dia tetap menyadari Billah, menyadari itu dari Allah. Ini tidak berarti lalu tidak mengisi bidang Lillah. Seharusnya yang sempurna ialah disamping mengisi bidang Billah (Haqiqat) harus mengisi bidang Syari’at (Lillah). Maka ketika maksiat misalnya, dalam bidang Haqiqat harus tetap Billah dan dalam bidang syari’at harus tobat. ”Robbana dholamna anfusanaa”, mengecam dirinya sendiri, atau nafsunya. Namun harus tetap didasari Lillah. Bila mengecam nafsu namun tidak didasari Lillah itu berarti masih menuruti nafsu, masih dijajah atau dikuasai nafsunya. Ini mungkin sangking licinya nafsu. Sekalipun Mujahadah, dzikir, kepada Allah SWT namun tidak didasari Lillah itu otomatis berarti nafsu. Oleh karena itu semua syari’at baik lahir maupun batin yang tidak didasari Lillah berarti nafsu, walaupun dzikir kepada Allah baik itu billisan maupun bil Qolbi jika tidak didasari Lillah otomatis Linafsi Binafsi. Adapun bidang Tauhid tidak ada hubunganya dengan Lillah. Billah ya Billah sudah. Saya Billah ini saya niati Lillah misalnya, itu tidak benar, Billah ya Billah, tidak bisa diniati Lillah.

Orang ‘Arif ketika dia mengalami kebaikan dia tidak mengaku diri. Tetap sadar Billah, tetap, ”LAA HAULA WALAA QUWWATAA ILLA BILLAH”. Tidak ada bedanya baginya, baik dalam keadaan baik ataupun buruk, tetap Billah, tetap bertauhid.
    ”Karena orang Arif tetap tenggelam didalam samudra Tauhid”.

    “Tetap sama khouf dan roja’nya”.


Orang ‘Arif tetap sama dalam keadaan takut dan harapanya karena sifat Tuhan itu ditakuti dan diharap buktinya lagi yaa “BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIM” “AR ROHMAANIR ROHIM”. “Kasih sayang”. Ini berarti sekalipun keadaan kita bagaimanapun juga, tetap harus mengharap kasih sayang Allah, kalau karena berlarut larut lalu putus asa itu terkecam. Dalam Al Qur’an sudah diperingatkan:
    ”Sesungguhnya tiada yang putus asa dari Rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” (Yusuf: 87)


Orang yang putus asa berarti orang yang meniadakan Tuhan, orang yang menutup-nutupi kemurahan Tuhan. Istilah manusia orang yang melukai Tuhan. Tuhan tidak dapat dilukai. Jadi didalam keadaan buruk kita atau berlarut-larut harus mengecam kepada diri sendiri.
    ”Barang siapa keadaanya belum cocok dengan itu tadi, harus usaha sekuat mungkin dengan riyadhah-riyadhah dan banyak dzikir.”

Berhubungan dengan itu Imam Sadzali dawuh:
    ”Barang siapa yang belum menerapkan atau merasakan ilmu ini, dia dalam keadaan dosa besar, sekalipun bagaimana baiknya dan dia tidak sadar tidak merasa kalau berdosa besar.”


Mujahadah dan riyadhah baik lahir maupun batin. Mujahadah yang paling penting adalah hatinya bersungguh-sungguh atau mujahadah lahiriyah adalah sebagai pupuk dan hati harus hati-hati atau istilahnya titi ngati-ati. Senantiasa waspada, kalau nyeleweng harus secepat kilat kembali, dengan senantiasa memusatkan perhatian Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW.

Usaha harus sekuat mungkin, Ibarat anak-anak bermain jumpritan harus selalu memegang kuat-kuat jumpritanya. Kalau sampai benggang (renggang) atau lepas, sekalipun hanya satu senti, past ditelan oleh nafsunya, lawanya. Tapi kalau sungguh-sungguh  sekuat tenaga memegang jempritanya dalam keadaan bagaimanapun pasti tidak akan ada apa-apa, malah dapat memanfaatkan situasi dan kondisi untuk Lillah dan Billah.
Jadi kalau orang belum memilki tanda-tanda tersebut harus usaha sekuat mungkin dengan kemampuan yang ada padanya. Sebab hal ini yang akan menentukan kelak. Kita maklum, bahwa akan hidup (selama-lamanya) di akhir nanti.
    ”Dan barang siapa yang buta (hatinya) niscaya di akhirat kelak ia akan buta dan lebih tersesat jalanya”. (Al Isra’:72)


Orang yang di dunia buta, tidak tahu siapa Tuhanya, otomatis di akhirat akan lebih jauh dari Tuhanya.
Kalau sudah memiliki harus ditingkatkan, orang jangan sampai menjagakan kepada selain Tuhan. Kok berarti jangan beramal pokok sudah sadar, itu ya tidak. Menjagakan Tuhan tanpa beramal namanya lamunan. Tapi kalau menjagakan amal, namanya syirik. Ini semua artinya kita harus senantiasa koreksi diri sehingga dapat menerapkan setepat-tepatnya. Allahu ‘alam

Senin, 02 Agustus 2010

Miskin Teladan

Hari-hari kemarin, sangat terasa betapa banyaknya potret wajah yang -akan- menjadi wakil dan pemimpin kita mengumbar kata-kata. Janji yang menawarkan sejuta asa untuk memikat hati hingga menjatuhkan pilihan kepadanya.

Gelar ‘wakil rakyat’ memang sudah sering kita dengar. Tetapi kepercayaan rakyat kepada yang mewakilinya belum sepenuhnya terwujud. Rakyat yang menjadi konstituen sebenarnya ingin di bimbing, dibela, diberi contoh oleh sang ‘wakil’ yang bukan sebatas kata-kata dan janji belaka.

Tapi nyatanya, para wakil rakyat yang seperti itu nyaris tidak pernah kita temukan. Yang kita dapati hanyalah para kader partai yang memperjuangkan kelompoknya, kepentingan partainya, hingga usaha memperkaya diri sendiri. Di desa kita bahkan, di tempat saat mereka mencari simpati, juga sudah tidak lagi kita temukan wakil kita  berbagi cerita, ngobrol bareng tentang bagaimana upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan yang banyak kita temukan sibuk sendiri demi kepentingan partainya, rapat dengan para pejabat, sedangkan rapat dengan masyarakat tidak pernah, apakah sepeti itu memperjuangkan rakyat,sedangkan kondisi rakyat saja tidak mengetahuinya?

Apa lagi hari ini. Ketika seorang caleg yang kalah justru menunjukkan sikap bodohnya dengan cara-cara yang konyol. Marah-marah, ngamuk, stress, bahkan ada juga yang nekad bunuh diri. Padahal, menang dan kalah adalah soal biasa dalam sebuah kompetisi. Ini menunjukkan betapa lemahnya jiwa dan iman mereka. Maka, mana mungkin rakyat akan mendapatkan teladan dari wakilnya yang juga miskin teladan?

Seorang ‘wakil’ seharusnya kal muwakil. Memiliki jiwa seperti diwakili. Mempunyai aspirasi, cita-cita dan keinginan seperti yang mewakilkan mandat keterwakilanya. Jika tidak, ibarat seorang insinyur bangunan yang mencoba mengobati penyakit liver seorang pasien. Ia tidak akan pernah sanggup mengobatinya. Ia harus menyerahkanya kepada seorang dokter spesialis penyakit dalam yang memang merupakan ahlinya. Jika dipaksakan, sangat berbahaya. Sebab, setiap keputusan dan perkataan yang diambil oleh orang yang bukan ahlinya akan sangat merugikan, bagi dirinya dan bagi orang lain.

Orang yang bekerja atas nama rakyat semata-mata untuk kesenangan diri sendiri tanpa memperdulikan kesengsaraan rakyat, sebenarnya adalah musuh rakyat. Hak yang semestinya milik rakyat dirampas begitu saja tanpa memperhitungkan untung dan ruginya.

Lebih celaka lagi. Seperti yang diberitakan berbagai media, wakil rakyat tingkat pusat periode 2004-2009, di akhir masa jabatanya ini akan mendapat apa yang disebut cinderamata berupa cincin emas dengan nilai total 5 miliar. Jika jumlah uang sebesar itu dibagi 550 orang, maka masing-masing wakil rakyat mendapat Rp. 9,1 juta untuk sebuah cincin emas dengan berat kurang lebih 10 gram. Lebih ironis lagi, tidak hanya para wakil rakyat yang ‘pulang kampung’ yang mendapat oleh-oleh istimewa itu, mereka yang kembali terpilih untuk periode 5 tahun mendatang pun akan mendapat cincin emas tersebut. (Surya, 9 juni 2009).

Menurut harian terbit Surabaya itu, pemberian cincin emas bagi para wakil rakyat itu adalah yang ketiga kalinya. Sejumlah wakil rakyat yang telah duduk di Senayan tiga periode, itu berarti mendapat kenang-kenangan berharga sebanyak tiga kali. Padahal sudah berungkali sikap para wakil rakyat itu mengundang kontroversi, mulai tentang kenaikan gaji ke -13, tunjangan-tunjangan yang berlebihan, kinerja yang tidak maksimal, perbuatan mesum, dan bahkan kasus-kasus korupsi berbagai proyek Indonesia yang menyeret sebagaian mereka kedalam jeruji besi. Maka, benarkah para wakil rakyat yang duduk di lembaga terhormat itu memperjuangkan nasib rakyat? Atau justru sebaliknya. Menjadi wakil rakyat adalah dambaan untuk memudahkan ‘cepat kaya’ dan bersenang-senang?

Mungkin inilah salah satu sebab, mengapa banyak yang mulai menjadikan tontonan sebagai tuntunan. Karena panutan yang semestinya jadi tuntunan tidak lagi dapat dipercaya. Krisis kepercayaan ini sejalan dengan semakin sedikitnya mereka yang menjadi wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Kesepian ini kian mencekam bila kecurangan para panutan itu dipadu dengan saling curiga sesama ‘wakil’ ditambah dengan provokasi yang negatife. Kita benar-benar miskin teladan!

Disini kita tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berharap; semoga para wakil rakyat yang sudah terpilih untuk periode 5 tahun mendatang lebih baik dan berkualitas. Kita pun berdoa; semoga mereka diberi hidayah dan taufik Allah SWT, sehingga dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat, senantiasa di atas landasan iman dan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW. Amiin..

YU’TI KULLADZII HAQQIN HAQQAH (memberikan hak kepada yang berhak menerimanya)

Adalah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Dan ini merupakan kewajiban. Kewajiban adalah amanat. Sedang amanat adalah sesuatu yang meminta pertanggung jawaban. Allah SWT secara khusus mengingatkan tentang hal ini,
    ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa: 58).


Dalam Al Qur’an Allah SWT juga menjelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang memikul beban (mukallaf). Pembebanan atau taklif meliputi hak dan kewajiban. Setiap beban yang kita terima menyebabkan kita harus melaksanakan kewajiban, tetapi pada saat yang sama kita juga memiliki hak. Pada setiap amanat ada balasan pahala bila dilaksanakan, dan dosa bila diabaikan.

Penjabaranya sangat jelas. Setiap kita punya kewajiban. Ada kewajiban individu, ada kewajiban kolektif. Sebagai orang beriman, kewajiban kita adalah beribadah kepada Allah SWT, mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan nderek tuntunan Ghautsu Hadzaz Zaman RA. Tanpa harus memandang balasan apa yangakan diberikan Allah kepada kita.

Begitupun dalam lingkup kewajiban kita secara sosial. Kewajiban antara guru dan murid, antara orang tua dan anak, suami dan istri, pimpinan dan bawahan, pejabat dan rakyat, dan kewajiban kepada apapun dan siapapun juga.

Orang tua punya kewajiban mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Anak-anak punya kewajiban berbakti kepada orang tuanya. Seorang suami berkewajiban memberi nafkah dan perlindungan kepada istrinya. Istri punya kewajiban manaati dan berbakti kepada suaminya. Demikian pula seorang guru. Punya kewajiban memberikan pendidikan sebaik-baiknya kepada anak didiknya. Sedang anak didik punya kewajiban menghormati gurunya. Atasan berkewajiban memberikan bimbingan dan arahan kepada bawahanya. Dan bawahan wajib menaati atasanya. Pun pula, pejabat pemerintah mempunyai kewajiban mengayomi rakyatnya. Sementara rakyat punya kewajiban menaati dan mendukung program-program pemerintahanya.

Apabila pemenuhan kewajiban ini ditempatkan pada tempatnya, maka akan terciptalah suasana harmonis ‘pemilik’ hak dan ‘penunai’ kewajiban. Tidak akan terjadi perselisihan yang berujung pada permusuhan, akibat saling menuntut hak. Sebaliknya, seseorang akan kehilangan haknya apabila mengabaikan kewajiban. Maka, membuat kontrol diri atas penunaian kewajiban adalah sebuah keharusan.

Mengukur sejauh mana kita menunaikan kewajiban, itulah standart hak yang akan kita terima. Hak itu sendiri sesungguhnya merupakan penjelmaan dari cara kita menunaikan kewajiban. Maka janganlah pernah takut kehilangan hak bila kita telah menunaikan kewajiban dengan baik dan benar.

Hak adalah sesuatu yang mesti diterima seseorang. Dan antara hak dan kewajiban ini ada sebab akibat. Yang menjadi kewajiban kita, menjadi hak bagi orang lain. Dan kewajiban orang lain menjadi hak bagi kita.

Dalam prakteknya, kita harus berlomba-lomba mengutamakan pemenuhan kewajiban. Sebab, jika kita hanya pandai menuntut hak, maka rusaklah tatanan kehidupan ini. Yang akan terjadi hanyalah pertengkaran, perselisihan, permusuhan, gontok-gontokan akibat tuntut-menuntut, royokan hak.

Dengan memenuhi sisi-sisi yang menjadi kewajiban kita, sesungguhnya bermakna bahwa kita sedang memegang dan membuka sebuah kunci untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi hak kita. Jika kita bekerja (baca: menunaikan kewajiban) dengan baik, otomatis hak mendapatkan imbalan berupa gaji akan kita dapat. Jika kita telah berbakti kepada orang tua dengan tulus dan ikhlas, tanpa diminta orang tua akan memberikan pengayoman dan kasih sayangnya kepada kita. Demikian juga, jika kita melakukan ibadah kepada Allah tanpa pamrih, atas dasar Lillah dan billah, Allah akan memberikan hak-hak kita berupa balsan pahala dan syurga, tanpa diminta. Begitu seterusnya. Rasulullah bersabda:
    ”Seungguhnya Allah memberikan segala hak kepada yang mempunyai hak.” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik dengan sanad shoheh).


Yang menjadi catatan disini adalah, seberapa besar hak yang akan kita terima sangat tergantung pada seberapa besar nilai dan kualitas kewajiban yang telah kita tunaikan. Itulah rahasianya. Allahu a’lam

RASULULLAH SAW PRIBADI YANG SELALU MENEBARKAN KEHARUMAN

Membincang pribadi Rasulullah SAW, keindahan akhlak di padu dengan keindahan fisik beliau yang sempurna seakan tiada habisnya. Beliau bagaikan sumber mata air yang tiada pernah kering untuk digali. Rasulullah SAW benar-benar pribadi yang selalu menebarkan pesona kapanpun dan dimanapun beliau berada.

Di samping pesona pribadi beliau yang tiada tandinganya, Rasul SAW memiliki keistimewaan berupa semerbaknya aroma wangi dari dalam tubuh beliau dalam segala situasi dan kondisi. Sebuah mukjizat yang tidak diberikan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum beliau maupun kepada manusia setelah beliau SAW.

Para sahabat yang setiap hari berdekatan dengan Rasul  SAW rata-rata mengatakan bahwa tubuh beliau menebarkan aroma yang sangat wangi. Keharuman yang menyerupai minyak wangi yang keluar dari tubuh beliau bukan hanya dirasakan oleh para sahabat, para musuh yang sempat berdekatan dengan beliau juga merasakan hal yang sama. Saking wanginya aroma tubuh Rasul SAW, sampai-sampai sebagaian sahabat ada yang sengaja mengumpulkan keringat beliau untuk wewangian tubuh mereka.

Diriwayatkan oleh Anas RA, ia berkata:
    ”Aku belum pernah menyentuh sutra yang lebih halus dibandingkan dengan tangan Rasul SAW, dan aku belum pernah mencium bau yang lebih harum dibandingkan dengan keharuman bau badan Rasul SAW.”


Anas RA adalah sahabat Rasul SAW yang boleh dikata adalah tangan kanan Rasul SAW. Sejak belia, Anas tinggal bersama Rasul SAW. Melayani segala keperluan beliau. Tiada hari tanpa berdekatan dengan Rasul SAW. Karenanya tak heran jika dia sangat faham bau-bauan yang keluar dari tubuh Rasul SAW.

Bahkan ibu Anas, Ummu Sulaim mengumpulkan keringat Rasul SAW dan memasukkanya ke dalam botol untuk dicampur dengan minyak wangi miliknya. Hadits yang diriwayatkan dalam sahih ini begitu masyhur.

Riwayat lain mengenai Ummu Sulaim mengumpulkan keringat Rasulullah SAW dan ditaruhnya dalam suatu tempat terdapat dalam beberapa versi: pada suatu hari beliau ke rumah Ummu Sulaim dan tidur di atas tikar. Tidak lama kemudian datanglah Ummu Sulaim, lalu dikatakan padanya, bahwa Rasulullah SAW sekarang tidur di rumahmu di atas tikarmu. Perawi hadits berkata: ketika dilihatnya beliau berkeringat, sedangkan keringatnya menggenang pada selembar kulit yang dijadikan alas tidur beliau. Maka tanpa benyak membuang waktu Ummu Sulaim segera membuka wadah  lalu mengumpulkan keringat beliau dan memerahnya dalam beberapa botol kecil. Melihat hal tersebut Rasulullah SAW terkejut, lalu bertanya, ”Wahai Ummu Sulaim, apa yang sedang engkau lakukan?” ia menjawab; ”Ya Rasulallah, kami mengharapkan berkah dari keringatmu untuk anak-anak kami” Beliau lantas berkata, ”Engkau akan mendapatkanya.”

Sahabat Abu Jahaifah RA yang pernah merasakan berjabat tangan dengan Rasul SAW menyatakan bahwa tangan beliau sangat dingin dan ketika dia menciumnya baunya sangat harum melebihi harumnya minyak misik.

Riwayat lain mengenai aroma wangi dari tubuh Rasul SAW, tertuang dalam kitab Maulidul Barzanji, yang mengatakan:
    Bahwa peluh yang keluar dari tubuh Rasulullah SAW itu bagaikan mutiara yang baunya lebih semerbak daripada harumnya wewangian minyak kasturi. Ketika beliau berjalan, tampak condong, seakan-akan sedang turun dari jalan yang tinggi… ketika beliau membelai (mengusap) kepala anak kecil, maka akan dapat diketahui bekas usapanya itu oleh anak-anak lain karena bau keharumanya.


Sementara itu di kitab Maulidud Dibay diceritakan:
    Apabila beliau tersenyum, maka senyumnya bagaikan butiran air embun. Bila beliau berbicara maka isi pembicaraanya bagaikan mutiara yang berjatuhan. Jika beliau bercakap-cakap maka aroma nafasnya bagaikan minyak misik yang keluar dari mulutnya.


Kiranya bukan hanya keringat beliau yang berbau harum tapi kotoran beliau pun juga berbau harum. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Aisyah RA, bahwa jika Rasulullah SAW hendak membuang kotoran maka bumi terbelah dan menelan kotoran dan air kencing beliau serta bau harum semerbak di tempat itu. Subhanallah