Rabu, 14 Juli 2010

Mujadid dan Ghauts; Peranan dan Kedudukannya di Tengah Umat

Banyak yang belum faham antara perbedaan Ghauts dan Mujadid. Apa tugas-tugasnya, sejak kapan keberadaanya di tengah-tengah umat. Hal ini penting di bahas karena masih banyak kaum Muslimin khususnya Pengamal Wahidiyah yang salah mempresepsikan atau bahkan tidak tahu sama sekali keberadaan Ghauts dan Mujadid di muka bumi. Ini bisa di maklumi mengingat pembahasan tentang Ghautsiyah dan Mujadid tidak banyak beredar di tengah-tengah masyarakat. Kali ini Aham sengaja menurunkan kembali tulisan pembahasan Mujadid dan Ghauts yang di muat pada edisi 17/Ramadhan 1419H/Desember 1998M. hasil wawancara reporter Aham Vety Arova dengan KH. Ahmad Baidhowi (alm). Konon edisi 17 tersebut merupakan edisi terbaik dibanding edisi sebelumnya maupun sedudahnya sebagaimana dawuh beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid RA secara sirri kepada H. Indra Sukmana dari Cianjur.

Bisa Yahi jelaskan perbedaan antara Mujadid dan Ghauts?

Menurut arti bahasanya, Mujadid berarti  reformis atau pembaharu. Menurut Hadits Rasulullah SAW adalah orang yang di utus oleh Allah SWT pada setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki (memperbaharui) persoalan agama umat. Mujadid ini datang setelah Rasulullah SAW wafat.

Ghauts secara harfiah berarti penolong. Menurut ulama Tasawuf adalah pemimpin para waliyullah di muka bumi. Tugasnya adalah sebagai penuntun, pembimbing kepada keselamatan dan kebahagiaan yang di ridhoi Allah wa Rasulihi SAW. Istilah Ghauts banyak di bahas dalam dunia tasawuf.

Apakah ada pembagian dalam Mujadid itu?

Ada. Pertama, Mujadid sebelum Rasulullah SAW. Mujadid  ini di pegang oleh Rasul Ulul ‘Azmi, yang selanjutnya di sebut Mujadid Tasyri’ (pembawa syariat) yang di dalamnya juga meliputi bidang tahqiq (tasawuf). DI mulai oleh Nabiyullah Nuh AS dan di tutup oleh beliau Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin SAW. Adapun Nabi dan Rasul selain Ulul ‘Azmi bertugas meneruskan misi Rasul Ulul ‘Azmi tersebut.

Kedua, Mujadid setelah Rasulullah SAW. Mujadid setelah Rasulullah SAW ini secara garis besar ada dua. Yakni Mujadid Tahqiq dan Mujadid Ghairu Tahqiq atau Tasyri’ (fiqih) disini bukanlah tasyri’ pembawa syariat sebagaiman Rasul Ulul ‘Azmi. Melainkan Mujadid yang bertugas membangun dan mengembalikan syariat Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Sedangkan Mujadid Tahqiq adalah seseorang yang di utus oleh Allah SWT untuk membangun dan menghidupkan kembali ajaran dan tuntunan Rasulullah SAW untuk wushul makrifat kepada Allah SWT. Mujadid Tahqiqi disini adalah pemimpin para waliyullah (Sultanul Auliya’).

Kongkritnya bagaimana?

Begini, Mujadid Tasysri’ di jabat oleh lima Nabi dan Rasul Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad SAW). Jarak antara Ulul ‘Azmi dengan yang lainya kurang lebih 1000 tahun. Para beliau Ulul ‘Azmi ini (Mujadid Tasyri’) membawa syariat sendiri-sendiri. Bila Ulul ‘Azmi ini wafat, maka digantikan oleh yang baru dengan syariat yang lebih sempurna. Adapun para Rasul yang bukan Ulul ‘Azmi bukan Mujadid, bertugas menyampaikan syariatnya Mujadid Tasyri’ sebelumnya. Sebagai contoh, para Rasul yang hidup diantara Nabi Nuh AS dan Nabi Ibrahim AS yaitu Hud AS dan Nabi Shaleh AS. Beliau berdua bertugas menyampaikan syariatnya Nabi Nuh AS. Begitu juga Rasul yang hidup di antara Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, bertugas menyampaikan syariatnya Nabi Ibrahim AS, dan seterusnya. Walau sebagai penerus dan bukan Mujadid Tasyri’, dalam menjalankan tugas-tugas kerasulanya mendasarkan pada wahyu Allah SWT, bukan sekedar taklid atau mengikut.

Bagaimana halnya dengan tugas para nabi sebelum Nabi Nuh AS?

Sebelum Nabi Nuh AS tidak disinggung soal Mujadid. Sebab waktu itu belum ada syariat. Jadi tugas para Nabi seperti Nabi Adam AS, Nabi Syis AS sampai nabi Nuh AS yang berjarak kurang lebih 1000 tahun itu terbatas soal tauhid, memperbaiki cara hidup dan meningkatkan kesejahteraan anak cucunya sampai datangnya Nabi Nuh AS, maka Allah SWT memberikan batasan-batasan antara ibu dan anak-anak, saudara laki-laki dan saudara perempuan, juga mengaktifkan kewajiban-kewajiban, melaksanakan adab-adab beberapa perintah yang disusul dan diikuti para Rasul Ulul ‘Azmi berikutnya hingga syariatnya lebih meningkat dan lebih sempurna (Islam) yang di bawa Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin Nabi Muhammad SAW yang syariatnya meliputi syariat para Nabi dan Rasul sebelumnya. (Hasyiyah Showi juz 11 hal 29).

Setelah Rasulullah SAW wafat bukankah syariat agama sudah sempurna, tapi mengapa Allah masih mengangkat Mujadid?

Sebelumnya kan saya jelaskan bahwa Mujadid sepeninggal Rasulullah SAW bukan sebagai Mujadid pembawa syariat, tetapi Mujadid untuk memperbaiki (memperbaharui) syariat Rasulullah SAW yang sudah tidak murni lagi. Nah, Mujadid sepeninggal Rasulullah SAW ini akan muncul setiap penghujung 100 tahun. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
    yang artinya,”Sesungguhnya Allah mengutus seseorang setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki (memperbaharui) persoalan agama umat.” (HR. Abu Dawud, Al Hikam, Baihaki, dari Abu Hurairah RA/ Sirojut Tholibin I hal 6, Syamsul Ma’arif III hal. 324, Da’watut Taamah hal. 5).


Sehubungan dengan hadits tersebut, pada kalimat yab’atsu, artinya mengutus utusan, beliau Shahibul Wahidiyah Sayyidul Ghauts Sayyid Abdul Madjid Ma’ruf QS wa RA menggaris bawahi dengan dawuhnya:
    Yang artinya, ”Yang dimaksud Rasul disini (hadits ini) bukan Rasul pembawa syariat, tapi Rasul untuk menyempurnakan agama umat sehingga mencapai hakikat dan makrifat, sadar billah.” (Yawaqit juz II hal. 8)

Ini menurut tinjauan kacamata tasawuf, yakni Mujadid Tahqiq.

Kalau Mujadid Tasyri’ wafat, penerusnya adalah para Nabi dan Rasul sampai datangnya Mujadid Tasyri’ berikutnya. Lantas siapa penerus Mujadid Tahqiq jika beliau wafat?

Secara ototmatis para Ghauts yang bertugas diantara Mujadid Tahqiq yang meninggal dan Mujadid Tahqiq yang berikutnya. Dengan demikian maka setiap Mujadid pasti Ghauts, tetapi kalau Ghauts belum tentu Mujadid. setiap Ghauts itu pasti Wali dan setiap Walibelum tentu Ghauts. begitu pula para Rasul Ulul ‘Azmi pasti Mujadid Tasyri’, tetapi tidak setiap Nabi dan Rasul itu Mujadid Tasyri’.

Sepeninggal Rasulullah SAW penggantinya adalah para Khulafaur Rasyidin yang sekaligus menjabat sebagai Quthubul Aqthab dan Ghauts di zaman itu. Siapa Ghauts pertama sepeninggal Khulafaur Rasyidin?

Dalam kitab Yawaqit juz II hal. 82 ada keterangan bahwa Ghauts pertama menurut para ulama tasawuf adalah Sayyidina Hasan RA. Setelah beliau wafat di ganti Sayyidina Husein RA. Dalam kurun lain Ghauts fii zamanihi Syekh Abdus Salam bin Masyisy RA. Setelah beliau wafat di ganti oleh Syekh Abul Hasan Asy Syazali RA, diteruskan oleh Syekh Abbul Abbas Al Mursi RA. Begitu seterusnya.

Apakah para Ghauts itu mesti berdomisili di Timur Tengah, di Mekkah misalnya mengingat Ka’bah ada disana?

Dalam kitab-kitab tasawuf tidak ada yang menerangkan bahwa Ghauts itu harus orang Timur Tengah apalagi di Mekkah. Contohnya Syekh Imam Ghazali dari Persia (Iran), Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dari Baghdad (Irak).

Bagaimana proses pergantian dari Ghauts yang satu ke Ghauts berikutanya?

Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu haditsnya yang artinya kurang lebih:
    ”Sesungguhnya Allah mempunyai 300 wali di muka bumi ini yang hatinya seperti Nabi Adam AS, 40 wali yang hatinya seperti Nabi Musa AS, 7 wali yang hatinya seperti Nabi Ibrahim AS, 5 wali yang hatinya seperti Malaikat Jibril, 3 wali yang hatinya sebagaimana hati Malaikat Mikail, kemudian 1 wali hatinya seperti Malaikat Isrofil. Apabila wali yang satu itu meninggal dunia, Allah mengganti/mengangkat salah satu dari wali yang lima. Apabila salah satu dari wali yang lima meninggal dunia, Allah mengangkat salah satu wali dari yang tujuh. Apabila salah satu dari wali yang tujuh meninggal dunia, Allah mengganti salah satu dari wali yang empat puluh. Apabila salah satu dari wali yang empat puluh itu meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari wali yang jumlahnya tiga ratus. Dan apabila salah satu dari wali yang tiga ratus meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari sekian manusia beriman yang paling baik dalam segala bidang.” (Tafsir Sirojul Munir: 157, Siraajut Thalibin juz I: 161, Tanwirul Qulub: 414-415, Syawahidul Haq: 197, Al Haawi lilfataawi juz 11: 298 dan buku kuliah wahidiyah: 140)


Hadits di atas kan tidak menyinggung kata-kata Ghauts?

Memang benar, akan tetapi berkenaan dengan hadits diatas, ba’dul ‘arifin (ulama tasawuf) mengatakan:
    ”Wali atau yang disebut dalam hadits ini ialah Wali Quthub dan dialah Ghauts.” (Syawahidul Haq: 197)


Sehubungan dengan hadits tersebut, Syekh Sya’roni RA menafsirkan:
    ”Apabila Al Qhutub Al Ghauts meninggal, dalam kekosongan ini Allah mengganti mengangkat Ghauts yang lain.” (Yawaqit juz II: 80).
Beliau juga mengatakan:
    ”Semua zaman tidak akan sepi dari Rasul dan dialah Al Quthub, dialah tempat melihat Allah Al Haq di alam ini.” Ditegaskan lagi dengan Qaulnya: ”Maka bumi ini tidak akan sepi dari Rasul yang hidup Ruhani dan jasadnya, sedang dialah pusatnya (kegiatan) alam insani untuk menuju hakikat dan makrifat billah.” (Yawaqit juz II: hal 80).


Dari sini jelas dan tegas bila Ghauts meninggal,baik itu mendapat tugas merangkap sebagai Mujadid Tahqiq atau Ghauts penerus, Allah SWT akan mengangkat Ghauts yang lain.

Maksudnya Ghauts penerus?

Ghauts yang bertugas meneruskan amalan dan ajaran Ghauts yang merangkap Mujadid Tahqiq sebelumnya. Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Ghauts penerusnya adalah Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA. Dasarnya, banyak diantara pengamal yang di dawuhi oleh Mbah Yahi Mualif Shalawat Wahidiyah QS wa RA yang menyatakan bahwa Romo Yahi Abdul Latif adalah pengganti Mbah Yahi. Antara lain remaja dari Ngawi dan Pak Masykur Sekdes Dadapan Gampengrejo melaui mimpi. Keduanya di dawuhi oleh Mbah Yahi dengan redaksi yang hampir sama, Kowe meluwo anakku Abdul Laif, Pimpinan Umum. Iku sing ono Lillah Billahe. (Kamu ikut anakku Abdul Latif saja, Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah, itu yang ada Lillah Billahnya). Begitu dawuh Mbah Yahi QS wa RA kepada seorang remaja dari Ngawi.

Sedang untuk Pak Masykur Sekdes Dadapan, ketika dawuh Mbah Yahi sampai pada kata-kata Pimpinan Umum, Pak Masykur menangis sambil nida’ Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts berulang-ulang sampai Mbah Yahi menyuruhnya berhenti menangis, seraya beliau dawuh; wis-wis, saiki shalato makmumo kono.” (Sudah-sudah, sekarang kamu shalat dan makmum sana). Pada waktu itu yang menjadi Imam adalah Romo Yahi RA, badanya besar sekali tidak seperti biasanya. Dan masih banyak pengamal lain yang di dawuhi Mbah Yahi dengan redaksi yang berbeda.

Apakah dawuh Mbah Yahi dalam mimpi itu Haq?

Ya, Haq. Al ‘alamah As-Sufairi Al Halabi pengikut Madhzab Syafi’I RA mengatakan dalam Syarah bukhari:
    ”Sungguh sebagaimana syetan tidak mampu menyerupai Rasulullah SAW, begitu juga ia tidak mampu menyerupai Wali Kamil (Ghauts).” (Tanwirul Qulub: 520)


Apabila ada pengamal yang tidak yakin bahwa Romo Yahi RA adalah Ghauts Penerus, bagaimana metode untuk mengetahui Ghautsu Hadzaz zaman?

Istikharahlah, dengan membaca Al Fatihah 1000x, memperbanyak  “Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah  alaika robbi nii bi-idnillah wandur ilayya sayyidii binadhroh muushilatil lil hadlrotil ‘aliyah”  Dan ”Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts.” Di perbanyak tiap malam sampai ketemu dengan Ghautsu Hadzazzaman. Dengan catatan jangan sampai di setir oleh nafsu, harus ikhlas dan niat akan mengikutinya. Sebab pada zaman Mbah Yahi QS wa RA ada orang yang bertanya pada beliau:
    ”Sekarang ini sudah zaman Imam Mahdi apa belum?”  Mbah Yahi menjawab: Belum, coba kamu istikharah dengan membaca Al Fatihah 1000x.” Lain hari orang  tersebut sowan dan mengatakan: ”Saya ketemu Imam Mahdi, saya diberi tahu bahwa Ghautsnya Panjenengan Yahi.” Tetapi sayang seribu sayang karena tujuanya hanya ingin tahu saja, setelah tahu hanya cukup tahu, tidak taslim, tidak nderek Mah Yahi QS wa RA, tidak menjadi Pengamal Wahidiyah.


Saran untuk Pengamal Wahidiyah?

Di sarankan bagi pengamal yang belum yakin atau tidak yakin bahwa beliau Romo Pengasuh Perjuangan Wahidiyah sebagai Ghauts, agar mencari sampai ketemu, sebagaimana telah dituntunkan.