Jumat, 09 Juli 2010

Bagaimana berendah hati?

Salah satu hal yang penting agar seseorang menjadi tawadhu’ atau rendah hati adalah mengetahui hakikat kerendah hatian tersebut. Rendah hati adalah sikap seseorang yang memandang dirinya lebih rendah dari orang lain. Kemudian sikap hati ini memancar dalam perilaku lahiriah seseorang yang menjadikan ia menghargai orang lain dan memandang orang lain dengan pandangan yang positif. Dan sebaliknya, ia memandang dirinya dengan pandangan yang harap-harap cemas. Adakah dirinya manusia yang diridhai Allah ataukah orang yang di murkai-Nya.

Dalam Islam, kerendah hatian di bagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan interaksi masing-masing pribadi dengan pihak di luar dirinya. Bagian tersebut adalah tawadhu’ terhadap Allah, tawadhu’ terhadap Rasul, tawadhu’ terhadap manusia dan tawadhu’ terhadap makhluk-makluk selain manusia.

TAWADHU’ KEPADA  ALLAH

Tawadhu’ kepada Allah berpangkal dari satu keyakinan bahwa Allah adalah pemilik dan Penguasa Tunggal alam semesta. Ia Maha Sempurna, Maha Indah, Maha Bijaksana dan memilki segala sifat Kesempurnaan lainya. Karena itulah, manusia berendah hati kepada Allah dengan bebarapa cara:

    Pertama; adalah dengan melihat Allah dengan penuh pengagungan, kecintaan dan memuliakan. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai sosok yang bodoh, lemah, sangat tergantung dan memerlukan pertolongan dan bantuan Allah SWT. Karena itulah, pada tawadhu’ ini manusia akan selalu memuji, mengagungkan dan menghamba secara total kepada Allah SWT.

    Kedua; adalah tawadhu’ fil hukmi (tawadhu’ berkaitan dengan hukum Allah). Pada tataran ini manusia memandang bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Pengetahuan dan kebijaksanaan Allah SWT sangatlah mutlak dan tidak bisa sedikitpun  dibandingkan dengan makhluk-Nya. Bahkan seluruh makhluk Allah bersatu, baik manusia, jin, malaikat atau makhluk-makhluk lain, tiada bisa dibandingkan kebijaksanaan dan pengetahuan mereka dengan kebijaksanaan dan Pengetahuan Allah SWT.

    Dari sikap dasar di atas, kemudian manusia merendah kepada Allah dengan menaati hukum –hukum Allah secara total. Tak ada sedikitpun di dalam benaknya keinginan untuk mempertanyakan atau menggugat hukum-hukum Allah. Jadilah ia manusia yang konsekuen dengan aturan Allah dan berupaya untuk menegakkan aturan tersebut di tengah-tengah manusia. Demikian juga dengan ketentuan-ketentuan Allah terhadap dirinya. Ia melihat bahwa apapun ketetapan Allah SWT atas dirinya mestilah sebagai sesuatu yang terbaik. Hingga dari sikap dasar ini, ia akhirnya dapat menerima semua ketentuan dan takdir Allah dengan penuh keridhoan dan kerelaan. Demikianlah, maka akhirnya menyatu pada diri manusia keselarasan antara syariat dan hakikat dalam kehidupanya.

    Ketiga; adalah tawadhu’ fish shifat (tawadhu’ dalam sifat). Tawadhu’ ini adalah dengan cara menghilangkan pandangan seseorang bahwa dirinya memiliki sifat-sifat yang mulia secara mandiri. Sebaliknya, ia melihat bahwa sifat kebaikan yang dimilkinya semata-mata karunia Allah (Billah). Bukan miliknya yang mandiri. Ia juga melihat sifat-sifat dasar dirinya adalah sangat rendah. Sebagai manusia, maka ia sangat tergantung dengan sifat kasih sayang Allah, maka ia bisa saja bersifat buruk. Seperti pembohong, penipu, kejam dan berbagai sifat buruk lainya bisa menjadi miliknya. Karena itulah, dengan tawadhu’ fish shifat ini maka ia akan semakin menyadari kelemahan dan ketidak-berdayaan.

    Keempat; adalah tawadhu’ fil fi’li (kerendah-hatian dalam perbuatan). Tawadhu’ ini dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak memilki kekuatan apapun untuk melakukan sesuatu kecuali dengan pertolongan Allah (billah). Ia melihat dirinya sebagai makhluk yang lemah tiada daya. Semua kekuatan yang ada padanya semata-mata karena pertolongan Allah SWT.

    Kelima; adalah tawadhu’ fil wujud (tawadhu’ dalam memandang wujud). Ini adalah tawadhu’nya para Nabi dan arifin. Mereka memandang bahwa Allah adalah Pemilik Tunggal Wujud. Sehingga dari pandangan ini, maka mereka tidak pernah memandang ada wujud lain selain Allah SWT. Dalam setiap waktu dan kesempatan, mereka hanya memandang wujud Allah tanpa melihat lagi kepada wujud selain-Nya.


TAWADHU’ KEPADA RASULULLAH SAW

Tawadhu’ kepada Rasulullah SAW adalah hal yang penting di dalam Islam. Karena Rasulullah SAW adalah sosok yang diangkat oleh Allah sebagai wakil-Nya sebagai penguasa dunia. Berendah hati kepada Rasulullah SAW berarti juga berendah hati kepada Allah SWT. Sebaliknya, takkabur dan tidak menjaga adab kepada Rasulullah SAW berarti juga takabbur dan tidak menjaga adab kepada Allah SWT.

Tawadhu’ kepada Rasulullah SAW ini dapat dilakukan dengan beberapa hal:

    Pertama; adalah dengan meyakini kedudukan beliau sebagaimana Allah jelaskan dalam Al Qur’an serta bersikap terhadap beliau secara layak sesuai dengan kedudukan tersebut serta disisi lain memandang dirinya dengan penuh kehinaan, apalagi dibandingkan dengan kedudukan Rasulullah SAW. Allah SWT menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah utusan beliau yang paling mulia dan terakhir. Hal ini sebagaimana firman Allah:

      Muhammad bukanlah ayah salah seorang laki-laki di antara kalian. Tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40).


    Berendah hati kepada beliau juga dengan meyakini dan bersikap yang layak terhadap kedudukan Rasulullah SAW sebagai orang yang paling mulia akhlaknya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

      ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang terpuji.” (QS. Al Qalam: 4)


    Beliau juga seorang pemimpin seluruh manusia, khususnya di akhirat nanti. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

      ”Aku adalah pemimpin anak Adam, dan tidak membanggakan diri.” (HR. Bukhari)


    Sementara disisi lain Allah dalam Al Qur’an mensifati manusia biasa pada umumnya, termasuk kita sebagai makhluk yang aniaya, tergesa-gesa, dzalim dan sombong. Hal ini sebagaimana firman Allah:

      ”Sekali-kali janganlah (disangkal nikmat Allah itu). Sesungguhnya manusia amatlah durhaka. Karena ia telah melihat dirinya kaya raya.” (QS. Al ‘Alaq: 5 6).

      “Sesungguhnya manusia dijadikan sifat berkeluh kesah. Apabila ditimpa kejahatan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (harta), ia enggan (bersedekah).” (QS. Al Ma’arij: 19 21).

      ”Sesungguhnya manusia itu bersifat aniaya lagi jahil.” (QS. Al Ahzab: 72).


    Jika orang menyadari kenyataan ini, maka ia akan merendahkan dirinya, khususnya kepada Rasulullah SAW.

    Kedua; adalah dengan meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia suci yang terjaga dari kesalahan (ma’shum). Sedangkan kita sebagai manusia bukan hanya bisa melakukan kesalahan, namun pelanggan tetap dari kesalahan. Dengan cara pandang seperti ini, maka orang akan memandang ajaran-ajaran dan bimbingan Rasulullah SAW sebagai sesuatu yang berharga bagi hidup dan keselamatanya.

    Kebalikanya adalah sikap takabbur kepada Rasulullah SAW. Hal ini dilakukan antara lain dengan “mencurigai” ajaran-ajaran beliau sebagai ajaran yang tidak relevan dengan kemajuan zaman. Atau meragukan peran dan kemampuan ajaran Rasulullah SAW dalam membawa manusia menuju kebahagiaan. Atau memandang ajaran Rasulullah SAW sebagai sesuatu yang tidak lengkap, sesuatu yang perlu dikritik atau direvisi.

    Ketiga; adalah dengan menghayati jasa-jasa Rasulullah SAW bagi kebahagiaan manusia. Betapa beliau telah membebaskan manusia dari era penindasan menuju keadilan hingga pola ini menjadi model kehidupan manusia hingga saat ini. Sementara disisi lain ia memandang dirinya sebagai orang yang dzalim, khianat terhadap masyarakat serta memilki banyak tanggungan atas umat di hari kiamat nanti. Hingga dengan demikian, ia akan lebih berhati-hati dalam perilaku sehari-hari dengan lingkungan dan masyarakatnya.


TAWADHU’ DENGAN MANUSIA PADA UMUMNYA

Tawadhu’ atau rendah hati dengan manusia pada umunya, mungkin tidak begitu sulit untuk diketahui caranya. Misalnya jika terhadap orang tua, maka seseorang meyakini bahwa orang tersebut dengan banyaknya usia sudah tentu lebih banyak pula ibadahnya daripada dirinya. Sehingga dengan demikian seseorang akan menghargai orang lain yang lebih tua tersebut. Jika bertemu dengan orang yang lebih muda, maka ia meyakini bahwa orang tersebut lebih sedikit  maksiatnya daripada dirinya dengan kemudaan usianya. Dengan demikian ia pun akan semakin menghormati anak muda tersebut.

Terhadap seorang ulama, kita meyakini bahwa amal dan ilmunya ulama tersebut sangat jauh lebih banyak daripada amal dan ilmu kita. Sementara di sisi lain kita merasa bahwa dosa dan kelalaian kita jauh lebih banyak. Demikian seterusnya, seorang yang tawadhu’ akan selalu menempatkan dirinya lebih rendah daripada orang lain. Bahkan lebih dari itu, ia merasa bahwa tiada satupun kebaikan yang dimiilkinya yang pantas untuk dia banggakan. Hingga seorang sufi berkata, ”Siapa yang masih merasa memilki kebaikan, maka ia tidak mendapatkan bagian dari kerendah-hatian.” Pada bagian lain, Imam Asy Syibili berkata, ”Sesungguhnya kerendah-hatian menjadikan aku tidak bisa melihat aib yang ada pada orang Yahudi.”

Yang menjadi masalah sekarang adalahbagaimana tawadhu’ terhadap orang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan, sementara kita sedang melakukan ketaatan? Kemudian, apakah sikap tawadhu’ tersebut kemudian menghalangi seseorang untuk beramar ma’ruf nahi munkar?

Terhadap masalah di atas, Al Ghazali mengatakan bahwa tawadhu’ terhadap orang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan tetap menjadi keharusan. Namun bentuknya berbeda dengan tawadhu’ terhadap para alim ulama atau terhadap orang tua. Secara lahiriah, menurut Al Ghazali, seseorang harus tetap menunjukkan ketegasanya dalam mensikapi terhadap kemaksiatan. Namun dalam hati, seseorang harus tetap berendah hati. Hal ini dilakukan dengan mempertanyakan pada diri sendiri bahwa adakah jaminan bagi kita yang melakukan ketaatan untuk beristiqomah dengan ketaatan tersebut? Betapa banyaknya orang yang melakukan ketaatan kemudian tergelincir dari jalan yang benar. Bahkan ia meninggal dengan tanpa iman (na’udzu billah).

Sebaliknya, terhadap pelaku kemaksiatan seorang yang rendah hati tetap berkhusnudhon bahwa suatu saat bisa jadi orang tersebut akan kembali kepada ketaatan. Bahkan ia akan mengakhiri hidupnya dengan iman dan kebaikan. Betapa banyaknya hal ini terjadi dalam kehidupan manusia. Walaupun secara lahiriyah seseorang harus bersikap tegas terhadap kemaksiatan yang dilakukanya. Akhirnya, sesungguhnya kemuliaan sejati adalah saat kita mati dalam keadaan iman dan Islam, kemudian kita bebas dari siksa kubur dan seterusnya masuk syurga Allah tanpa merasakan siksa neraka. Namun siapakah yang memastikan bahwa kita mendapat anugerah kemuliaan tersebut?

Karena itulah, sangat tidak patut jika keadaan kita yang belum pasti akhir hidupnya ini untuk bersombong kepada orang lain. Yang paling tepat bagi kita adalah berendah hati dan terus berendah hati hingga ajal menjemput kita. Marilah kita berdoa agar Allah senantiasa melindungi kita dari segala tipu daya syetan dan kemaksiatan, jika itu terjadi semoga Allah segera memberikan bimbingan dan hidayah-Nya kepada kita semua agar selalu menjadi orang yang berandah hati, Qona’ah dan khusnul khotimah.. Amiin

Wallahu’alam
 

Menumbuhkan Sikap Tawadhu

Tawadhu adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya, baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda:


    ”Barangsiapa yang bersifat tawadhu karena mencari ridho Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tidak berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barangsiapa yang menyombongkan diri, maka Allah akan menghinakanya, ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi.” (HR. Baihaqi).


Tawadhu adalah anugerah Allah yang tidak pernah diiringi dengki. Sedangkan kesombongan adalah penderitaan yang tidak membangkitkan belas kasihan. Orang mencari kemulian dalam kesombongan tak kan pernah mendapatkanya, dan orang yang tawadhu pasti akan mendapat kemuliaan walaupun ia tidak menginginkanya.

Manusia adalah tempatnya berbagai kelemahan, dan Allah meletakkan suatu kelebihan kepada orang tertentu dan meletakkan kekurangan kepada orang tertentu pula. Maka tidaklah mungkin ada orang yang sempurna dan tidak kekurangan. Orang yang rendah hati menyadari hal itu, sehingga ketika dia melihat saudara sesamanya memiliki sesuatau yang dia tidak miliki, maka dia akan tetap tenang dan tidak sakit hati. Hal ini bertolak belakang dibandingkan dengan orang yang sombong. Dia akan selalu gelisah dan merasa jengkel ketika dia melihat seseorang melebihi dirinya, entah hartanya, kecantikanya/ ketampananya, kedudukanya dan sebagainya.

Barangsiapa mau merendahkan hatinya di hadapan manusia dan Allah, maka tenanglah hatinya.

Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada pada dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan seseorang, semakin sempurnalah ketawadhuanya.

Kita adalah hamba Allah SWT, sungguh tidak pantas bagi seorang hamba berjalan di muka bumi dengan kesombongan. Allah berfirman:


    ”Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka.” (QS. Al Furqan: 63)


Dalam surat Asy-Syu’ara Allah SWT juga berfirman:



    ”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215).


Rasulullah SAW bersabda:



    ”Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri, sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat dzalim atas yang lain.” (HR. Muslim)>


Sifat tawadhu tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu antara lain:

a.    Mengenal Allah SWT


    “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan makrifatnya (pengenalanya) kepada Tuhanya.” Orang yang mengenal Allah dengan sebeenarnya akan menyadari bahwa Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya, dan Maha Perkasa, yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bila ia mendapat kebaikan, ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui bahwa dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.


b.    Mengenal Diri


Langkah utama utnuk mengenal Allah SWT. Adalah mengenal diri kita sendiri. Dilihat dari asal-usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina. Kemudian lahir kedunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mngetahui apapun. Karena itu manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Manusia dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan, padahal ia justru melakukan kerusakan dan kedzaliman. Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan intropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan, dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak di hari Qiyamat Yaumul Hisab. Hal ini harus disadari atas kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu dan tidak akan sombong kepada orang lain, terutama kepada Tuhan Allah SWT.

c.    Merenungkan Nikmat Allah


    Hakikatnya seluruh nikmat yang di anugerahkan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Banyak manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Banyak diantara kita diberi nikmat, baik berupa ilmu, harta, kedudukan, prestasi dan lainya, merasa bangga pada diri sendiri. Kekaguman pada diri sendiri adalah pangkal kesombongan. Karena itu kita perlu merenungkan atas nikmat Allah yang kita terima, sekecil apapun. Apakah kita syukur atau kita kufur. Dengan tawadhu dan hati-hati, kita mesti bersyukur dan bahkan mewaspadai jangan-jangan  kita masuk perangkap “istidraj”, perilaku yang akan berakibat fatal. Selain merenungkan nikmat Allah dalam usaha untuk menumbuhkan akhlak tawadhu, supaya merenungkan manfaat tawadhu.


d.    Meniru dan mencontoh keteladanan tawadhu yang dilakukan Rasulullah SAW dan para orang-orang saleh terdahulu, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu (berakhlak baik)


Dengan tawadhu, hormat dan rendah diri yang dilakukan Rasulullah SAW, banyak orang yang tadinya benci dan memusuhi, akhirnya simpati, jatuh cinta dan banyak juga yang dengan rela hati masuk Islam.

Tawadhu’; Tangga Emas Menuju Kemuliaan.

Siapa yang ingin menjadi orang hina? Tentu tiada seorangpun ingin menjadi orang hina. Baik hina di dunia maupun di akhirat. Hanya saja setiap orang berbeda dalam dua hal.

 
    Pertama; adalah kemuliaan menurut siapa yang akan di cari. Apakah kemuliaan tersebut menurut Allah, menurut keluarga, menurut masyarakat atau menurut  kelompok tertentu. Misalnya menurut kalangan akademisi atau menurut seniman.

    Yang Kedua; adalah cara memperoleh kemuliaan tersebut. Setiap manusia akan berbeda cara meraih kemuliaan yang ia dambakan berdasarkan perbedaan kemuliaan menurut siapa yang ia cari. Seorang yang ingin mulia di kalangan seniman, maka ia akan meraih dengan cara-cara seorang seniman. Bahkan terkadang ia melakukan hal-hal yang menurut moralitas tidak lazim. Seperti foto telanjang misalnya. Lain lagi dengan mereka yang ingin mulia di kalangan birokrat. Mereka biasanya akan habis-habisan mengejar jabatan dengan berbagai cara. Bisa dengan kemampuan akademis, jaringan pertemanan, bahkan kalau perlu dengan uang. Hal ini banyak terjadi dalam berbagai kesempatan pemilu di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Mereka yang ingin meraih kemuliaan di mata kalangan olah raga pun memiliki cara yang lain lagi. Mereka akan mengejar hasrat meraih kemuliaan tersebut dengan cara olah ragawan pula. Ada yang dengan cara yang legal, seperti giat berlatih, mengikuti berbagai kejuaraan dan bahkan sampai pada tingkat menghalalkan segala cara. Yaitu dengan menggunakan doping atau dengan menyuap wasit misalnya. Dan yang lebih spektakuler adalah mereka yang ingin mulia di hadapan Allah. Ada yang meraihnya dengan banyak amalan, dengan banyak sedekah, dengan banyak berdakwah bahkan hingga dengan mengorbankan nyawa untuk meraih kematian sebagai seorang syuhada’.


TAWADHU’; GERBANG MENUJU KEMULIAAN

Satu hal yang selama ini yang kurang mendapat perhatian banyak manusia, bahkan di kalangan kaum muslimin sekalipun adalah bahwa sikap rendah hati adalah salah satu gerbang utama dan terpenting menuju kemuliaan sejati. Baik di dunia maupun di akhirat. Baik di kalangan manusia maupun di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

    “Barangsiapa yang berendah hati, maka Allah akan mengangkat (kedudukanya). Dan barangsiapa yang sombong (tinggi hati), maka Allah akan merendahkanya.”(Alhadits).


Hadits di atas memang benar adanya. Mereka yang berendah hati dan dengan jujur merasa sebagai manusia yang tidak bernilai sebenarnya adalah orang yang justru memiliki banyak kelebihan. Dan justru kerendah-hatian inilah, maka manusia semakin mencintainya dan memuliakanya.

Sebaliknya, mereka yang sombong sebenarnya adalah manusia yang banyak memiliki kelemahanya. Karena itu, ia akan sangat takut jika kelemahan tersebut akan terbongkar oleh manusia dan akhirnya manusia meremehkanya. Karena itulah, maka ia berusaha menutupi kekuranganya tersebut dengan menunjukan kelebihan-kelebihanya serta merendahkan orang lain. Padahal ia tidak menyadari, bahwa semakin ia memproklamirkan kelebihanya di hadapan manusia, hal tersebut menunjukan bahwa ia tidak percaya diri dengan apa yang ada pada dirinya. Andaikan ia benar-benar mulia, tanpa harus menyombongkan diri di hadapan manusia serta merendahkan manusia lain, orang lain niscaya pasti akan memuliakanya.

TAWADHU’; GERBANG MENGGAPAI PERTOLONGAN ALLAH

Tawadhu’ juga merupakan sarana ampuh agar seorang mendapatkan pertolongan langsung dari Allah SWT. Sebab dengan menyadari kelemahan dirinya, seorang akan berusaha menggapai jalan pertolongan Allah SWT dengan penuh kekhusyu’an. Dan kekhusyu’an di dalam do’a tersebut akan menjadi daya penggedor pintu pertolongan Allah SWT.

Karena itulah, Allah SWT menggambarkan betapa kerendahan hati dapat menarik pertolongan-Nya dengan firman-Nya:

    ”Dan benar-benar menolong kalian di dalam perang badar, sedangkan saat itu kalian dalam keadaan hina (menghinakan diri).”(QS. Al Imran:123).


Bahkan dengan kerendah hatian ini, seseorang akan selalu dalam keikut sertaan Allah SWT. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

    ”Aku bersama dengan mereka yang hatinya hancur (merendah) karena-Ku.”


Kerendah hatian inilah yang menjadikan kaum muslimin pada awal islam menuai kemenangan dalam setiap peperanganya. Seorang Romawi dengan putus asa menggambarkan keadaan kaum muslimin, “mereka itu laksana petapa di malam hari dan singa di siang hari.” Maksudnya laksana petapa di malam  hari adalah bahwa kaum muslimin menghabiskan malamnya dengan merendah (tawadhu’) memohon pertolongan Allah SWT. Sedangkan maksudnya bagai singa di siang hari adalah karena jika kaum muslimin terjun di medan perang, mereka pantang untuk menyerah atau mundur. Mereka hanya punya dua pilihan, menang dan jaya atau mati masuk surga.

Sebaliknya, ketika rasa rendah hati dan merasa membutuhkan pertolongan ini tidak ada. Hal ini sebagaimana terjadi dalam permulaan perang Hunain. Saat itu jumlah pasukan Islam sangat besar, yaitu 12.000 prajurit. Jumlah ini pada saat itu adalah jumlah terbesar yang dimiliki kaum muslimin. Hingga timbul rasa kesombongan pada sebagian anggota pasukan. Akibatnya, pada babak pertama kaum muslimin dikocar-kacir oleh musuh. Walaupun kemudian mereka segera menyadari kesalahanya dan membalik keadaan peperangan.
Dalam hal ini Allah berfirman:

    “Dan Allah benar-benar telah menolong kalian di tempat-tempat yang banyak dan pada hari (perang) Hunain ketika banyaknya jumlah kalian menjadikan kalian bangga. Maka jumlah yang banyak itu tidak menjadikan cukup kalian dan menjadi sempit bumi yang lapang dan kemudian kalian berpaling mundur.” (QS. At Taubah:25).


Demikian juga dengan berbagai kaum sebelum umat ini. Kesombongan telah mengantarkan mereka kepada kehancuran. Dan sebaliknya, kerendah hatian telah mengantarkan kepada mereka menuju gerbang pertolongan Allah SWT.

TAWADHU’; SIMBOL TINGGINYA INTELEKTUALITAS MANUSIA

Kerendah-hatian juga merupakan standar dasar agar manusia layak disebut sebagai orang berilmu. Ketika seseorang berusaha mengenal hakikat dirinya sebagai makhluk, maka yang ia temukan adalah kelemahan dan ketergantungan. Secara fisik manusia sebenarnya tidak lebih dari binatang. Ia makan daging, makan tumbuhan dan buah-buahan. Bahkan sebenarnya, secara fisik andaikan manusia tidak merawat tubuhnya dengan mandi, gosok gigi dan menjaga kebersihan tubuhnya, maka aroma tubuhnya tidak akan lebih wangi dari aroma binatang. Bahkan mungkin lebih tidak sedap lagi. Sementara isi perut manusia pada hakikatnya adalah kotoran dan air seni yang menjijikan. Sedangkan secara ruhani, manusia sangat tergantung dengan hidayah Allah. Apakah ia akan menjadi seperti Fir’aun, Qorun, Namrudz dan Abu jahal. Atau ia akan menjadi orang shalih, waliyullah ataupun seorang Nabi dan Rasul, semua tergantung kepada Allah SWT. Apakah Allah memberinya hidayah atau tidak.

Nah, mereka yang sebagai orang kuat, bersih, hebat dan sempurna hingga ia merendahkan orang lain, sebenarnya adalah orang-orang bodoh dan akalnya tidak berfungsi dengan baik. Bahkan sebenarnya ia adalah manusia yang dirinya sendiri pun tidak mengenal. Bagaimana ia merasa sebagai orang berilmu yang mengenal berbagai rahasia dunia?

Sedangkan mereka yang merasa dirinya penuh dengan kakurangan, dan sangat tergantung kepada Allah SWT itulah orang yang akalnya dapat berfungsi dengan sempurna. Karena itulah, jika seorang meneliti kehidupan para intelektual sejati, yaitu para Nabi, para Malaikat, para Sahabat, para Waliyullah, dan para ulama’ sejati, maka ia akan menemukan bahwa kehidupan mereka penuh dengan kerendah-hatian.

Ketika Allah memberikan ujian kepada malaikat untuk menyebut nama-nama makhluk, maka dengan penuh kerendah-hatian malaikat menjawab:

    ”Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tiada sedikitpun ilmu pada kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al Baqarah: 32).


Ketika Imam Malik Rahimahullah ditanya oleh seseorang dengan sekitar 40 pertanyaan, maka 36 pertanyaan yang ada beliau jawab dengan jawaban “tidak tahu”. Ketika penanya tersebut menanyakan, “Wahai Imam, apa yang aku sampaikan kepada mereka jika Anda menjawab berbagai pertanyaan dengan “tidak tahu”? Maka Imam Malik berkata, “Yah, sampaikan apa adanya. Itu lah aku.” Ketika Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menetapkan sebuah keputusan pemerintah, seorang ibu menginterupsinya dengan memberikan alasan yang kuat. Maka Umar tanpa segan dan  malu mencabut kembali keputusan tersebut. Demikian juga dengan Khalifah Ali KW berada di majelis pengadilan dalam sengketa dengan seorang Yahudi. Sang Hakim yang ilmunya tiada seberapa dibandingkan dengan Khalifah memperlakukan Khalifah sebagaimana umumnya rakyat di pengadilan. Demikianlah,  kecerdasan dan keluasan ilmu membimbing manusia menuju kerendah-hatian.

KERENDAHAN HATI RASULULLAH SAW

Banyak sekali manusia yang mengagumi sosok Rasulullah SAW, baik dari kalangan muslim atau non muslim, baik pada masa lalu hingga saat ini. Beliau seorang pemimpin yang hebat, ditaati banyak orang, memiliki wewenang dan kekuasaan yang besar. Saat Beliau masih hidup, ratusan ribu orang siap untuk menaati perintah Beliau.

Andaikan hal ini terjadi pada orang selain Beliau, bisa jadi orang tersebut akan berubah cara hidupnya. Mungkin ia akan bersikap sombong, menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri atau melakukan berbagai kedzaliman dan pamer kemewahan.

Namun tidaklah demikian dengan Rasulullah SAW. Di tengah kekuasaan yang sangat besar, popularitas yang sangat luas serta dukungan masyarakat yang kuat, beliau justru tampil dengan sangat sederhana dan rendah hati. Rumah Beliau tidak lebih dari sebuah bangunan dengan ukuran yang tidak lebih dari 4x5,5M. Itupun hanya berlantai tanah, tanpa lepa serta beratapkan pelepah kurma. Jika seorang berdiri dan mengangkat tangan, maka tangan tersebut  akan menyentuh atap “istana” Nabi yang Mulia ini. Jika bepergian, seringkali Beliau hanya mengendarai keledai, sebuah kendaraan yang dipandang rendah masyarakat saat itu. Itupun dengan keadaan sambil membonceng orang lain di belakang Beliau. Beliau tidak pernah menolak undangan, walaupun dari seorang budak. Jika dirumah, Beliau juga membantu kesibukan istri-istri Beliau, dan dengan tanpa gengsi menambal baju beliau yang robek atau memperbaiki sandal Beliau yang rusak.

Dalam bergaul dengan para sahabat, beliau selalu bersikap santun dan lembut. Hingga banyak musuh Beliau yang bertekuk lutut menyatakan ketundukan kepada Beliau bukan karena keliatan pedang atau tusukan tombak. Namun karena kerendah-hatian dan kesederhanaan Beliau miliki. Demikianlah, walaupun Beliau hidup dengan segala kemuliaan yang Beliau miliki, baik dihadapan Allah maupun di hadapan manusia, namun hati Beliau semakin merendah dan merendah. Hingga dalam sebuah hadits Beliau bersabda:

    ”Sungguh, aku benar-benar memohon ampun dan bertaubat dalam satu hari sebanyak tujuh puluh kali."(HR. Muslim).


Semua yang beliau lakukan ini bukanya menjadikan Beliau hina. Namun justru menimbulkan kekaguman dan simpati manusia. Semua ini membuktikan bahwa kerendah-hatian bukan menjadikan seseorang hina. Namun sebaliknya, kerendah hatian menjadikan seseorang semakin mulia.