Jumat, 06 Agustus 2010

Indahnya Keadilan, Bahayanya Ketimpangan

(Catatan atas ajaran yu’tii kulladzii haqqin haqqah)

Salah satu ajaran Wahidiyah yang seringkali diabaikan dalam kehidupan saat ini, adalah yu’tii kulladzii haqqin haqqah. Kalimat ini sederhana namun memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Bahkan kebahagiaan dan kesengsaraan sangat tergantung dengan pelaksanaan ajaran ini. Mulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat hingga negara sangat memerlukan pelaksanaan ajaran ini. Saat kita seringkali menemui berbagai bentuk kerusuhan dan ketidak stabilan dalam masyarakat.

Dalam bidang politik, kita dibuat resah dengan hiruk pikuk skandal Bank Century. Dalam bidang sosial, kita dibuat resah oleh banyaknya kerusuhan, demonstrasi dan berbagai ketidakstabilan dalam masyarakat. Dalam bidang ekonomi, kita dibuat kalang kabut dengan berbagai fliktuasi yang  tidak pasti. Salah satu faktor yang menyebabkan instabilitas dalam kehidupan adalah tidak adanya keadilan.

Kata adil ini berasal dari kata al ‘adaalah. Adil atau ‘adaalah ini sering dimaknai dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Secara jelasnya bahwa keadilan adalah sebuah keadaan dimana sebuah aturan main yang melindungi hak-hak semua pihak terpenuhi dengan baik. Dalam prakteknya, Hadrotul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’rof QS wa RA merumuskanya dengan kalimat singkat, yaitu yu’tii kulladzii haqqin haqqah (memenuhi hak semua pemilik hak).

Sekali lagi, kalimat ini walaupun sangat singkat, namun memiliki makna yang sangat dalam dan efek yang luas dalam kehidupan manusia. Sebab dengan terpenuhinya hak-hak semua pemilik hak, otomatis akan tercipta harmoni dan keselarasan dalam kehidupan.

Sebagai lawan dari keadilan adalah kedzaliman yang berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Hal ini terjadi jika hak-hak para pemilik hak tidak terpenuhi dengan baik. Otomatis hal ini akan menimbulkan berbagai reaksi dan upaya tuntutan pemenuhan hak tersebut. Dan hal ini akan menimbulkan berbagai ketidakstabilan dalam kehidupan.

Sebagian orang ada yang mengumpamakan keadilan sebagai sebuah neraca. Ketika kedua sisi neraca terpenuhi dengan seimbang, maka timbangan tersebut akan stabil dan tenang. Keadaan ini sering pula disebut sebagai moderat (I’tidaal). Sebaliknya, ketika salah satu dari kedua sisi tidak seimbang dengan sisi yang lain, maka timbangan tersebut akan timpang. Karena itulah, maka Rasulullah SAW bersabda,
    ”Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan.” (HR. Muslim).
Keadaan ini dalam kehidupan dikenal dengan istilah tatharruf (ekstrim), dimana terjadi pengabaian dan kedzaliman hak-hak terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki hak tersebut. Padahal Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak menghendaki kedzaliman. Tapi menghendaki keadilan bagi tiap-tiap mukmin. Keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan keluarga.


Sesungguhnya seluruh semesta ini oleh Allah diatur dalam aturan keseimbangan. Dalam tingkat individu misalnya, masing-masing tubuh manusia memiliki hak yang harus dipenuhi. Perut memiliki hak,mata memiliki hak, telinga memiliki hak dan seterusnya dan seterusnya. Ketika manusia mengabaikan hak-hak anggota tubuhnya, maka berarti ia telah melakukan kedzaliman terhadap anggota tubuhnya tersebut. Dan kedzaliman ini akan menimbulkan kerusakan pada tubuh tersebut. Misalnya jika seseorang mengabaikan hak makan atas perutnya dan hanya mengisi hidupnya dengan penuh shalat. Maka sudah tentu tubuhnya akan lemah. Atau ketika seseorang mengabaikan hak istirahat untuk tubuhnya, maka tubuh akan segera rusak dan sakit. Sehingga dengan demikian, ia tidak akan bisa berbuat baik untuk seterusnya. Bahkan mungkin ia akhirnya akan menjadi beban bagi orang lain.

Dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa suatu saat ada tiga orang mengunjungi rumah istri-istri Rasulullah SAW dan menanyakaan tentang ibadah beliau. Ketika mereka mendapatkan penjelasan tentang ibadah beliau, maka mereka ini seolah-olah menganggap ibadah Rasulullah SAW terlalu ringan. Mereka mengatakan, ”Kita jangan menyamakan dengan Rasulullah SAW. Bukankah beliau (beribadah ringan tersebut karena) telah diampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah lewat maupun yang akan datang!” Salah seorang diantara mereka berkata, ”Adapun saya maka saya akan shalat malam (tidak akan tidur malam).” Yang lain berkata, ”Saya akan puasa selamanya dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata, ”Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Rasulullah SAW kemudian datang kepada mereka dan berkata,
    ”Kaliankah yang mengatakan demikian demikian? Ingatlah… demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah. Tetapi toh aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur juga, aku juga menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan bagian dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaih).


Ada satu riwayat lain yang menunjukkan bahwa yu’tii kulladzii haqqin haqqah sangat penting untuk dilakukan. Saat itu, Rasulullah SAW mempersaudarakan Salman Al Farisi dengan Abu Darda’ Al Anshari. Suatu saat, Salman mengunjungi rumah Abu Darda’. Disana ia menemukan istri Abu Darda’ berpakaian tidak rapi (nglombrot dalam bahasa jawa). Salman kemudian bertanya, ”Ada apa denganmu, kok pakaianmu asal-asalan begitu?” Istri Abu Darda’ menjawab,”Saudaramu Abu Darda’  tidak lagi membutuhkan dunia.” kemudian Abu Darda’ datang dan membuatkan makanan untuk Salman. Setelah makanan jadi, Abu Darda berkata,”Makanlah… saya nggak makan karena puasa.” Salman menjawab, ”Aku tidak akan makan sampai kamu juga makan.” Kemudian mereka pun makan bersama-sama. Ketika malam tiba, Abu Darda’ bermaksud shalat. Namun Salman menyuruhnya tidur. Setelah tidur beberapa saat, Abu Darda’ bangun dan akan shalat malam. Namun Salman masih menyuruhnya tidur lagi. Ketika akhir malam tiba, Salman berkata, ”Sekarang mari kita shalat!” kemudian mereka shalat. Salman kemudian berkata, ”Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas kamu, dirimu juga mempunyai hak atas kamu, dan keluargamu juga mempunyai hak atas kamu. Berikanlah hak-hak kepada setiap pemiliknya.” Kemudian Abu Darda’ mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadukan Salman. Rasulullah SAW bersabda,
    ”Salmanlah yang benar.” (HR. Bukhari).


Apa yang dilakukan oleh Salman RA ini bukan berarti bahwa Nggentur tirakat dilarang didalam Islam. Salman dalam hal ini melakukan upaya therapy (pengobatan) kepada Abu Darda’ yang telah sedemikian tenggelam dalam kehidupan spiritual sehingga ia mengabaikan sekian banyak hak-hak kemanusiaan kepada istri dan keluarganya. Salman, dalam hal ini berpendapat bahwa ketika sebuah besi bengkok ke kanan, maka untuk menjadi lurus kembali tidak cukup hanya dengan membengkokkan kea rah tengah. Sebab jika bengkokan tersebut hanya kearah tengah, maka dengan segera besi itu akan kembali ke arah kanan. Nah, agar besi tersebut  lurus kembali, besi tersebut perlu dibengkokkan kearah kiri agar kecenderungan bengkok ke arah kanan pada besi tersebut membawa besi lurus kembali di garis tengah.

Demikanlah kecakapan spiuritual Salman RA. Ia memang menjadi salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki kapasitas untuk menjadi Mursyid atau dokter spiritual. Hal ini terbukti dengan kedudukan Salman sebagai salah seorang mata rantai silsilah dalam sebuah tarekat dimana Salman menerima kemursyidan tersebut dari Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.

KESEIMBANGAN DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

Manusia bukan makhluk individu semata. Namun ia juga makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Untuk makan sesuap nasi misalnya, dibutuhkan keterlibatan banyak manusia. Bahkan bisa mencapai ribuan. Seseorang yang akan memakan sesuap nasi pasti membutuhkan alat-alat memasak. Dan adanya alat-alat memasak ini melibatkan sebuah pabrik yang melibatkan sekian banyak karyawan. Seseorang yang akan makan sesuap nasi juga membutuhkan beras. Tentu melibatkan petani yang menanam padi. Dalam proses penanaman padi juga dibutuhkan peralatan pertanian. Disini diperlukan keterlibatan pabrik alat-alat pertanian yang melibatkan karyawan. Dan para karyawan serta petani yang bekerja juga membutuhkan pakaian. Maka disana juga melibatkan penjahit, toko kain, pabrik pakaian dan demikianlah seterusnya. Semua ini menunjukkan bahwa manusia selalu membutuhkan kehadiran orang lain.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sudah tentu masing-masing manusia memiliki kewajiban untuk menunaikan hak-hak orang lain. Seorang karyawan berkewajiban menunaikan hak-hak majikanya. Ia harus bekerja professional. Demikan juga seorang majikan mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak karyawanya. Hak untuk mendapatkan upah misalnya. Seorang warga masyarakat juga memiliki kewajiban terhadap warga masyarakat lain. Mereka harus memberikan kenyamanan dan keharmonisan satu dengan yang lain. Seorang pedagang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak pembelinya dengan bersikap jujur dalam berdagang. Demikian juga seorang pembeli berkewajiban untuk mebayar biaya barang yang dibelinya.

Demikianlah, maka keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sengat tergantung sejauh mana masing-masing pihak manunaikan hak-hak pihak lain. Ketika hak-hak pihak lain tersebut tertunaikan dengan baik, maka disana akan ada keharmonisan kehidupan. Namun sebaliknya, ketika hak-hak pihak lain di abaikan, maka akan terjadi banyak kekacauan.

KESEIMBANGAN DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA

Salah satu karakteristik dari Syariat Islam adalah al ‘adaalah (adil). Artinya adalah bahwa salah satu tujuan pelaksanaan Syariat islam adalah tertunaikanya hak-hak masing-masing individu secara penuh tanpa ada setu pihak pun yang diabaikan haknya. Hal ini sesuai dengan prinsip yu’tii kulladzii haqqin haqqah. Allah SWT berfirman:
    ”Bersikap adillah, karena keadilan itu mendekatkan kepada takwa.” (QS. Al Maidah: 8).

Dalam hal ini, masing-masing pihak komponen Negara, yaitu rakyat dan pemerintah haruslah menunaikan kewajibanya masing-masing. Penunaian kewajiban ini pada dasarnya adalah pemenuhan hak-hak pihak lain. Dari pihak rakyat, maka mereka harus menaati keputusan-keputusan pemerintah. Allah SWT telah memerintahkan kaum Mukminin untuk menaati para pemimpin mereka dengan firman-Nya:
    ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59).


Rasulullah SAW berpesan,
    ”Kewajiban muslim adalah mendengarkan dan menaati (pemimpin) dalam apa-apa yang ia sukai atau ia benci. Kecuali jika ia diperintahkan untuk maksiat. Maka sama sekali ia tidak boleh mendengarkan dan menaatinya.” (HR. Muslim).


Sebaliknya pula, seorang pamimpin  haruslah juga memenuhi hak-hak rakyatnya. Hal ini karena Islam pada dasarnya adalah agama keadilan dan pembebasan dari berbagai bentuk penindasan dan kedzaliman. Rasulullah SAW adalah manusia yang gandrung kepada keadilan,beliau bersabda,
    ”Sesungguhnya mereka yang adil disisi Allah akan berada di atas mimbar dari Nur. Mereka ini adalah manusia  yang adil dalam keputusan hukum mereka, adil terhadap keluarga mereka dan adil terhadap apa yang menjadi kekuasaan mereka.” (HR. Muslim)


Sedang terhadap mereka yang dzalim, beliau bersabda,
    ”Barangsiapa yang oleh Allah diberi wewenang terhadap orang muslim kemudian ia menghalangi kebutuhan mereka, keinginan mereka dan menghalangi kaum fakir dari kalangan mereka, maka Allah juga akan menghalangi dia dari kebutuhanya, keinginanya dan kefakiranya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan At Trimidzi/ Riyadhush Sholihin hal 112).


Rasulullah SAW juga memperingatkan Mu’adz bin Jabal ketika Mu’adz  hendak baliau kirim ke Yaman.
    ”Takutlah engkau terhadap doa orang tertindas, karena sesungguhnya antara doanya dan Allah tidak ada pembatas.” (Muttafaq ‘alaih/ Riyadhush Sholihin hal. 113).


Bukan hanya sampai disitu, Rasulullah SAW masih mendoakan terhadap mereka yang dzalim dan adil dengan doa sebagai berikut,
    ”Yaa Allah, siapa saja yang memegang suatu urusan umatku kemudian mempersulit mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang memegang suatu urusan umatku kemudian ia bersikap sayang kepada mereka, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim/ Riyadhush Sholihiin hal. 316).


Rasulullah SAW juga memesankan kepada umatnya agar tidak menolong para penguasa dzalim. Beliau bersabda,
    ”Akan ada sesudahku para penguasa yang berbohong dan dzalim. Maka barangsiapa yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong mereka dalam melakukan kedzaliman, maka ia bukan bagian dariku dan aku juga bukan bagian darinya. Dai tidak akan datang ke haudh (danau)ku.” (HR. At Turmudzi/ Shahih/ Al Mughni/ II/ Hal. 140).


Karena itulah, Islam pada masa awal –awal mendapat sambutan yang luar biasa dari mereka yang mendambakan keadilan. Di Makkah, kaum muslimin banyak dari kalangan budak yang selama ini mendapatkan penindasan dari para majikan. Di antara mereka adalah Bilal, Sumayyah, Yasir, Amar bin Yasir, Shuhaib dan masih banyak lagi. Mereka adalah para budak yang kelak mendapatkan peranan penting dalam peranan Islam.

Ketika kaum muslimin meluaskan dakwah mereka di Syiria, mereka mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penduduk asli Syiria, walaupun mereka beragama Kristen. Majalah Kristen Pensyil edisi 38/1999 memuat salah satu surat masyarakat Kristen Syiria kepada Ubaidah, Jendral Islam yang memimpin misi Islam saat itu, mereka menulis surat sebagai berikut, ”Saudara-saudara kami kaum muslimin, kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Roma/ Byzantium, meskipun mereka seagama dengan kami. Karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih berbelas kasih kepada kami dengan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak adil. Pemerintah Islam lebih baik dari pemerintah Byzantium, karena orang-orang Byzantium itu telah merampok harta-harta dan rumah-rumah kami.”

Bambang Noorsena, seorang pemimpin Gereja Ortodox Syiria di Indonesia menulis dalam majalah diatas, ”Justru di kalangan Kristen Ortodox Syiria dikenal sebuah slogan,’Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari kekuasaan Kristen Yunani yang menindas kami, kemudian menempatkan kami dibawah penguasa Arab Muslim’. Sebab harus diakui bahwa penguasa Arab Muslim memang menjamin keselamatan jiwa, harta, Gereja dan salib-salib mereka, seperti yang dijamin dalam piagam yang dibuat Nabi Muammad SAW dan sahabat-sahabatnya.”

Inilah wujud prinsip keadilan Islam. Seorang Muslim tidaklah pantas untuk terlibat dalam kedzaliman kepada siapapun, walaupun kepada seorang kafir. Ketika kemudian datang masa penguasa dzalim memerintah dunia Islam, maka Islam pun selalu mempersembahkan para pejuang keadilan yang lantang berbicara di depan para penguasa. Diantara mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Al Buwaithi (murid Imam Syafi’i), Imam Sa’id bin Jubair, Imam Zaid bin Ali dan masih banyak lagi yang lainya. Semoga mereka selalu mendapatkan keridhaan Allah SWT, amien.

MENJAGA DAN MEMELIHARA SHALAT


Mudah-mudahan kita tergolong orang-orang yang senantiasa mendapat hidayah-taufik Allah SWT, syafaat-tarbiyah Rasulullah SAW, nadroh-barokah Ghautsu Hadzaz Zaman RA dan selamat sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat amin..
Allah SWT berfirman:
    ”Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang yang beriman.”(QS. An Nisa: 103)

Rasulullah SAW bersabda:
    ”Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang mendirikan shalat, maka sungguh, (berarti) ia (telah) menegakkan agamanya, (sebaliknya) barangsiapa tidak shalat, meninggalkan shalat, sungguh (berarti) ia merobohkan agamanya hancur agamanya.” (HR. Bukhari).


Dari dawuh-dawuh tersebut, jelaslah bahwa shalat adalah suatu kewajiban bagi setiap orang beriman. Melaksanakan shalat, berarti menegakkan agama dan tegaklah agamanya. Orang beriman yang tidak melaksanakan kewajiban shalat, berarti rusak dan hancur agamanya.

Marilah kita melaksanakan shalat lima waktu dengan dasar lillah dan kita jaga dan pelihara dengan baik sesuai dengan syarat rukun dan qabulnya shalat, sebagaimana firman Allah SWT:
    ”Peliharah segala shalatmu dan (peliharalah) shalat wustha. (Berdirilah) karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al baqarah: 238).


Dalam Kitab Tarhib wat Tahdzib, sebuah hadits, Rasulullah SAW telah bersabda:
    ”Barangsiapa  menjaga dan memelihara shalatnya, Allah akan memuliakan kepadanya dengan lima perkara:
      1. Dihilangkan kesempitan/ kesulitan hidup dan kehidupanya.
      2. Di bebaskan dari siksa kubur.
      3. Diberi Allah dapat menerima buku catatan amal dengan tangan kananya.
      4. Dan dapat berjalan melewati ”Jembatan” shirotol mustaqim dengan cepat seperti kilat.
      5. Masuk syurga tanpa di hisab.


Sebaliknya:
    ”Barangsiapa ’anggegampang’ menyepelekan shalat, artinya tidak menjaga dan memelihara shalat dengan baik (apalagi tidak melaksanakan), Allah akan menyiksanya dengan 15 macam siksa. 6 siksa di dunia, 3 menjelang mati, 3 di dalam kubur, dan 3 di akhirat.

    “Enam (6) macam selagi masih di alam dunia:
      1. Umurnya tidak diberi barokah.
      2. Tanda-tanda sebagai orang sholeh di hapus dari wajahnya.
      3. Semua amal yang dilakukan oleh Allah tidak diberi pahala.
      4. Doanya tidak dapat naik keatas langit, artinya doanya tidak diterima oleh Allah SWT.
      5. Tidak dapat bagian doanya orang-orang shalih.
      6. Keluar ruhnya/ mati tidak membawa iman (su’ul khatimah).”


    Adapun siksa menjelang kematian ada tiga (3):
      1. Dalam keadaan hina.
      2. dalam keadaan lapar.
      3. dalam keadaan haus.


    Begitu juga, siksa dalam kuburnya ada tiga (3):
      1. Kuburnya disempitkan oleh Allah, menyempitnya sampai tulang-tulangnya berserakan.
      2. Didalam kuburnya dinyalakan api dan di panggang siang dan malam di bolak-balik di atas api.
      3. Di dalam kubur di belit ular.


    Sementara tiga (3) siksa di akhirat saat menjelang  pengadilan Tuhan:
      1. Di datangi malaikat dan merantainya dan menyeretnya sambil mengumumkan,
      “Inilah pembalasan bagi orang yang menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban Allah.”
      2. Allah tidak mau melihatnya.
      3. Allah tidak membersihkan kotoran-kotoran dosa yang dilakukanya, dia mendapat siksa yang sangat pedih.


Marilah kita sadar, betapa berat dan dahsyatnya siksa yang mesti ditanggung oleh orang-orang yanh menyia-nyiakan shalat. Marilah kita bertaubat mohon ampunan Allah SWT, syafaat tarbiyah Rasulullah SAW, dan barokah-nadroh Ghautsu Hadza Zaman RA, serta memelihara, menjaga kewajiban-kewajiban kita terutama shalat lima waktu. Amin amin ya Rabbal ‘alamin…