Selasa, 03 Agustus 2010

Berbakti Kepada Orang Tua

Setiap kita pasti mempunyai orang tua. Baik yang masih hidup maupun yang telah berada di alam baka. Melalui perantara mereka, Allah SWT menghadirkan kita ke dunia. Keduanya merupakan orang yang paling berjasa membesarkan, merawat dan mendidik kita. Maka tak heran jika Allah menempatkan orang tua dalam  posisi yang mulia. Banyak ayat Al Qur’an yang berisi tentang perintah untuk berbakti pada orang tua. Bahkan berkata ”ah” (membentak) saja sudah di kecam oleh Al Qur’an.

Begitu juga dengan Rasulullah SAW. Dalam beberapa haditsnya beliau juga memerintahkan umatnya agar berbakti kepada orang tua, sampai-sampai Allah menggantungkan ridha dan murka-Nya pada mereka. Bila orang tua ridha, Allah pun ridha, sebaliknya bila orang tua murka, Allah juga murka.

Kisah-kisah tentang ridha dan murka orang tua juga sering  kita dengarkan. Mulai dari cerita rakyat Malin Kundang, kedurhakaan Kan’an putra Nabi Nuh AS, pemuda taat di masa Nabi Sulaiman AS, sampai kisah Alqamah di masa Rasulullah SAW. Semuanya membuktikan, betapa Allah SWT memberi kedudukan istimewa bagi kedua orang tua. Adapun adab-adab berbakti kepada kedua orang tua antara lain:

    1. Mendengarkan perkataan mereka dan tidak memutus perkataan ketika mereka berbicara.
    2. Berdiri menyambut keduanya ketika mereka berdiri demi menghormati dan memelihara kehormatan mereka.
    3. Mematuhi perintahnya selama perintah itu bukan dalam mendurhakai Allah.
    4. Tidak berjalan di depan keduanya, tetapi di samping atau belakangnya. Jika ia berjalan di depan kedua orang karena suatu hal, maka tidaklah mengapa ketika itu.
    5. Tidak mengeraskan suara kita melebihi suara kedua orang tua demi sopan santun terhadap mereka.
    6. Menjawab panggilan mereka dengan jawaban yang lunak.
    7. Berusahalah keras mencari keridhaan kedua orang tua dengan perbuatan dan perkataan.
    8. Bersikaplah rendah hati dan lemah lembut kepada orang tua seperti melayani mereka. Menyuapi makan dengan tangan kita bila keduanya tidak mampu dan mengutamakan keduanya di atas diri dan anak-anak kita.
    9. tidak mengungkit-ungkit kebaikan kita kepada keduanya maupun pelaksanaan perintah yang kita lakukan untuk mereka. Seperti mengatakan ”Aku beri engkau sekian dan sekian dan aku lakukan begini kepada kamu berdua.” Karena perbuatan itu bisa mematahkan hati. Ada yang mengatakan, menyebut-nyebut kebaikan itu memutuskan hubungan.
    10. Jangan memandang kedua orang tua dengan pandangan sinis.
    11. Janganlah bermuka cemberut kepada keduanya, dan jangan tertawa di depan mereka jika tidak ada sesuatu yang pantas ditertawakan.
    12. Janganlah bepergian, kecuali dengan idzin keduanya, yaitu perjalanan untuk jihad, haji tathawwu’, menziarahi para Nabi dan wali serta perjalanan yang bisa mengancam keselamatan untuk berniaga. Maka perjalanan macam itu diharamkan, bilamana tidak diizinkan oleh ayah dan ibu, meskipun diizinkan oleh yang lebih dekat darinya. Kecuali perjalanan untuk belajar ilmu yang fardhu, walaupun kifayah, seperti nahwu dan derajat pemberian fatwa. Maka tidaklah diharamkan, meskipun tidak diizinkan orang tua.
    13. Mengajak mereka bermusyawarah di dalam setiap pekerjaan dan perkara.
    14. Menghormati saudara dan sahabat-sahabat keduanya semasa mereka hidup dan setelah meninggal.
    15. Mendoakan mereka, terutama setelah mereka meninggal, karena itu sangat bermanfaat bagi mereka, karena doa anak kepada orang tua akan menjadi pengampunan baginya.
    16. Adakalanya seorang anak mempunyai orang tua yang kafir. Menghadapi mereka, maka anak harus tetap mempergauli dengan baik dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama selama ia masih hidup.


Bila seorang anak menerapkan adab-adab tersebut dengan sebaik-baiknya, maka Allah akan membalas dengan setimpal. Baginya telah dipersiapkan dua surga di akhirat nanti. Di dunia pun ia akan selalu berlimpah kebaikan. Sebagaiama kisah yang terjadi di masa Nabi Sulaiman AS. Ketika beliau berjalan-jalan menuju sebuah pantai, tiba-tiba dari dasar laut muncul sebuah istana nan indah. Tak berapa lama, dari dalam istana tersebut muncul sosok pemuda tampan dengan pakaian serba indah pula. Nabi Sulaiman bertanya, gerangan apa yang telah dilakukan pemuda tersebut hingga ia memperoleh nikmat yang begitu melimpah? Si pemuda menuturkan bahwa apa yang diperolehnya adalah sebagai balasan atas bakti dan taatnya pada orang tua. Saat keduanya masih hidup, si pemuda taat dan berbakti kepada keduanya, dan setia merawat mereka saat keduanya menderita lumpuh dan buta, sampai keduanya wafat.


Berbakti kepada orang tua juga lebih utama daripada berjihad (perang) di jalan Allah.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar RA.
    ”Seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW: ‘Aku ingin berjihad.’ Nabi bertanya, ‘ Apakah engkau mempunyai dua orang tua?’ ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.”


Kewajiban untuk berbakti dan taat tidak hanya kepada orang tua biologis yang melahirkan kita saja. Lebih dari itu adalah berbakti dan taat kepada orang tua rohani, yaitu seorang ’Priyatun Agung’ yang menunjukkan kita jalan menuju wushul, sadar kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. (Maroqil ubudiyah, tarbiyah aulad)

'UBBAD

Dalam memulai suatu perkara maka mulailah dengan menyebutka nama Allah SWT “BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM”, kemudian “ALHAMDULILLAH IROBBIL ‘ALAMIIN”… Dst. Pernyataan syukur kepada Allah SWT. Dia dalam Al Qur’an di mulai dengan “Bismillah” atau billah istilah Wahidiyah atau di sebut Tauhid. Sedang “Ar Rohmaanir rohiim” ini sifat “JAMAL” atau sifat kasih sayang, yang menunjukkan bahwa kasih sayangnya Allah lebih banyak dan tak terhitung. Ada sebuah dawuh:
    ”RahmatKu mendahului amarahKu”.


Kasih sayang Allah SWT mendahului murkanya bahkan lebih menonjol. Ini dimaksudkan agar hamba-Nya atau manusia senantiasa mengharap kepada Allah SWT dan jangan sampai putus asa sebab Rahmat itu min ‘indillah. Baik itu Rahmat ni’matul ijad (Ni’mat di wujudkan) maupun ni’matul imdad (ni’mat dipelihara oleh Allah SWT).

    ”Dan RahmatKu meliputi segala sesuatu.” (Al –‘Araf: 156)


Ghodob atau murkanya Allah SWT itu hanya sebagian dan kemurkaan Tuhan itu sebab dari hamba. Jadi Rahmat atau kasih sayang-Nya Allah itu lebih kuat dari pada Ghodob atau murka-Nya di samping itu sekalipun manusia berlarut-larut, kalau di banding dengan belas kasihan Tuhan, bukan bandingan. Jadi terkecam sekali jika manusia itu sampai berputus asa akan Rahmat Tuhan karena berlarut-larutnya. Oleh karena itu menurut Syekh Abdullah As Syarkowi penyarah kitab Al Hikam mengatakan bahwa kita sebagai manusia harus meningkatkan Tauhid dan ubudiyah kepada Allah SWT.

Di dalam kitab Al Hikam yang di karang oleh Syekh Ahmad bin Muhammad bin  Abdul Karim terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Ato’illah, As Sakandari. Beliau berguru kepada Syekh Abas Al Mursyi. Syekh Abdul Abbas Al Mursyi ini berguru kepada Syekh Abul Hasan As-Syadzali dan beliau ini muridnya Syekh Ibnu Abdus Salam Al Masyis. Beliau Syekh Ibnu ‘Atho’illah sebelum terjun dalam dunia tasawuf sudah menguasai bidang syariat. Maka disamping terus memperdalam bidang syari’at beliau terjun di bidang haqiqat atau tasawuf. Menurut kitab “At Toriqot Syafi’iyah, beliau wafat di Qohiron Mesir pada bulan Jumadil Akhir tahun 709 H, adapun tanggal kelahiranya tidak disebutkan.

Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa kata “HIKAM” merupakan jama’ dari kata “HIKMAH” yang artinya kata-kata berguna. Biasanya kata-kata hikmah itu singkat tegas dan luas. Kata HIKAM lebih terkenal dengan kata Mutiara. Disana disebutkan:
    Setengah dari pada tandanya menjagakan kepada amalnya, ibadah atau perbuatanya, usahanya yaitu turun harapan atau tipis harapan ketika menemui kemacetan atau kegagalan atau kenegatifan atau kesalahan baik itu disengaja atau tidak.


Orang yang menjagakan amalnya ketika mengalami atau menemui kesalahan didalam usaha atau ibadah lalu tipis harapan, pesimis, kecil hati. Tapi kalau mengalami keberhasilan atau kemajuan menjadi tambah atau besar harapan, besar hati atau optimis. Mereka menjagakan amal yang sifatnya jawarih seperti dzikir, sembahyang, puasa, dan lain-lain. Atau bahkan tidak hanya amal lahiriyah juga amal bathiniah. Sebenarnya amal batin bagi orang yang sudah bisa menggunakan itu lebih selamat. Adapun amal lahir seperti baca shalawat, dzikir atau mujahadah dan sebaginya atau amalan yang secara langsung berhubungan dengan Tuhan seperti sembahyang, baca Qur’an, dzikir dsb, juga amalan yang berhubungan dengan masyarakat seperti zakat, menolong orang lain, memberi sedekah, memberi petunjuk dsb semua itu jika tidak tepat atau salah lalu menjadi tipis harapan, mereka pesimis berhasil mendapat Ridha Allah SWT, atau kecil hati untuk selamat.

Maka orang yang masih menjagakan amalnya mereka masih tebal nafsunya. Masih dikuasai nafsu lalu mengaku bisa berbuat begini bisa begitu, bisa beramal dan sebagainya. Sehingga menjagakan atau membanggakan kepada amalnya atau usahanya.

Orang yang mempunyai kriteria demikian disebut ’UBAD yaitu orang-orang ahli ibadah lahir atau disebut muriiduun yaitu orang-orang yang menginginkan wushul atau sadar kepada Allah SWT. Jadi kalau ditegaskan bahwa Ubad atau Muriiduun mereka masih tipis harapan ketika menemui kesalahan atau kenegatifan, yaitu orang yang masih menjagakan amalnya, karena mereka belum sadar kepada Allah SWT.

Untuk menuju sadar kepada Allah SWT ada beberapa golongan:
    1. ‘Ubad yaitu orang ahli ibadah. Yang diinginkan adalah syurga. Atau istilah lain ingin selamat dunia dan akhirat mendapatkan syurga yang tinggi yang megah dsb. dan terlepas dari siksa neraka.

    2. Muriiduun dan salikuun. Yaitu orang yang menghendaki wushul atau sadar kepada Allah SWT. Muriiduun atau salikuun dalam satu hal sama tapi yang sebenarnya dimaksud “MURIIDUUN” yaitu orang yang baru melangkah atau akan melangkah.”SALIKUUN”,  yaitu orang yang sudah melangkah atau sedang berjalan namun belum sampai. Jadi itu tadi kalau dua kata itu berjajar. Sedang kalau tidak berjajar atau terpisah yang dimaskud salikuun juga muriiduun.
    Muriiduun masih menjagakan amalnya untuk wushul kepada Allah SWT, kalau saya mujahadah mempeng, giat pasti cepat mencapai wushul  kepada Allah SWT atau sadar, itu fikiran mereka. Maka kedua kelompok ini baik muriiduun maupun salikuun didalam menjagakan amalnya itu terkecam sebab yaitu tadi masih mengaku, mengaku bisa beramal, bisa usaha, masih memandang kepada nafsunya atau pribadinya. Aku ada, aku bisa berbuat , bisa beramal, ini terkecam. Sebab bukankah sesungguhnya “LAHAULAA WALAAKUWWATA ILLA BILLAH”. Maka jika ia mengaku ada, bisa berbuat, beramal dsb maka terkecam.

    3. Arifuun yaitu orang yang telah arif sadar kepada Allah SWT. Ia tidak menginginkan syurga atau takut neraka dalam melangkah beribadah karena Allah SWT (Lillah) ikhlas tanpa tendensi apa-apa dan tidak mengaku mampu beribadah, berbuat atau beramal sebab kemampuannya semua digerakkan oleh Allah SWT (Billah). Jadi dalam berbuat bukan karena nafsunya namun ”LAHAULAA WALAAKUWWATA ILLA BILLAH”.


Dengan demikian sebelum kita melangkah harus kita deder tatanan kesadaran ini, kita harus memakai dasar yang kukuh dan kuat. Ibarat bangunan pondasinya harus kuat. Bangunan yang pondasinya tidak kukuh pasti akan hancur. Bagitu juga amal perbuatan, kalau tidak ada pondasi kesadaran otomatis akan hancur tidak berguna, hancur menjatuhi kepada yang membangun, baik soal itu saja sudah berat lebih-lebih menjatuhi soal akhirat itu akan lebih berat lagi.

Ini semua adalah soal Tauhid yang merupakan hal pokok dan penting sekali, kita harus Roja’ besar harapan atau optimis kepada Allah SWT. Didalam kita mujahadah, beramal apakah harapan kita stabil atau berubah-ubah, pasang surut. Bila kondisi kita pasang surut menurut keadaan kita berarti amal kita belum tepat dan mestinya harapan atau Roja’ kita hanya diarahkan kepada Allah SWT, jika diarahkan kepada amalnya, mujahadahnya, do’anya maka itu tidak tepat bahkan su’ul adab, salah alamat.

 Dengan demikian harus kita dirikan pandemen didalam hati  sanubari kita yaitu  pandemen tauhid yang sekokoh-kokohnya. Jangan sampai kita menjagakan kepada amal kita. Kalau kita rajin menjadi besar harapan sedang ketika kita malas (Glonjom) kemudian tipis harapan, itu namanya masih mempertuhankan kepada nafsu, kepada amalnya, kepada usahanya. Jadi kita  harus memandang kepada Allah SWT. Sekalipun bagaimana giat kita, kita harus tetap takut kepada Allah SWT, sebab hanya Allah SWT yang wajib ditakuti, sekalipun bagaimanapun baiknya keadaan kita. Dan sekalipun bagaimana glonjom kita, kita harus tetap mengharap kepada Allah SWT. Kita mengharap kepada Allah SWT, sebab sifat Tuhan  Maha Pemberi, Maha Pengampun, Maha Penyayang dsb. Dan pemberian Tuhan tidak digantungkan kepada keadaan atau usaha kita. Sebelum ada apa-apa Allah SWT sudah “WARAHMATII WASI’ AT KULLA SYAI’IN”. “Bismillahir Rohmaanir Rohiim”, sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan kita. Sekali lagi! Tidak terpengaruh. Maka bagaimana dengan Nabi Adam AS apakah itu salah semua? Misalnya, kita tidak boleh begitu, jangan tergesa-gesa menyalahkan suatu persoalan sebelum menguasai dengan sepenuhnya. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan persoalan, kalau sudah menguasai suatu persoalan secara obyektif, secara menyeluruh, menguasai jumlah dan tafsilnya sampai menyeluruh, itu baru boleh menyalahkan.

Bila kita glonjom, supaya mengecam dirinya sendiri. Tapi ketika kita baik keadaanya, maka ”FALNAHMADILLAH” kita harus memuji kepada Allah SWT dan syukur kepada Allah SWT. Kita harus berterima kasih kepada makhluk lain yang ada hubunganya baiknya keadaan kita baik soal moril maupun materiil. Tapi kalau buruk keadaan kita ”FALAA TALUMANNAILLAA ANFUUSANA”. Janganlah  kita mengecam selain kepada diri kita sendiri. Dan didalam mengecam dirinya sendiri harus dijiwai LILLAH BILLAH istilah Wahidiyah. Itu semua harus senantiasa menjadi dasar dalam segala gerak-gerik kita itulah tunutnan Islam, tuntunan Rasulullah SAW. Bahkan tuntunan segala agama yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. ”Untuk Tuhan dan sebab Tuhan”, yang berbeda istilahnya saja. Bahkan bagi kita bangsa Indonesia yang punya Pancasila dan didalam perbuatan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Harus mendasari segala amal perbuatan kita dengan LIL TUHAN DAN BIL TUHAN Yang Maha Esa.

Di waktu kita glonjom ada kata-kata ”ILLAA AMANIYYA”, yaitu orang yang menduga-duga ”MELAMUN”. Mengharap atau Roja’ tapi tak mau berjuang atau usaha, maka ini bukan Roja’ namun terkecam. Yang dinamakan mengharapkan atau Roja’ sekalipun tidak menjagakan amalnya, perbuatanya, usahanya, ibadahnya tapi harus giat berusaha, bersungguh-sungguh, bermujahadah. Juga jangan sampai kita salah faham atau salah menempatkan segala bidang di masing-masing tempatnya. Kalau kita salah menempatkan sesuatu pada tempatnya itu namanya “DHOLIM”. Sesuai definisi Dholim yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, begitu jika kalau kita menjagakan amal kita itu namanya salah alamat ”Dholim”. Mestinya harus menjagakan kepada Tuhan saja.

Namun sekalipun glonjom kita harus tetap menjagakan kepadaTuhan, tapi selain menjagakan kita harus berusaha dan berbuat, bila tidak mau berbuat atau berusaha iu namanya ”AMANI” atau lamunan. Dan ini terkecam jadi sekalipun mengharap atau Roja’ kepada Tuhan, itu penting tapi lebih penting lagi adalah tepatnya. Hubungan ini mungkin, orang selalu kuat non stop usahanya, mujahadahnya, tapi tidak ada Roja’ kepada Tuhan melainkan menjagakan kepada amalnya, sering istirahat tapi dia tepat. Tapi kita harus sebanyak mungkin dan setepat mungkin, ini tepatnya. Jadi yang penting dan prinsip adalah setepat mungkin. Jadi tidak boleh hanya menyalah gunakan, misal, biarlah sedikit asal tepat saja, sekalipun banyak kalau tidak tepat, itu tak berarti dsb. Itu namanya menyalah gunakan, tidak boleh dan terkecam karena menyalah gunakan. Jadi kita harus setepat mungkin dan sebanyak mungkin, istilah kwalitas dan kwantitas. Adapun kwantitasnya atau banyaknya itu nomor dua yang paling penting adalah kwalitas yaitu isi atau mutunya. Namun yang harus tetap berusaha mengisi keduanya kwalitas dan kwantitas.

Secara umum seperti Lillah Billah yang paling pokok adalah Billah, karena hubungan dengan Tauhid. Lillah hubunganya dengan ‘Ubudiyah, tetapi mungkin akan disalah gunakan. Kalaum berani menyalah gunakan berarti bunuh diri. Jadi yang paling prinsip ialah Billah, atau Tauhid. Tapi kita harus berusaha bersama-sama mengisi Lillah dan Billah, Syari’at dan Haqiqat. Bgitu juga hubungan antara Roja’ dan ikhtiyar atau usaha.

Kembali kepada permasalahan. Bahwa setengah tanda atau alamat orang yang menjagakan kepada amalnya yaitu ”NUQSHONUR-ROJA’” berkurangnya harapan untuk selamat dunia akhirat, dapat diridhai Allah SWT atau dapat wushul sadar kepada Allah SWT ketika sedang dalam keadaan maksiat atau glonjom. Itu namanya menjagakan amal atau usahanya, tidak menjagakan kepada Tuhan. Atau menjagakan nafsu. Dengan demikian soal yang pokok harus kita tempatkan  pada yang pokok pada tempatnya masing-masing dan seterusnya. Kata Sayyidina Ali Karromallahu wajhah:
    ”Tidak akan mengalami kerusakan orang yang tahu kedudukan dirinya”.

‘Ubad adalah orang-orang yang masih menjagakan amalnya, atau orang ahli ibadah yang belum sadar. Ada kata-kata:
    ”Orang yang sembahyang lima waktu pada awal waktunya di samping ibadah lain-lain, itu dinamakan ‘abidin (ahli ibadah)”

    “Dan orang yang keluar dari dunia, orang yang menjauhi dunia, fanak atau rusak pandanganya terhadap dunia, dinamakan orang yang bertapa “ZUHUD”.

    “Barang siapa yang keluar dari nafsunya, yang bebas dari nafsunya, dinamakan orang arif, orang yang sadar kepada Allah SWT”


Tapi ya bisa merangkap-rangkap, artinya al ‘Arif atau orang yang sadar kepada Allah SWT, disamping itu ia juga ahli ibadah dan Zuhud atau bertapa. Ada istilah:
    ”Orang arif itu kaainun yaitu tetap ada diantara manusia yang lain dalam segala bidang. Tapi Baainun: yaitu diluar manusia. Maksudnya wujudnya sama-sama kepasar, sama tukang jahit, kesawah namun batinya berpisah yaitu Ilallah. Jadi yang satu hanya lahirnya saja dan satu luar dalam.

Dan juga dikatakan:
    ”Orang arif lahirnya bersama makhluk, batinya bersama Allah.”

    “Setengah dari pada alamat atau tandanya minal ‘Arifin, adalah orang yang sadar kepada Allah SWT, dia fanak terhadap pandangan nafsunya”, nafsu tidak menjadi acara.

    “Ketika dia jatuh atau terkena musibah lupa, dia selalu sadar akan berlakunya kekuasaan Tuhan. Dan dalam istilah Wahidiyah Billah”.


Bidang Billah, baik dalam keadaan maksiat ataupun Tho’at ini harus senantiasa Billah. Tetapi kalau Lillah atau bidang-bidang lain (syariat) itu hanya soal tho’at yang hanya boleh diberi dasar Lillah, seperti dalam rukun Iman yang keenam artinya:
    ”Dan qodar baik buruk dari Allah”.


Kita harus yakin bahwa baik dan buruk itu sudah kodar dari Allah Ta’ala. Ibarat bangunan sudah direncanakan oleh yang membangun, baik itu baik maupun buruk. Begitu juga makhluk sudah direncanakan oleh Allah SWT, ”KHOIRIHI WASARRIHI MINALLAH”. Baik dan buruk itu hanya dari Allah SWT. Itu bidang Billah harus kita isi, disamping mengisi bidang Lillah.

Oleh karena itu orang ‘Arifin ketika dalam keadaan terbelegong dia tetap menyadari Billah, menyadari itu dari Allah. Ini tidak berarti lalu tidak mengisi bidang Lillah. Seharusnya yang sempurna ialah disamping mengisi bidang Billah (Haqiqat) harus mengisi bidang Syari’at (Lillah). Maka ketika maksiat misalnya, dalam bidang Haqiqat harus tetap Billah dan dalam bidang syari’at harus tobat. ”Robbana dholamna anfusanaa”, mengecam dirinya sendiri, atau nafsunya. Namun harus tetap didasari Lillah. Bila mengecam nafsu namun tidak didasari Lillah itu berarti masih menuruti nafsu, masih dijajah atau dikuasai nafsunya. Ini mungkin sangking licinya nafsu. Sekalipun Mujahadah, dzikir, kepada Allah SWT namun tidak didasari Lillah itu otomatis berarti nafsu. Oleh karena itu semua syari’at baik lahir maupun batin yang tidak didasari Lillah berarti nafsu, walaupun dzikir kepada Allah baik itu billisan maupun bil Qolbi jika tidak didasari Lillah otomatis Linafsi Binafsi. Adapun bidang Tauhid tidak ada hubunganya dengan Lillah. Billah ya Billah sudah. Saya Billah ini saya niati Lillah misalnya, itu tidak benar, Billah ya Billah, tidak bisa diniati Lillah.

Orang ‘Arif ketika dia mengalami kebaikan dia tidak mengaku diri. Tetap sadar Billah, tetap, ”LAA HAULA WALAA QUWWATAA ILLA BILLAH”. Tidak ada bedanya baginya, baik dalam keadaan baik ataupun buruk, tetap Billah, tetap bertauhid.
    ”Karena orang Arif tetap tenggelam didalam samudra Tauhid”.

    “Tetap sama khouf dan roja’nya”.


Orang ‘Arif tetap sama dalam keadaan takut dan harapanya karena sifat Tuhan itu ditakuti dan diharap buktinya lagi yaa “BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIM” “AR ROHMAANIR ROHIM”. “Kasih sayang”. Ini berarti sekalipun keadaan kita bagaimanapun juga, tetap harus mengharap kasih sayang Allah, kalau karena berlarut larut lalu putus asa itu terkecam. Dalam Al Qur’an sudah diperingatkan:
    ”Sesungguhnya tiada yang putus asa dari Rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” (Yusuf: 87)


Orang yang putus asa berarti orang yang meniadakan Tuhan, orang yang menutup-nutupi kemurahan Tuhan. Istilah manusia orang yang melukai Tuhan. Tuhan tidak dapat dilukai. Jadi didalam keadaan buruk kita atau berlarut-larut harus mengecam kepada diri sendiri.
    ”Barang siapa keadaanya belum cocok dengan itu tadi, harus usaha sekuat mungkin dengan riyadhah-riyadhah dan banyak dzikir.”

Berhubungan dengan itu Imam Sadzali dawuh:
    ”Barang siapa yang belum menerapkan atau merasakan ilmu ini, dia dalam keadaan dosa besar, sekalipun bagaimana baiknya dan dia tidak sadar tidak merasa kalau berdosa besar.”


Mujahadah dan riyadhah baik lahir maupun batin. Mujahadah yang paling penting adalah hatinya bersungguh-sungguh atau mujahadah lahiriyah adalah sebagai pupuk dan hati harus hati-hati atau istilahnya titi ngati-ati. Senantiasa waspada, kalau nyeleweng harus secepat kilat kembali, dengan senantiasa memusatkan perhatian Fafirruu Ilallah wa Rasulihi SAW.

Usaha harus sekuat mungkin, Ibarat anak-anak bermain jumpritan harus selalu memegang kuat-kuat jumpritanya. Kalau sampai benggang (renggang) atau lepas, sekalipun hanya satu senti, past ditelan oleh nafsunya, lawanya. Tapi kalau sungguh-sungguh  sekuat tenaga memegang jempritanya dalam keadaan bagaimanapun pasti tidak akan ada apa-apa, malah dapat memanfaatkan situasi dan kondisi untuk Lillah dan Billah.
Jadi kalau orang belum memilki tanda-tanda tersebut harus usaha sekuat mungkin dengan kemampuan yang ada padanya. Sebab hal ini yang akan menentukan kelak. Kita maklum, bahwa akan hidup (selama-lamanya) di akhir nanti.
    ”Dan barang siapa yang buta (hatinya) niscaya di akhirat kelak ia akan buta dan lebih tersesat jalanya”. (Al Isra’:72)


Orang yang di dunia buta, tidak tahu siapa Tuhanya, otomatis di akhirat akan lebih jauh dari Tuhanya.
Kalau sudah memiliki harus ditingkatkan, orang jangan sampai menjagakan kepada selain Tuhan. Kok berarti jangan beramal pokok sudah sadar, itu ya tidak. Menjagakan Tuhan tanpa beramal namanya lamunan. Tapi kalau menjagakan amal, namanya syirik. Ini semua artinya kita harus senantiasa koreksi diri sehingga dapat menerapkan setepat-tepatnya. Allahu ‘alam