Sabtu, 03 Juli 2010

SALLAAB DAN JALLAAB

Secara teks, kata jallaab dan sallaab tidak terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Hal ini sebagaimana ilmu nahwu/sharaf, biologi, ushul fiqh, astronomi, juga secara teks tidak terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Namun- menurut para ahlinya ilmu tersebut telah tersirat dalam Al Qur’an dan Al Hadts. Begitu pula makna jallaab dan sallaab.

jallaab memiliki arti mengangkat hal batiniyah atau lahiriyah makhluk (manusia atau lainya), dan sallaab memiliki arti mencabut/melorot hal batiniyah atau lahiriyah makhluk. Sifat atau tabiat ini merupakan karomah yang diberikan Allah SWT kepada Ghauts RA.

Kemampuan Jallaab dan sallaab ini, jika dipahami oleh mukmin yang memiliki iman yang bercampur syirik (menyekutukan Allah), dapat timbul salah pemahaman. Yakni, mukmin meyakini bahwa kemampuan jallaab dan sallaab murni semata-mata dari Allah wa Rasulihi SAW. Jallaab dan sallaab-nya Ghauts RA hanya dapat difahami oleh orang mukmin yang imanya tidak bercampur syirik.

Jallaab dapat diartikan “sifat meningkatkan”, dan sallaab sebagai ”sifat mengurangi atau menghilangkan”. kedua sifat ini pada hakikinya secara umum, ada pada setiap makhluk Allah SWT. Hanya saja beda dalam manfaat dan obyeknya. Misalnya, air dapat mencabut (sallaab) rasa haus manusia, serta dapat meningkatkan (jallaab) bagi kesehatan dan kesegaran badan. Begitu pula makhluk lain. Semestinya secara hakiki seluruh kekuatan makhluk itu milik dan dari Allah SWT. Jika jallaab dan sallaab-nya air kita terima, sedangkan jallaab seorang Ghauts kita tolak, berarti kita tergolong orang-orang yang kacau pemikiran.

JALLAAB DAN SALLAAB; SIFAT RASULULLAH SAW

Semestinya sifat ini, asal mulanya adalah sifat Rasulullah SAW. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (dalam Shahih Bukhari juz I dan IV), Al Hakim (dalam Al Mustadrak), Imam Baihaqi (dalam dalail an-Nubuwah juz I) dan Imam Nasa’i (Sunan Nasa’i). Di bawah ini hadits riwayat Imam Baihaqi dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
    ”Aku adalah bapaknya para pembagi, sedangkan Allah adalah Dzat Pemberi Rizki, dan Aku sedang dan akan membagi.”


Perbuatan memberi pada hakikinya adalah Allah SWT. Namun Rasulullah SAW diberi tugas oleh Allah sebagai Pembagi atau menyampaikan kepada makhluk-Nya. Dan, perbuatan membagi atau menyampaikan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, inilah maksud dari makna kata jallaab dan sallaab.

Dalam hadits riwayat Imam Abu Daud (dalam Sunan Abu Daud juz IV) dari sahabat Abud Darda’, Rasulullah SAW bersabda: ”Mohonlah kamu syafaat kepada-Ku, niscaya kamu semua akan diberi pahala. Dan sungguh Allah menentukan apa-apa yang Dia menghendaki-Nya melalui lisan Nabi-Nya.”

GHAUTS RA, PEWARIS JALLAAB DAN SALLAAB

Firman Allah, QS. Fathir: 32:
    ”Kemudian Kami mewariskan kitab (Al Qur’an) kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami.”


Dalam tafsir Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibn Abbas-nya Ibn Ya’qub Al Fairuz Abaadi, dijelaskan bahwa sahabat Ibnu Abbas mengatakan: Setelah Al Qur’an di wahyukan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian Al Qur’an (yang tersirat) diwariskan kepada hamba-Nya yang dipilih oleh Allah SWT sendiri.

Syaikh Ahmad As-Shawi dalam kitabnya Hasyiyah ‘alaa al-jalalain, menjelaskan, kata tsumma (tsumma libu’di)memiliki makna
    sebagai isyarah, jauhnya urutan waktu para pewaris dari pewaris lainya dari umat ini.
Yakni cara serah terima pewaris Al Qur’an, secara estafet, dari Nabi SAW kepada pewaris pertama, kemudian dari pewaris kedua  kepada pewaris ketiga dan seterusnya sampai sirnanya wujud ini.
    ”Maksud dari pewarisan adalah pemberian. Tujuan pemberian nama “Warisan”, sesungguhnya harta waris itu diperoleh tanpa susah payah. Begitu pula, pemberian Al Qur’an kepada pewaris (Al Ghauts), juga tanpa susah payah (tidak memakai jenjang waktu{spontanitas).”

Sedangkan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberi penjelasan tentang hamba yang terpilih ini dengan:
    Beliau itu adalah umatnya Nabi Muhammad SAW yang Allah mewariskan kepadanya seluruh isi kitab yang diturunkan Allah.


Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya, member penjelasan ayat diatas sebagai berikut:
1.    “Pewarisan itu dapat terjadi pada manusia setelah kematian.”
2.    Makna dari kalimat: MIN ‘IBAADINAA, “Dari hamba Kami”, adalah:
    ”Mereka mewarisi kitab Al Qur’an. Artinya, sesungguhnya perpindahan pewarisan itu (secara estafet dari satu kepada yang lain. (Sebagaimana pewarisan) yang difrimankan Allah:  “Dan Sulaiman mewarisi (kerajaan dan kenabian) Nabi Dawud.” (QS. An Nahl: 16), “mewariskan kepadaku, dan menerima warisan dari keluarga Ya’Qub.” (QS. Maryam: 6). Maka, jika kenabian saja dapat diwariskan, demikian pula kitab Al Qur’an.”


Ayat sebelumnya (ayat ke 31) dalam surat Fathir, Allah SWT menjelaskan bahwa kitab Al Qur’an (tersurat dan tersirat) diwahyukan kepada Rasulullah SAW.
    ”Dan Dia (Allah) Dzat yang mewahyukan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an), itulah yang benar, dengan membenarkan sesuatu yang ada pada-Nya.”


Untuk menjaga hubungan arti dua ayat ini, Allah SWT memulai ayat 32 dengan kata: =tsumma “kemudian”. Artinya, setelah diwahyukan yang tersurat dan tersirat kepada Nabi Muhammad SAW –dan karena beliau SAW pulang ke rahmatullah- kemudian Al Qur’an yang terisrat diwariskan kepada salah satu hamba Allah SWT yang dipilih dan dikehendaki-Nya.

Dalam kitab Dalail an-Nubuwah-nya Imam Baihaqi, tertulis hadits dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
    ”Mewarisi ilmu ini, orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum ekstrim, membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan takwil (pengalaman) kaum jahil


Dalam kitab “Syawahidul Haq” halaman 414 diterangkan, bahwa pewaris agung sirri Nabi Muhammad SAW adalah Ghauts RA.
    ”Pewaris sirri pimpinan para rasul yang paling agung adalah Al Qutub Al Ghauts.”

Jallaab dan sallaab, ada yang bersifat makro atau kolektif (untuk keseluruhan makhluk, sehingga bermanfaat untuk seluruh makhluk), dan ada yang bersifat mikro atau individual (manfaatnya untuk setiap individu makhluk).

JALLAAB DAN SALLAAB SECARA MAKRO

Karomah jallaab dan sallaab yang berisfat makro ini dipancarkan oleh Ghauts RA ke seluruh makhluk alam sebagai tugas pokok yang diterima dari Allah SWT. Karomah ini dimiliki oleh para Ghauts RA, baik yang merahasiakan diri atau yang menampakkan diri.

Keberadaan Al Ghauts RA serta segala karomahnya (termasuk jallaab dan sallaab) telah di isyaratkan dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya, antara lain:

Hadits riwayat Abu Nuaim dan Ibnu Asakir, yang tertulis dalam beberapa kitab, antara lain kitab Al Hawi lil Fatawi-nya Imam Suyuti, Syawahid al-Haq-nya Syaikh An Nabhani, Tafsir Sirajul Munir-nya Syaikh Khatib Syarbini, Tanwirul Kutub-nya Syaikh Amin Al Kurdi, dan masih banyak kitab lainya.
Dari Ibnu Mas’ud RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
    Sesungguhnya, Allah memiliki 5 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Jibril AS, 3 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Mikail AS, dan 1 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Isrofil AS. Apabila yang seorang itu (Al Wahid) meninggal, Allah menggantikan kedudukanya dari yang tiga, dan apabila meninggal seseorang dari jumlah yang tiga, Allah menggantikanya dari jumlah yang lima. Sebab mereka, makhluk dihidupkan dan dimatikan, diberi hujan dan tanaman ditumbuhkan, dan marabahaya ditolak atau di cabut. Seseorang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: Bagaimana seseorang itu menghidupkan dan mematikan? Sahabat ini menjawab: Mereka meminta kepada Allah untuk memperbanyak manusia, maka diperbanyaklah manusia, mereka meminta kehancuran orang-orang yang suka berbuat durhaka, maka hancurlah orang-orang itu, mereka meminta diturunkan hujan, maka turunlah  hujan itu, mereka meminta agar bumi di tumbuhi tanam-tanaman, maka diperkenankanlah permintaanya. Mereka berdoa dan dengan doanya itu terhindarlah balak dan malapetaka.”


Kitab-kitab tersebut menjelaskan bahwa dimaksud (Al Wahidu) hamba yang satu didalam hadits tersebut adalah (Al Quthbu) (Al Ghauts).
Jallaab dan sallaab berlangsung melalui proses sinar radiasi batin dan doanya kepada Allah SWT, sebagaimana yang tercermin pada bagian akhir hadits di atas, yang artinya, ”…. Diantara mereka ada orang yang menghidupkan dan mematikan, memberi hujan dan menumbuhkan, dan menolak mara bahaya.”
Dalam hadits lain yang dari sahabat ‘Ubadah Ibn Shamit, riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim, Rasulullah SAW bersabda:
    ”Tidak sepi di kalangan umatku dari tiga puluh orang hamba. Sebab merekalah bumi tetap berdiri tegak, sebab mereka makhluk diberi hujan, dan sebab mereka, manusia ditolong (oleh Allah).”

Dalam kitab “Al Yawaqit wal Jawahir” nya Syaikh Abdul Wahab As Sya’rani, juz II halaman 80 juga dijelaskan:
    ”Tidak akan sepi (kosong) di setiap zaman dari adanya seorang Rasul (litajdid- untuk pembaharuan). Dia adalah Al Qtuthbu (Al Ghauts). Beliau dijadikan Allah sebagai tempat memancarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta. Dan melalui Beliaulah bercabang-cabang pemeliharaan Allah terhadap seluruh alam atas dan alam bawah.”


JALLAAB DAN SALLAAB SECARA MIKRO

Karomah ini diberikan oleh Allah SWT secara umum kepada Al Ghauts RA yang diperintah menampakkan diri. Namun kadang juga diberikan kapada Al Ghauts RA yang merahasiakan diri. Karomah ini, sebagai kesimpulan dari arti beberapa hadits shahih. Antara lain hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA.
    ”Barang siapa taat kepada-Ku (Rasulullah), berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada-Ku, berarti ia durhaka kepada Allah. Dan brangsiapa yang taat kepada Amir-Ku, berarti taat kepada-Ku, dan barangsiapa yang durhaka kepada Amir-Ku, berarti ia durhaka kepada-Ku.”

Didukung beberapa hadits dan Al Qur’an, kaum sufi berdasar ilmu mukasyafah-nya menerangkan, bahwa  yang dimaksud “Amir” dalam hadits ini adalah Al Ghauts RA. Dengan kata lain, hadits di atas diterjemahkan dengan, ”…Taat kepada Al Ghauts RA, berarti taat kepada Rasulullah SAW, yang sekaligus taat kepada Allah SWT. Dan, durhaka kepada Al Ghauts RA berarti durhaka kepada Rasulullah SAW dan sekaligus durhaka kepada Allah SWT.”
Juga dapat disimpulkan, ”Taat kepada Al Ghauts RA menjadi penyebab meningkatnya (jallaab) iman kepada Rasulullah SW, yang sekaligus iman kepada Allah SWT. Dan, durhaka kepada Al Ghauts RA menjadi penyebab melorotnya (sallaab) iman kepada Rasulullah SAW, yang sekaligus melorotnya iman kepada Allah SWT.”
Dalam riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
    ”Sesungguhnya Allah SWT berfirman: Barangsiapa yang memusuhi kekasihku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.”


Orang yang dimurkai dan diperangi oleh Allah SWT, adalah orang yang imanya melorot, atau bahkan tercabut (sallaab). Penyebab kemurkaan Allah tersebut adalah rasa benci dan memusuhi waliyullah (apalagi berpangkat Al Ghauts RA). Dalam hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda;
    ”Barangsiapa yang membenci sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena berangsiapa yang keluar dari Sultan (apalagi Sultanul Auliya) sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.”


Terjadinya kematian jahiliyah, karena iman tercabut (sallaab). Dan ketercabutan iman diakibatkan memusuhi membenci Sultanul Auliya’.
Sedangkan jallaab dan jallaab-nya Al Ghauts RA , pelaksanaanya secara rohaniyah. Yakni, dengan nadrahnya yang terpancar dari jiwa sucinya ke dalam jiwa murid atau orang yang memusuhi dan membencinya. Dengan sinar nadrahnya ini, iman sesorang dapat bertambah, bila mancintai dan mendekatinya dengan cinta dan pendekatan yang semestinya, akan tersebut.

Syaikh Muhammad Wafa (w 801), Guru Agung Pemandu kaum sufi pada zamanya, menyimpulkan makna hadits diatas sebagai berikut:
    ”Hai orang arif (apalagi Amirul Arifin/ Al Ghauts RA) itu, hadrah (lambang kehadiran) Allah. Barangsiapa mendekat kepadanya dengan cara pendekatan yang semestinya, maka akan terbukalah baginya pintu-pintu kehadiran (Allah).”


Terbukanya kesadaran hati seseorang tentang kehadiran Allah SWT merupakan sifat jallab-nya Al Ghauts RA.

PELAKSANAAN JALLAAB DAN SALLAAB

Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn Malik dijelaskan, bahwa menjelang keberangkatan Mi’raj ke langit, Malaikat Jibril (makhluk; bukan Khaliq), atas perintah Allah SWT, meningkatkan (jallaab) iman Rasulullah SAW sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
    ”Atap rumaku terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air zam-zam. Kemudian di datangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi Hikmah dan iman. Lalu (iman dan hikmah) dituangkan kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku) ditutupnya kembali.”


Perbuatan Jibril AS “menuangkan” iman dan hikmah ke dalam dada Rasulullah SAW, dapat dikatakan perbuatan jallaab. Yang secara lahiriyah dilakukan oleh makhluk(Jibril AS).

Demikian pula pelaksanaan jallaab dan sallaab yang dilakukan oleh  Rasulullah SAW dan Al Ghauts RA. Dengan sinar nadrahnya, iman dan hikmah di tuangkan kedalam hati manusia yang mencintai-Nya.

JALLAAB DAN SALLAAB GHAUTS ZAMAN DAHULU

1.    Pada masa Al Ghauts fii zamanihi Syaikh Syaiban Ar Ra’iy QS wa RA (w 197H, seorang Ghauts RA yang buta huruf). Imam Hambali meragukan kebesaran rohani dan kewalian Syaikh ini. Kepada Imam Syafi’i, Imam Hambali bercerita, karena ia kurang percaya dengan keberadaan dan kedudukan sang Syaikh, maka ia ingin mencoba sejauh mana ilmu Syaikh tadi. Tapi Imam Syafi’i melarangnya. Namun karena Imam Hambali tetap memaksa, akhirnya iapun kesampaian juga melaksanakan niatnya itu. Setelah berdiskusi dengan sang Syaikh, Hambali tercengang keheranan dengan kemampuan syaikh yang buta huruf ini serta malu kepada Allah SWT, sampai-sampai ia jauh pingsan di hadapan sang Syaikh. Setelah sadar dari pingsanya, Imam Hambali mengakui kebesaran rohani dan kewalian sang syaikh. (Risalah al-Qusayriya)

2.    Pada masa Al Ghauts fii zamanihi Syaikh Abdul Qodir Jaelani QS wa RA, ada salah seorang waliyullah yang memiliki karomah dapatt berjalan diangkasa. Suatu saat, waliyullah ini berjalan-jalan di atas angkasa (peristiwa ini dilihat banyak orang). Dalam hati waliyullah ini berbisisik, akulah manusia yang paling tinggi karomahnya. Syaikh Abdul Qadir (atas kehendak Allah semata) yang dapat mendengarkan atas hati waliyullah ini, berkata di hadapan muridnya: Buta mata hatimu, sehingga kamu merasa tertinggi. Setelah beliau berkata begitu, jatuhkah waliyullah ini  dari angkasa di hadapan Syaikh dan para murid. Waliyullah ini menyadari jika kejatuhanya karena hatinya su’ul adab dengan syaikh. Akhirnya ia mohon ampun dan idzin untuk menjadi murid syaikh. (Lujain ad-Dani )

3.    Jallaab. pada masa Al Ghauts fii zamanihi Syaikh Zakaria Al Anshari QS wa RA. Imam Muhammad Al Juwaini (buta matanya), dalam salah satu penyampaian mata kuliyahnya di hadapan mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo Mesir, bercerita bahwa waliyullah dan Al Ghauts RA serta karomahnya itu tidak ada. Semua itu hanya bualan kaum sufi belaka. Imam Ibnu Hajar Al Haitami sebagai mahasiswa termuda (waktu itu berumur 14 tahun), melakukan interupsi kepada dosenya tersebut, seraya berkata: ”Pak Dosen, Anda telah mengingkari keberadaan Waliyullah. Beranikah anda saya ajak menghadap kepada ulama yang menguasai dan memahami hal tersebut serta diskusi secara ilmiyah?” “Siap dan aku berani” jawab Syaik Al Juwaini. Seusai penyampaian mata kuliah, mereka menghadap Syaikh, Al Juwaini berkata: “Tuan, doakanlah saya agar mata saya sehat kembali.” Amin, amin, amin” jawab syaikh. Al-Haitami berkata sang syaikh: ”Guru, apakah waliyullah, wali autad dan wali Qutub (Al Ghauts), itu benar-benar ada?” “Ada anakku” jawab syaikh. Al-Haitami bertanya kembali: ”Seandainya ada orang yang mengingkari bagaimana Guru?” “Siapa orang itu anakku?”  jawab syaikh. Al Juwaini ini Guru” jawab Al Haitami. Kemudian Syaikh Al Anshari berkata: ”O.. kamu Syaikh Muhammad (perkataan ini di ulang sampai tiga kali)”. Spontan saja Al Juwaini gemetar badanya serta matanya dapat melihat kembali. Sambil berlari dihadapan syaikh, Al Juwaini berkata: ”Guru, sekarang aku percaya kalau waliyullah itu memang ada dan aku berkeyakinan bahwa wali Quthub (Al Ghauts) saat ini adalah Tuan Guru sendiri. (Syawahid Haq-nya Syaikh An Nabhani RA)

4.    Pada tahun 1962, Dr. dr. Ibrahim Hasan direktur rumah sakit “Ain Syams” Kairo bercerita: ”Saya memiliki teman (ulama yang terkenal di Mesir). Teman ini bercerita kepada saya, bahwa ia berkali-kali mimpi bertemu Rasulullah SAW. Namun suatu saat, lama sekali ia tidak bermimpi melihat Rasulullah SAW. ia pun sangat susah sekali. Namun pada suatu malam, ia bisa bermimpi lagi bertemu Rasulullah SAW. Kepada Beliau SAW ia bertanya: ”Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak bersedia menemui hamba?” jawab Rasulullah SAW: ”Bagaimana AKu menemui kamu, sedangkan ditanganmu ada kitab ini” (Yaitu kitab “Nailul Amani fi raddi alan Nabhani” –kitab ini kontra dengan kitab “Jami’ Karamah Al Auliya” nya An Nabhani, serta kontra dengan prinsip kaum sufi). Setelah aku bangun, pagi harinya aku membakar kitab Nailul Amani. Setelah aku membakar kitab tersebut, malamnya ketika tidur, aku mimpi bertemu Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepadaku.” ( Kitab Jami’ Karamah Al Auliya-nya Syaikh An Nabhani )

Menyibak Jalan Menuju Allah SWT

Siapa yang mencari Tuhan dengan akal sebagai petunjuknya, Tuhan akan mendorongnya ke arah kebingungan yang sia-sia (Al Hallaj)

Penggalan puisi dari tokoh besar sufi di atas menerangkan betapa sulitnya seorang hamba untuk mencari Tuhan dengan yang sebenar-benarnya, bila hanya dengan akal belaka. Sebab satu-satunya petunjuk menuju Tuhan adalah Tuhan sendiri.

Hal tersebut dapat dilihat tatkala Tuhan menciptakan akal. Kemudian Tuhan bertanya: ”Siapakah Aku ini?” Maka akal pun bungkam. Karena itu Dia mengolesinya (secara harfiah, ”diolesei celak mata”) dengan cahaya ke Esaan (Wahdaniyah). Setelah itu, akal seraya berkata: ”Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau.” Dengan begitu, akal tidak memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, kecuali lewat perantaraan Dia sendiri.

Akal, menurut pemerian Ibn Atha, merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba,  bukan untuk mencapai Tuhan. Dengan kata lain, bahwa untuk dapat mencapai Tuhan, dibutuhkan suatu petunjuk (hidayah). Dan ini harus di mohonkan, sedangkan permohonan kepada Allah itu pun sudah merupakan hidayah, yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-Nya

Oleh karena itu, tidak sedikit umat Islam yang kemudian melirik  pada ajaran yang disebut tarekat. Yakni ajaran yang menekankan keseimbangan kehidupan, lahiriah dan batiniyah.

Secara harfiah, tarekat (al-thoriqoh) berarti jalan, cara, atau metode untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta, taqarruban ilallah yang sumbernya firman Allah:
    ”… Untuk tiap umat di antara kamu, Kami berikan jalan (tata cara pelaksanaanya) yang terang….” (QS. Al Maidah: 48)
. Dan firman-Nya lagi,
    ”Barang siapa berusaha dengan sungguh-sungguh (mujahadah) mencapai Kami (Tuhan), benar-benar akan Kami tunjukkan  jalan-jalan Kami.” (QS. Al Ankabut: 69).


Tarekat dapat juga dimaksudkan menjalankan kewajiban agama dengan cara lebih berhati-hati, dengan menjauhkan hal-hal yang subhat dan melakukan keutamaan-keutamaan ibadah sunah, setelah menjalankan ibadah wajib, seperti shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat witir, shalat rawatib, puasa sunah, membaca Al Qur’an, bershalawat, dzikir, tasbih dan seterusnya.

Konsepsi tarekat tentang hidup tidak lepas dari konsepsi tasawuf pada umumnya. Tarekat merupakan bagian integritas dalam bentuk konstruktif, dan ditata menurut kadar psikologi manusia.

Dalam tarekat ada aturan main. Yaitu mewujudkan sikap hidup batiniah yang merasakan kehadiran Allah dalam hati. caranya dengan mengosongkan hati dari segala makhluk. Artinya, tarekat mempunyai konsepsi: kehidupan yang sebenarnya adalah hak dan milik Allah semata. Oleh karenanya, perbuatan ibadah manusia kepada Allah, harus tenggelam dalam samudera ke-Esaan-Nya (fii lujjati bahril wahdah). Hilang segala cirri pribadinya. Lebur dalam perasaan cinta (mahabbah) kepada Allah.

Dari sini sudah jelas bahwa tarekat merupakan polarisasi dari Islam, bukan suatu penyimpangan atau perbuatan yang di buat-buat dan sia-sia. Karena seorang ahli tarekat, dalam menjalankan ibadah, akan tetap berpegang pada doktrin-doktrin Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi SAW. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya penyimpangan dalam ajaran tarekat.

Ada lima pokok yang perlu diperhatikan oleh penganut tarekat dari semua tarekat yang ada.
    Pertama, memperlajari ilmu pengetahuan yang terkait dengan pelaksanaan semua perintah yang baik yang sunah maupun yang wajib. Kedua, mendampingi guru-guru atau mursyid dan teman se-tarekat untuk melihat bagaimana cara melakukan sesuatu ibadah. Ketiga, meninggalkan segala rukhsah (kemudahan) dan takwil (utak-atik) untuk menjaga kesempurnaan amal. Keempat, menjaga dan mempergunakan waktu dan mengisinya dengan segala wirid dan doa untuk mempertebal khusyu’ dan hudur (kehadiran). Dan Kelima, mengekang hawa nafsu dan selalu menjaga diri dari kesalahan.


Ilmu dan amal dibagi dalam empat tingkat: syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Tak satupun ulama sufi yang ajaran dan tarekatnya mendapat pengakuan, kalau ulama itu memperbolehkan penganutnya mengerjakan hanya salah satu dari empat tingkatan itu. Sebab, keempat tingkatan tersebut merupakan pelaksanaan agama Islam yang sempurna dan dilakukan secara professional. Syareat merupakan uraian, tarekat adalah pelaksanaan, hakekat ialah keadaan, dan makrifat adalah tujuan pokok, yakni pengenalan Allah yang sebenar-benarnya.

Kedudukan syaikh atau guru sangat penting dalam tarekat. Sebab ia tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya, agar tidak menyimpang dari ajaran Islam, tetapi juga merupakan perantara ibadah antara murid dengan Allah. Oleh sebab itu, jabatan ini tidak dapat dipangku sembarang orang, meski memiliki pengetahuan tentang tarekat. Yang penting, ia harus mempunyai kebersihan rohani atau orang yang mendapat amanat untuk membimbing murid-murid dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti Syaikh Ahmad Al-Alawi, misalnya.

Syaikh Ahmad Al-Alawi, beberapa hari sebelum gurunya  wafat, Syaikh Sidi Muhammad Al-Al Buzdi, dalam tidurnya melihat seseorang masuk menuju ketempat ia duduk. Kemudian ia berdiri untuk menghormatinya dan mempersilahkan duduk sehingga keduanya duduk saling berhadapan. Tapi setelah Syaikh Al-Alawi melihatnya dengan jelas, ternyata orang yang berhadapan denganya adalah Rasulullah SAW.

Rupanya itulah yang membuat Syaikh Al-Alawi tertunduk terdiam, serasa menyesal karena tidak menghormati sebagaimana mestinya, sampai Nabi bersabda:
    ”Tak tahukah kau mengapa aku datang kepadamu?” Ia menjawab: ”Saya tak tahu mengapa, wahai Rasulullah.” Dan Nabi SAW pun bersabda: ”Sultan timur telah meninggal dunia, dan insya Allah kau akan menggantikanya menjadi sultan. Apa pendapatmu?” Syaikh itupun menjawab: ”Jika saya diberi kedudukan yang tinggi ini, siapa yang akan membantu saya, dan siapa yang akan mengikuti saya?” Lalu Nabi SAW menjawab: “Aku akan bersamamu, dan akan membantumu.”


Mendengar jawaban seperti itu, Syaikh Al-Alawi diam sehingga Nabi beranjak meninggalkanya. Syaikh Al-Alawi pun bangkit mengikuti kepergian Rasulullah, dan seakan-akan melihatnya terakhir kali, saat Nabi SAW pergi, dengan mata terbuka dan terjaga.

Kedudukan murid dalam tarekat tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan, tapi juga harus taat pada beberapa akhlak yang ditentukan untuknya.

Seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya. Ia harus membesarkan kedudukan guru, baik lahir maupn batin. Seorang murid juga harus yakin bahwa tujuanya akan tercapai karena bimbingan gurunya. Oleh karena itu tidak boleh terpengaruh pada guru lain. Karena kalau sampai terpengaruh, maka akan menjauhkan ia dari mursyidnya. Dan si murid tadi tidak akan mendapat percikan “cahaya” (nadroh) sang guru.

Begitu patuh dan taatnya seorang murid tarekat, samapi ia tidak bisa menolak apa yang diperintahkan gurunya. Meskipun semua itu pada lahirnya tidak cocok dengan isis hatinya. Murid tarekat juga tidak boleh bertany, apa sebab gurunya berbuat demikian. Sikap dari seorang guru terkadang terlihat suatu gambaran yang kontra secara lahiriyah, namun secara batiniah itu adalah tindakan tepuji, seperti yang pernah terjadi pada Nabi Musa AS terhadap Nabi Khidir AS.

Mereka yang akan menggabungkan diri pada suatu tarekat hendaklah mengetahui nisbah atau hubungan guru-gurunya itu secara berantai sampai kepada Nabi SAW. Hal ini penting karena bantuan kerohanian yang diambil dari guru-gurunya tadi harus benar. Jika tidak benar (tidak berhubungan) sampai kepada Nabi SAW, maka bantuan itu dianggap putus dan tidak merupakan warisan (warotsah) dari Nabi SAW. Kemudian si murid tadi akan tersesat, tidak sampai pada tujuan, sebab syetan dapat masuk pada amalanya itu. Hal ini sangat berbeda dengan amalan shalawat yang digunakan untuk sarana atau jalan menuju wushul (sampai) kepada Allah. Sebab guru atau mursyid dari amalan shalawat itu ialas Shahibus shalawat itu sendiri, yakni Rasulullah SAW.

Silsilah itu merupakan hubungan nama-nama yang sangat penting yang bertalian satu dengan yang lain hingga sampai pada Nabi SAW. Silsilah yang sampai kepada Nabi itu ada yang melalui Abu Bakar RA, ada juga yang melalui Ali Bin Abi Thalib KW wa RA, Anas bin Malik RA atau sahabat yang lainya. Dari Nabi beralanjut ke Malaikat Jibril AS dan kemudian kepada Allah SWT.

Jika seorang mursyid mempunyai silsilah semacam itu, maka ia berhak mengajar tarekat pada orang lain. Syaikh Tarekat Sammaniyah misalnya, harus sampai kepada Muhammad Samman, yang kemudian kepada sahabat dan kemudian kepada Nabi. Demikian pula dari tarekat-tarekat yang lainya.

Dalam tarekat juga dikenal istilah wasilah atau wushul yang artinya perantara atau hubungan. Hal tersebut dilandasi oleh firman Allah:
    ”Carilah wasilah (perantara) yang (dapat) mendekatkan diri kepada-Nya.” (Al Maidah; 35).
Kemudian diambil pula perbandingan kisah Nabi SAW Mi’raj ke langit menjumpai Allah yang diantar oleh Malaikat Jibril. Mengantarnya Jibril ini dianggap wasilah. Disinilah ahli tarekat mengambil ibarat, bahwa mereka sebaiknya berwasilah kepada guru saat beribadah kepada Allah. Sehingga wasilah mempunyai arti khusus, yaitu jalan yang menyampaikan hambanya kepada Allah SWT.

Tarekat Naqsabandiyah mengartikan hakikat wasilah dengan tabaruk atau ‘mengambil barokah‘. Dan ini dikerjakan oleh murid-murid Syaikh An-Naqsabandi sebelum melakukan dzikir semacam ini,
    ”Yaa Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan berkat Rasulullah SAW dan berkat guruku, agar engkau memberikan daku makrifat dan cinta kasih hatiku kepadamu.” (Kalau di Wahidiyah, redaksinya; Allahumma bihaqqismikal a’dham, wa bijaahi Sayyidina Muhammad SAW wa bibarokati Ghoutsi Hadzaz Zaman, wa a’waanihi wa sa-iri auliya-ika ya Allah, ya Allah, ya Allah radliallahu ta’ala ‘anhum).


Memang banyak aliran-aliran tarekat. Ada tarekat yang merupakan induk, yang diciptakan oleh tokoh tasawuf aqidah. Ada juga tarekat yang merupakan pecahan dari tarekat induk. Biasanya, ini sudah dipengaruhi oleh pendapat para Syaikh tarekat atau keadaan setempat atau keadaan bangsa yang menganut tarekat itu, yang tentunya memiliki corak dan ciri yang berbeda pula. Contohnya, penganut Tarekat  Maulawiyah yang di dirikan oleh Syaikh Jalaludin Rumi yang lebih dikenal di Barat sebagai ”The Whirling Dervishes” (Darwisy –penganut tarekat – yang menari-nari berputar-putar). Dan gerakan-gerakan dalam tarian itu merupakan tarian tradisional setempat yang secara turun temurun telah mendarah daging dalam diri murid-muridnya dan menjadi daya tarik langsung bagi mereka.

Dari sekian banyak tarekat, intinya tak lain untuk mencapai (memperoleh) makrifat atau menuju wushul kepada Allah SWT. Inilah akhir perjalanan mereka dan berada dalam derajat paling tinggi kesempurnaan manusia setalah Nabi.

Jika seorang hamba sudah sampai kepada kedudukan semacam ini, niscaya ia akan luruh (lebur) segala indera-inderanya. Yang ada hanya ke-Esaan-Nya semata, seperti disebutkan Hadits Qudsi:
    ”Hamba-Ku tak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan kepatuhan ikhlasnya (diluar ibadah wajib, yaitu sunah), sehingga Aku mencintainya. Dan bilamana Aku telah mencintainya; Aku Adalah Pendengaranya, yang denganya ia mendengar; dan Penglihatanya, yang dengan ia melihat; dan lidahnya, yang denganya ia berucap; dan Tanganya, yang denganya ia memikul; dan Kakinya, yang denganya ia berjalan.”


Dari hadits Qudsi diatas, tak dapat dibayangkan bagaimana kedekatan Tuhan kepada hamba-Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
    ”Kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.” (QS. 50: 16).
Dengan begitu, sahabat Abu Ubaidah RA, mengatakan;
    ”Aku tidak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan lebih dekat kepadaku daripada sesuatu itu.”
Inilah yang disebut makrifat.

Melalui shalawat Wahidiyah yang memiliki Faedah menjernihkan hati dan makrifat Billah, kita di tuntun untuk mendekatkan kepada Allah. Kedekatan yang lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Bahkan jika kita mampu menerapkan Lillah dan Billah, yakni dalam melaksanakan segala perintah senantiasa berlandaskan perintah Allah, dan menyadari segala gerak-gerik lahir dan batin, adalah atas kehendak Sang Maha Pencipta, kita termasuk muqarrabun (orang-orang yang dekat dengan Allah).

Shalawat Wahidiyah ditaklif (disusun) oleh Asy Syaikh Arif Billah Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf, Qaddassallah Sirroh Radhliyallahu Anhu pada tahun 1963. Setelah beliau mendapat petunjuk langsung dari Rasulullah SAW, dalam keadaan sadar dan terjaga.

Bahkan amalan ini jauh lebih praktis dan mudah. Sebagaimana di dawuhkan oleh mualifnya sendiri sebagaimana difatwakan oleh Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah pada HUT Shalawat Wahidiyah ke 34 beberapa tahun silam:
    ”Kalau ada amalan yang lebih mudah untuk wushul kepada Allah saat ini, selain amalan Wahidiyah, maka Mbah Yahi sanggup (bersedia) ikut dibelakangnya bersama seluruh Pengamal Shalawat Wahidiyah.”


Yang dimaksudkan amalan Wahidiyah disini tentunya tidak hanya sebatas mengamalkan shalawatnya, tetapi dalam prakteknya, juga harus mengaplikasikan ajaranya: Lillah-Billah, Lirrasul-Birrasul, Lilghouts-Bilghouts, Yuktikulladzi haqqin Haqqah, dan Taqdiimul fal aham tsumal Anfa’ fal Anfa’ di setiap aktivitas secara proposional serta menjaga adab, baik lahir maupun batin dengan sebaik baiknya.*





(Bahan bacaan: Wali Sufi Abad 20, Martin Ling, Mizan, Tarekat di Indonesia, Zaman. Ajaran Kaum Sufi, Al Kalabadzi)