Selasa, 19 Oktober 2010

Agar waktu tak terbuang sia-sia

Waktu dua puluh empat jam sehari, terasa kurang karena banyaknya pekerjaan. Akibatnya tak jarang kita mengkambing hitamkan waktu. Padahal menyalahkan waktu termasuk sikap mencela masa (sabbud dahr) yang di benci Allah.
Rasulullah SAW pun pernah berpesan:
    ”Janganlah kalian menyalahkan waktu.”

Persoalan waktu sebenarnya bukan terletak pada jumlah yang tersedia, melainkan kualitasnya. Kualitas ini dapat di hasilkan lewat manajemen waktu yang menghasilkan disiplin dalam pemanfaatan waktu. Bukankah setiap waktu-waktu yang kita lewati dalam kehidupan ini akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak? Bila kesadaran ini muncul, maka berbagai alasan dan keluhan yang mencerminkan sikap lari dari tanggung jawab tidak akan ada, atau minimal berkurang.

Berbagai alasan mengenai waktu habis tersita untuk bekerja, karir, kegiatan sosial, ekonomi, hingga tidak sempat mengurus serta memperhatikan anak, istri atau suami. Tidak sempat (mujahadah) yaumiyah, usbuiyah, syahriyah dan seterusnya, bahkan tidak sempat (maaf) shalat (naudzubillah), merupakan bukti kurang baiknya manajemen waktu.

Pengelolaan waktu yang baik haruslah dimulai dengan mengendalikan langkah harian. Manajemen waktu harian ini bisa berbentuk  rencana harian. Setiap pagi saat bangun dari tidur, rencana harian kita sudah harus memenuhi kilasan waktu 24 jam. Rasulullah SAW bersabda:
    ”Wahai anak Adam! Aku adalah hari yang baru dan aku datang untuk menyaksikan semua amal kamu, oleh sebab itu manfaatkanlah aku sebaik-baiknya karena aku tidak kembali lagi hingga Hari Pengadilan.”

Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan panduan dalam manajemen waktu, yaitu: biasakan membuat skala prioritas, selalu berusaha lebih keras, jangan menunda-nunda pekerjaan, jangan memikirkan pekerjaan yang menumpuk, tetapi mulailah mengerjakanya satu persatu, dan jangan bilang ‘SAYA TIDAK PUNYA WAKTU’ untuk suatu hal yang baik.

Islam mengajarkan beberapa petunjuk dalam manajemen waktu agar seseorang tidak merugi:
·         Pertama, selalu menggunakan waktu secara positif. Bila sikap mubadzir terhadap harta sangat tercela, maka, adakah harta yang lebih berharga dari kehidupan atau waktu?
    ”Beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu mereka yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan sia-sia.” (QS. Al Mu’minun: 3)

·         Kedua, menyadari hakekat dan nilai waktu agar tidak mudah menyia-nyiakanya dan selalu produktif mengisi kekosongan waktu (QS. Al Insyirah: 7-8). Nabi SAW juga bersabda:
    ”Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara:
    1. Masa hidupmu sebelum datang kematianmu.
    2. Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu.
    3. Waktu luangmu sebelum masa sempitmu.
    4. Masa mudamu sebelum datang masa tuamu.
    5. Masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR. Hakim dan Baihaqi dalam bab Iman, dan Ahmad dalam bab Zuhud dari Ibnu Abbas RA.)
Begitupun hadits yang mengatakan:
    ”Barangsiapa yang hari ini seperti hari kemarin, ia adalah orang yang merugi dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin ia adalah orang yang tercela.”

·         Ketiga, berlomba-lomba dalam meningkatkan efektivitas dan optimalisasi waktu. Rasa cinta, takut dan harapan kepada Allah membantu kita untuk memperbanyak amal. Nabi SAW sendiri setiap pagi dan sore selalu memanjatkan doa:
    ”Yaa Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kepedihan dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.”

Sikap malas adalah cirri khas orang munafik terutama dalam mengerjakan shalat (QS. An Nisa: 142, At Taubah: 54). Sementara semangat berkompetisi dengan waktu merupakan cirri orang yang beruntung di dunia dan bahagia di akhirat: (Al Maidah: 48, Al Imran: 133, Al Hadid: 21, Al Muthaffifin: 26, Al Anbiya’: 90, Ali Imran: 114)

·         Keempat, belajar dari pengalaman masa lalu sambil menata  masa depan. Untuk itu, perlu ditumbuhkan kemauan keras dan cita-cita luhur. Firman Allah SWT:
    ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al Hasyr: 18)

·         Kelima, mengelola waktu secara baik; dengan memperhatikan ketepatan penggunaan waktu sesuai situasi dan kondisi secara proposional. Nabi SAW bersabda:
    ”Orang yang pintar selalu memiliki empat porsi waktu:
    pertama, waktu untuk bermunajat kepada Rabbnya (perawatan rohani),
    kedua, waktu untuk mengintropeksi dan evaluasi diri (pengembangan diri),
    ketiga, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah (pengembangan daya fikir dan sosialisasi lingkungan), dan yang
    keempat, waktu untuk merawat jasmani.

Kesadaran pengendalian waktu sangat penting mengingat waktu sangat cepat berlalu (QS. An Nazi’at: 46, Yunus: 45, As Sajadah: 12) dan tidak dapat kembali lagi. Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Kitab Shoidul Khoir hal. 20 berkata:
    ”Tatkala seorang menyadari betapa berharga dan pentingnya waktu, maka ia tidak akan menyia-nyiakan sesaatpun tanpa aktivitas yang aham dan anfa, tetap energik dan bersemangat melakukan kebaikan tanpa kenal lelah demi efesiensi waktu.”

Maka bagi kita, kapan saja dimana saja, jangan pernah mengabaikan waktu luang. Manfaatkanlah sebaik mungkin. Bila seluruh hidup ini kesempatan, maka sepanjang itu pula kita harus pandai-pandai memanfaatkan. Karena suatu kesempatan, belum tentu akan terulang lagi dalam waktu dekat, dalam situasi dan kondisi yang lebih baik, atau bahkan mungkin tidak aka nada kesempatan lagi. Hentikan kebiasaan menunda, hari ini juga. Segeralah membuat komitmen untuk mulai melaksanakan tugas dan pekerjaan yang telah dan sedang di tunda.

Hanya orang berakal dan mau berfikir, merenung dan menghayati, yang bisa merasakan, bahwa waktu-waktu dalam hidup ini harus memberi kesempatan untuk lahirnya sosok muslim yang berkualitas. Setiap kali kita melewati sepotong waktu, serentang masa, kita harus mengerti, bahwa itu adalah kesempatan yang sangat berharga. Itu adalah momentum yang bisa mengantarkan kita ke hamparan bahagia, atau himpitan sengsara. Semua terserah bagaimana kita menjalaninya. Setiap kali waktu datang, ia meminta haknya, saat itu juga. Sebab waktu tak bisa diputar ulang. Allahu a’lam





Al Waktu; antara uang dan pedang

Betapa berharganya waktu. Saking sulitnya mengungkapkan mahalnya nilai sebuah waktu, setiap orang berbeda-beda dalam mengistilahkan. Di barat, kaum materialis mengatakan, “time is money. Waktu adalah uang”. Adalagi yang menyebutkan, “Waktu adalah permata.” “Waktu adalah ilmu.” “Waktu adalah ibadah”. Bahkan mungkin juga diantara anda ada yang mengeluarkan istilah baru, “Waktu adalah berjuang.” “Waktu adalah riyadhah.” “Waktu adalah ibadah.” “waktu adalah mujahadah.” Dan seterusnya. Tergantung mewakili “kelompok” mana seseorang bicara tentang waktu dan apa kepentinganya.

Yang jelas, waktu adalah peluang, kesempatan, momentum. Yang apabila telah lewat ia tidak akan kembali lagi. Disinilah sesungguhnya letak nilai sebuah waktu. Ia datang hanya sekali. Dan tidak akan berulang  dua kali.
Betapa mahalnya waktu. Betapa berharganya sebuah kesempatan. Ia merupakan satu-satunya sumber daya yang bila hilang tak bisa diganti. Bagi kita, waktu yang kita miliki sama dengan jatah usia yang sudah kita jalani dan akan kita lalui. Karenanya, siapa yang membuang-buang waktu, sama dengan menyia-nyiakan umurnya sendiri.

Islam sendiri begitu menaruh perhatian besar terhadap waktu. Hingga di dalam Al Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan “sumpah” Allah dengan mengatasnamakan waktu.
    Demi waktu shubuh, demi waktu dhuha, demi malam apabila telah menutupi, demi waktu siang apabila telah menerangi,
adalah contoh “sumpah” Allah atas nama waktu.

Didalam surat Al Ashr yang berarti “masa”, Allah telah “bersumpah”:
    ”Demi masa. Sesungguhnya manusia akan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman (billah) dan beramal shaleh (lillah), serta saling menasehati supaya menetapi kebenaran dan kesabaran. (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Demikian juga, Rasulullah SAW tidak bosan-bosanya mengingatkan umatnya soal pemanfaatan waktu. Beliau bersabda:
    ”Ada dua nikmat yang seringkali dilalaikan oleh kebanyakan manusia. Yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Turmudzi dalam Kitab Zuhud 4, hal. 50)
Dalam haditsnya yang lain beliau bersabda:
    ”Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara:
    ·         1. Masa hidupmu sebelum datang kematianmu.
    ·         2. Masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu.
    ·         3. Waktu luangmu sebelum masa sempitmu.
    ·         4. Masa mudamu senbelum datang masa tuamu.
    ·         5. Masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR. Hakim dan Baihaqi dalam bab Iman, dan Ahmad dalam bab Zuhud dari Ibnu Abbas RA.)
Waktu adalah umur, lahan, kendaraan dan modal manusia sebagai nikmat dan anugerah Allah yang wajib disyukuri. Wujud syukur itu adalah dengan mengisi waktu dengan amal shaleh dan berlomba-lomba dalam kebaikan, untuk dunia dan akhirat (QS. Ibrahim: 33-34, Al Furqan: 62, Al Lail, Al Fajr, dan Ad Dhuha, Al Ashr; 1-4, QS. Al Baqarah: 201, Al Qhasah: 77, Al Maidah; 48).

Setiap potong waktu adalah kesempatan. Setiap penggal masa adalah peluang. Masing-masing punya fungsi dan karakternya.hari senin ini bukan hari senin kemarin, meski namanya sama. Hari jum’at ini bukan jum’at kemarin, meski sama-sama jum’at. Bulan Ramadhan ini bukan Ramadhan kemarin, meski namanya sama. Bulan Syawal ini bukan bulan Syawal kemarin, meski sama-sama Syawal.
Potongan waktu-waktu itu tidak semata cukup difahami sebagai kumpulan menit atau jam, saat kita menyelesaikan pekerjaan, menyempatkan tidur, istirahat, berolah raga, beribadah, mujahadah, bercengkrama dengan keluarga, bepergian, mudik, atau melakukan kegiatan lainya. Tak cukup hanya itu. Sepotong waktu adalah momentum. Kesempatan. Semacam pelontar yang bisa melemparkan diri kita kepuncak kesuksesan, atau sebaliknya, menjungkalkan kita ke jurang kegagalan.

Memang bukan waktu itu sendiri yang punya daya lempar dan kekuatan lontar. Tapi cara kita menggunakanya sebagai peluang. Cara kita menggunakan sepenggal kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Masalahnya, kita tidak pernah tahu pada kesempatan yang mana kita akan sukses atau gagal. Maka pada setiap potongan waktu dan kesempatan kita seperti ‘berjudi’. Gagal atau sikseskah? Lancar atau tersendat?

Justru disinilah letak serius masalahnya. Seperti kematian yang sangat-sangat gelap tibanya, seperti itu pula arti kesempatan bagi perjalanan hidup kita. Kita tak pernah tahu, apakah sebuah keputusan pada sebuah kesempatan akan mengantarkan kita kepada kebaikan yang berkesinambungan, pada kesuksesan dan kejayaan. Kita tak pernah mengerti pada kesempatan yang mana dari keseluruhan hidup ini kita akan memulai kesuksesan. Atau sebaliknya, kita akan menuai kegagalan. Isyarat sukses dan gagal mungkin bisa di cerna pada aspek perencanaan hidup. Tapi tetap saja tak bisa dipastikan. Kesempatan hidup memberi kita arti penting sebuah momentum yang menyambungkan dengan kesempatan lain. Itu sebabnya setiap kesempatan  adalah peluang emas. Maka tak ada pilihan bagi kita kecuali memandang setiap kesempatan itu penting. Setiap momentum adalah emas. Setiap waktu adalah istimewa. Setiap kesempatan itu berharga. Kesempatan dalam hidup seperti sebuah batu loncatan. Tempat kita menghentak untuk melompat lalu mendapatkan daya dorong baru, kekuatan baru, dan menghasilkan karya baru.

Maka hendaklah seorang Memusatkan fikiran, hati dan jiwanya secara total kepada Allah untuk sungguh-sungguh mengisi setiap waktunya, bahkan setiap turun naiknya nafas agar bernilai beribadah di hadapan Allah SWT. Dalam AL Qur’an Surat Adz Dzariyat ayat 56 Allah SWT berfirman:
    ”Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan agar senantiasa beribadah, mengabdikan diri kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Dan surat yang lain Allah juga menegaskan:
    ”Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115)

Yang lebih penting dari itu semua, adalah memaknai seluruh rentang waktu dalam hidup ini sebagai kesempatan. Detik demi detiknya. Hari demi harinya. Orang-orang yang hanya bergantung pada waktu-waktu seremonial yang langka, akan menjadi sangat miskin kesempatan menjadi lebih baik. Bila hanya pada saat lulus sekolah untuk meningkatkan kualitas diri, alangkah miskinya kita dari kesempatan untuk menjadi lebih baik. Bila hanya ketika bulan Ramadhan kita berlomba-lomba berbuat baik, alangkah terbatasnya waktu yang kita miliki.

Setiap waktu punya catatan nilainya sendiri disisi AllahYang Maha Melihat. Karya pada sebuah momentum tidak saja dinilai dari karya itu sendiri, tapi juga dari sisi pemanfaatan kesempatan itu. Bahwa kita tidak menyia-nyiakan waktu. Maka disinilah kita memahami mengapa kelak setiap manusia akan ditanya tentang waktu yang dilaluinya; untuk apa dihabiskanya. Rasulullah SAW bersabda:
    ”Tidak akan melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga dimintai pertanggung jawaban tentang umurnya, untuk apa ia dihabiskan, dan tentang ilmunya diamalkan untuk apa ilmu tersebut, dan tentang hartanya, darimana ia dapatkan dan pada jalan apa ia keluarkan, serta tentang jasadnya untuk apa ia manfaatkan.” (HR. Turmudzi: Juz 4, hal. 612)

Bagi sebagian manusia, waktu ,menjadi bermakna ketika datang peluang. Jika kita mengenal waktu yang tepat ketika suatu peluang datang dan bertindak segera, masalah kehidupan akan terasa lebih sederhana. Tetapi bagi orang  lain, waktu hanyalah ukuran detik, menit, jam. Hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Inilah konsep waktu yang paling dangkal. Konsep wkatu seperti ini memusnahkan inisiatif dan melemahkan dorongan kreatif untuk mengisi waktu.

Kita juga mengenal pribadi yang memahami makna kehidupan dengan mengisi watunya lewat hal-hal terbaik. Bagi mereka, waktu tidak terpenjara oleh jam atau kalender. Mereka bergerak menuju keberhasilan dengan semangat yang tinggi tanpa mengenal waktu.

Pendekatan terhadap waktu secara kolektif dan dinamis sepatutnya menjadi tantangan bagi kita. Pemanfaatan waktu yang tepat akan menentukan kegagalan atau keberhasilan seseorang, bahkan melebihi pengetahuanya.

Selain itu, hidup sebagai kesempatan memberi bobot lain pada kualitas kita dalam menggunakan kesempatan itu. Tak sekedar mengisi kesenangan, apalagi mengejar kebesaran duniawi semata. Ada banyak rahasia hidup yang tak tampak oleh mata. Maka Ibnu Qayyim Al Jauziyah memberi nasehat,
    ”Orang yang berakal mengerti bahwa dunia ini tidak diciptakan untuk mencari kesenangan di dalamnya. Karenanya, dalam kondisi apapun ia haruskonsisten dalam menggunakan waktunya secara tepat.”

JANGAN DIBIASAKAN MENUNDA-NUNDA SUATU AMAL/PEKERJAAN

Kebiasaan menunda-nunda suatu amal atau pekerjaan bukan sekedar kebiasaan buruk tetapi suatu sikap mental yang menghambat perkembangan pribadi dan bahkan profesi. Penundaan akan mengerem roda kemajuan, menghancurkan tujuan dan aspirasi serta bisa menimbulkan frustasi, marah dan putus asa. Tugas-tugas atau pekerjaan baru tidak akan menunggu sehingga setiap penundaan pekerjaan berarti menambah beban hutang pekerjaan. Tentu saja kondisi ini akan berdampak pada terelewatnya kesempatan berharga.

Sikap menunda-nunda ini lebih parah lagi bila berpengaruh kepada lingkungan. Arus kegiatan yang sudah berjalan dalam suatu tim menjadi terhambat karena seorang anggotanya menunda pekerjaan. Sikap atau kebiasaan menunda pekerjaan tersebut banyak dilatarbelakangi oleh ketidak disiplinan, rendahnya motivasi dan rasa tanggung jawab, ketidak percayaan diri bahwa ia dapat melaksanakan suatu pekerjaan, atau justru sebaliknya, terlalu percaya diri, tidak mampu menolak setiap pekerjaan yang datang, padahal pekerjaan sebelumnya pun belum selesai. Mungkin juga karena terlalu mengharapkan hasil yang paling baik sehingga seseorang selalu menerima tuntutan yang kadang berlebihan dari kapasitas dirinya sendiri.

Rasulullah SAW telah mengajarkan agar setiap muslim menghargai waktu terutama waktu ”sekarang” karena waktu yang terbuka untuk kesempatan itu adalah waktu “sekarang” Ibnu Umar RA RA beliau berkata, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
    ”Apabila engkau berada sore hari, maka janganlah mengulur-ulur urusanmu sampai besok, dan apabila engkau berada di pagi hari, maka janganlah engkau menunda-nunda urusanmu sampai sore. Ambilah kesempatan waktu sehat sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari, Juz 4 hal. 116)

Kata Syekh Hasan Bashri
    ”Setiap hari pada saat itu fajar mulai terbit, pasti ada satu penyeru dari Hadirat Yang Maha Haq: Wahai anak cucu Adam! Saya adalah waktu, makhluk yang tercipta. Setiap amalanmu aku menyaksikanya. Karena itu, berbekallah kalian dariku dengan amal yang shaleh. Karena aku tidak akan kembali hingga hari kiamat.

Maka, jangan ada lagi waktu yang terbuang sia-sia. Jangan sekali-kali menunda-nunda amal atau pekerjaan bila saat ini bisa dikerjakan. Punya waktu sekali, gunakan yang berarti. Sebab kata Nabi:
    ”Waktu ibarat pedang, jika kamu tidak mampu menggunakan pedang itu, maka ia akan memotong lehermu.” (Al Hadits)
Juga kata Imam Al Ghazali RA,
    ”Yang bisa mengisinya dengan hal-hal yang baik, baginya waktu menjadi kawan. Begitu sebaliknya, yang tidak bisa mengisi dengan hal-hal yang baik, waktu adalah lawan.”

BURUAN

Hidup adalah perjuangan dan perburuan. Kita memang berburu bahagia, berjuang melawan godaan syetan dan imperialis nafsu. Bersaing dengan sesama makhluk. Meski sejatinya kita sendiri adalah buruan. Diburu kematian, diburu oleh nafsu dan syetan. Karenanya, menjadikan setiap waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diri dan mendekat kepada Allah wa Rasulihi SAW adalah jalan yang paling baik sebelum dijemput oleh kematian dan diterkam oleh nafsu dan syetan.

Dalam nasehatnya yang sangat dalam, Umar bin Abdul Azizi RA berkata,
    ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian semua itu adalah buruan. Yang akan di buru oleh kematian. Tidaklah kalian mendapatkan sebuah nikmat kecuali kalian akan meninggalkanya dengan yang lain. Adakah suapan makanan yang tak dihilangkan oleh tegukan air. Kemarin adalah saksi yang diterima persaksianya. Ia akan mengejutkan kalian rahasia dan hikmahnya. Sedang hari ini seperti kekasih yang segera kita ucapkan selamat berpisah. Sedang esok akan datang dengan segala isinya. Kemanakah larinya buruan yang ada ditangan pemburunya? Tidak ada yang lebih kuat dari pemburu, dan tidak ada yang lebih lemah dari yang diburu. Kalian ini musafir, kalian akan melepas kendaraan kalian tidak di kampung dunia ini. Kalian adalah cabang-cabang dari pokok-pokok yang telah berlalu. Maka adalah keabadian bagi cabang-cabang yang telah pergi pokoknya.”

Nasehat Umar bin Abdul Aziz RA itu  menggambarkan bahwa upaya meningkatkan kualitas diri agar semakin dekat kepada Allah adalah pilihan setiap saat. Tidak saja disaat-saat sedih belaka. Sebab bila kemarin waktu luang yang kita miliki terlewatkan, ia akan menjadi saksi yang memberatkan di pengadilan Allah kelak, bahkan ia akan menuntut pertanggung jawaban kita di hadapan Hakim Yang Maha Agung.

Maka setiap waktu dan kesempatan yang datang kepada kita, kita jadikan sebagai ruang kita untuk beramal dan berbuat baik. Ibarat sawah atau ladang, ia adalah tempat kita menanam benih, hingga tumbuh menjadi besar, menghasilkan buah dan memberi kesejukan. Begitulah, setiap waktu dan kesempatan hendaknya di fungsikan sebagai medan beramal dan berbuat baik. Imam Al Ghazali RA berkata,
    ”Yang bisa mengisinya dengan hal-hal yang baik, baginya waktu menjadi kawan. Begitu juga sebaliknya, yang tidak bisa mengisi dengan hal-hal yang baik, waktu adalah lawan.”

Waktu adalah karunia yang wajib kita syukuri. Islam memandang waktu seorang muslim sebagai nikmat yang sangat besar yang harus dimanfaatkan. Ia merupakan kesempatan emas untuk menyiapkan energi baru, beramal ibadah, membekali diri dengan berbagai kebaikan, sebelum diburu oleh kematian.

Perhatian Islam terhadap waktu memang demikian besar. Tidak saja soal pemanfaatanya, tapi juga dalam hal pengalokasian. Karenanya, pada masa generasi sahabat, masalah pemanfaatan waktu ini menjadi perhatian utama para penerus perjuangan Rasulullah SAW tersebut. Salah satunya adalah Sayyidina Umar bin Khatthab RA. Konon, Ketika ia mendapati dirinya sesaat saja lalai tidak melakukan amal yang bernilai ibadah kepada Allah, sontak ia langsung mencambuki tubuhnya dengan pecut yang dibuatnya sendiri. Hingga setelah kematianya, para sahabat yang memandikan jasadnya, mendapati guratan-guratan hitam di tubuhnya bekas cambukan.

Di dunia ini, sesungguhnya tidak ada orang ‘sukses’ yang tidak disiplin dalam pemanfaatan waktu. Sekecil apapun. Mereka saat ini  yang kita lihat ‘jaya’, adalah mereka yang pada awalnya adalah orang-orang yang cerdas dan pandai menggunakan waktu dan kesempatan. Baik dalam belajaranya, dalam bekerjanya, dan dalam segala aktivitas keseharianya. Demikian juga para kekasih Allah, para muqarrabun, para Sultanul Auliya’ adalah para priyantun agung yang berhasil memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk terus munajat dan riyadhah kepada Allah. Siang dan malam. Dalam kondisi dan situasi apapun dan bagaimanapun. Bahkan dikatakan, tidak ada waktu sedetikpun bagi mereka yang tidak digunakan untuk ibadah dan audensi kepada Dzat Yang Maha Hidup.

Bagi kita pengamal wahidiyah, setidaknya ada tiga jenis yang harus kita tata pemanfaatanya dalam menjalani kehidupan ini:
    Pertama; Waktu untuk melakukan aktivitas ibadah (secara umum).
Kedua: Waktu untuk bekerja dan melakukan aktifitas keseharian,
dan Ketiga; waktu untuk istirahat.
Meski sebenarnya ketiga-tiganya bisa bernilai ibadah dihadapan Allah SWT apabila dalam pelaksanaanya diniati Lillah semata-mata niat mengabdikan diri kepada Allah. Taqarruban ilallah. dan itulah sebaik-baik waktu. Sebagaimana dikatakan dalam kitab Al Hikam:
    ”Sebaik-baik waktu dalam hidupmu adalah ketika kamu dalam keadaan sadar kepada Allah, merasa dan mengakui kebutuhanmu serta kembali kepada adanya kerendahan dirimu.”


Nah, jika kita tidak ingin menjadi buruan nafsu dan syetan, mari kita gunakan waktu-waktu kita untuk taqarruban ilallah wa Rasulihi SAW. Allahu a’lam.