Rabu, 04 Agustus 2010

Jangan Sembunyikan Yang Hak

“Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 42)

Ayat di atas memberikan kaidah penting dalam cara ke Islaman yang kaffah (sempurna) dan kholish (murni). Pada ungkapan WALAA TAL BISUUL HAQQA BILBAATHIL (dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil mengandung petunjuk  agar kita semua kaum muslimin menghindari bid’ah dholaalah (kreasi yang sesat) dalam beragama. Sehingga dengan demikian, kita melaksanakan Islam secara lurus dan murni serta terhindar dari kesesatan.

Pencampuran Islam dengan kesesatan  ini di dalam istilah Islam dinamakan bid’ah. Nah, dalam kaitan dengan bid’ah, maka kata bid’ah ini secara bahasa berasal dari kata bada’a yang berarti menciptakan  sesuatu tanpa contoh sebelumnya.

Dari sudut bahasa, maka seluruh kreasi manusia, baik dalam lingkup keagamaan ataupun dalam lingkup keduniawian dinamakan bid’ah. Dari sudut pandang bahasa inilah, maka Amirul Mukminin Umar bin Khatthab RA mengomentari shalat tarawih berjama’ah, “sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Riwayat Bukhari dan Malik). Dari sudut pandang bahasa ini pulalah, maka Imam Asy Syafi’i rahimahullah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah ghoiru madzmumah (kreasi yang tidak tercela), yaitu kreasi yang tidak menyalahi Al Qur’an dan Sunnah dan bid’ah dholaalah (kreasi sesat), yaitu kreasi yang menyalahi (Manaqib Al Imam Asy Syafi’I juz I hal. 469). Dari sudut pandang ini pulalah, maka para huffadz, seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al Hafidz Ibnul Atsir, Al Hafidz Ibnu Hajar dan lain-lain membagi bid’ah menjadi dua, yaitu kreasi baik (bid’ah hasanah) dan kreasi tercela (bid’ah sayyi’ah). Yang menjadi masalah adalah pengertian bid’ah secara syar’i. Ketika Rasulullah SAW bersabda:
    ”Setiap bid’ah sesat.” (HR. Muslim),
maka apakah maksud bid’ah dari ungkapan disini?


Ada perbedaan di kalangan manusia dalam memaknai bid’ah secara syar’i yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
    Kelompok pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa bid’ah adalah semua kreasi baru tanpa memperdulikan aspek-aspek  duniawi atau keagamaan. Kelompok ini diwakili oleh salah seorang tokoh Saudi, Al Utsaimin (Al Ibda’ fi kamalisy syar’i hal. 13). Jika kita mengikuti kaidah kelompok pertama ini, maka seluruh kreasi manusia yang tidak ada di masa Rasulullah SAW adalah sesat dan masuk neraka. Sehingga dengan demikian, manusia tidak boleh menggunakan misalnya telephon, mobil, hp, internet dan lain-lain.

    Kelompok kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa bid’ah semua amalan yang tidak pernah dilakukan, diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam bidang keagamaan. Pengertian ini seringkali dikemukakan oleh pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi). Berdasarkan pengertian kelompok kedua ini, maka semua kreasi doa (seperti hizb Nawawi, Hizb Barqi), semua kreasi shalawat (seperti Shalawat Nariyah, Munjiyat, Shalawat Barzanji, termasuk shalawat Wahidiyah, dll) adalah bid’ah, sesat dan tertolak.

    Kelompok ketiga adalah  mereka yang mengatakan bahwa bid’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’. Maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Di antara penganut tafsir ini adalah Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah (Manaqib Al Imam Asy Syafi’i juz I hal 469) dan para hufadz hadits.

    Dari ketiga pendapat tersebut maka jika kita memilih pendapat pertama, nampaknya mustahil dan hal ini bertentangan dengan kenyataan dalam sejarah. Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW banyak melakukan hal-hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Seperti penggunaan nama Amirul Mukminin pada Khalifah, pelaksanaan tarawih berjama’ah secara terus menerus (pada masa Rasulullah SAW pernah berjama’ah tapi kemudian sendiri-sendiri), pembukuan Al Qur’an dan lain-lain.

    Jika kita mengikuti kelompok kedua, maka kita pun akan menemui beberapa kontradiksi dengan kenyataan pada masa Rasulullah SAW maupun para sahabat. Jika kita mengatakan bahwa bila sesuatu itu baik, pastilah Rasulullah SAW akan paling dahulu melakukanya. Namun ternyata hal ini tidak sesuai dengan realita dalam kehidupan para sahabat dan tabi’in. berikut ini beberapa contoh:
      1. Dalam kasus pembukuan Al Qur’an menjadi satu buku, ini baru dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.
      2. Penunggalan kondifkasi model Al Qur’an baru dilakukan dimasa Amirul Mukminin Utsman RA.
      3. Dalam kasus pembacaan qunut, Umar bin Khaththab RA memilki doa qunut tersendiri yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Al Adzkar An Nawawi hal 49).
      4. Dalam masalah doa, seorang tabi’in Imam Ali Zainal bin Husain bin Ali bin Abi Thalib RA mengarang rangkaian doa yang kemudian diberi nama Ash Shahifah As Sajadiyyah.


Menurut saya, kelompok ketiga yang mengatakan bahwa bid’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’. Tetapi jika hal baru tersebut masih bisa dikembalikan kepada dasar Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaskudkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas: KULLU BID’ATTHUNN DHALAALAH (setiap bid’ah adalah sesat). Ini lebih sesuai dengan realita dalam perjalanan sejarah Islam maupun kandungan hadits.
    ”Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Abu Dawud),
justru menguatkan bolehnya berkreasi menyusun doa, shalawat dan kalimat-kalimat baik lainya. Karena hadits ini memiliki beberapa kandungan makna (mafhum) sebagai berikut:

    1. Bahwa dalam hadits tersebut, ada perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus).
    2. Perkara ini tertolak perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus ) ini tertolak. Point 1 dan 2 ini disebut mafhum manthuq pemahaman eksplisit).
    3. Secara terisrat (implisit/ mafhum), ketika Rasulullah SAW menyatakan bahwa ada perkara baru dalam agama yang tidak berasal dari agama, hal ini mengisyaratkan adanya perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar dari agama, baik secara umum maupun khusus). Berbeda jika redaksi hadits itu berbunyi “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara ini, maka ia tertolak.” Jika redaksi hadits demikian, maka seluruh kreasi baru secara mutlak ditolak. Tapi nyatanya dalam hadits di atas ungkapan, ”…hal-hal baru dalam perkara kami” masih disifati dengan ungkapan ”yang tidak berasal darinya”. Sehingga dengan demikian, ungkapan ini mengharuskan adanya hal-hal baru yang berasal dari agama.
    4. Perkara pada poin no. 3, yaitu perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang memiliki dasar dari agama baik secara umum maupun khusus) tersebut secara otomatis tidak tertolak oleh cakupan hadits di atas. Karena penolakan hadits hanya pada perkara baru yang tidak ada dasarnya dari agama. Poin 3 ini disebut dengan mafhum mukhalafah (pemahaman implisit). Inilah yang kemudian mendasari munculnya berbagai redaksi doa, shalawat atau bacaan-bacaan lain dari para sahabat maupun tabi’in.


Karena itulah, sangat bijaksana ketika Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
    ”Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena udzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali belum diketahui oleh mereka.” (Itqaan Shin’ah fi tahqiiqi ma’na bid’ah hal. 5).


Pemahaman ini pulalah yang kemudian memunculkan istilah bahasa (bukan istilah syara’) bid’ah hasanah. Istilah bid’ah hasanah ini bukan berarti merupakan kontradiksi dari hadits ”kullubid’ah dholaalah”. Karena bid’ah dalam hadits “kullu bid’ah dholaalah” adalah bid’ah syar’i, sedangkan bid’ah hasanah yang diungkapkan oleh para huffadz merujuk pada istilah kebahasaan dengan pengertian;
    ”Sesuatu yang tidak dilakukan/ dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun berada dalam keumuman atau kekhususan sebuah dalil.”
Allahu a’lam