Jumat, 09 Juli 2010

Bagaimana berendah hati?

Salah satu hal yang penting agar seseorang menjadi tawadhu’ atau rendah hati adalah mengetahui hakikat kerendah hatian tersebut. Rendah hati adalah sikap seseorang yang memandang dirinya lebih rendah dari orang lain. Kemudian sikap hati ini memancar dalam perilaku lahiriah seseorang yang menjadikan ia menghargai orang lain dan memandang orang lain dengan pandangan yang positif. Dan sebaliknya, ia memandang dirinya dengan pandangan yang harap-harap cemas. Adakah dirinya manusia yang diridhai Allah ataukah orang yang di murkai-Nya.

Dalam Islam, kerendah hatian di bagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan interaksi masing-masing pribadi dengan pihak di luar dirinya. Bagian tersebut adalah tawadhu’ terhadap Allah, tawadhu’ terhadap Rasul, tawadhu’ terhadap manusia dan tawadhu’ terhadap makhluk-makluk selain manusia.

TAWADHU’ KEPADA  ALLAH

Tawadhu’ kepada Allah berpangkal dari satu keyakinan bahwa Allah adalah pemilik dan Penguasa Tunggal alam semesta. Ia Maha Sempurna, Maha Indah, Maha Bijaksana dan memilki segala sifat Kesempurnaan lainya. Karena itulah, manusia berendah hati kepada Allah dengan bebarapa cara:

    Pertama; adalah dengan melihat Allah dengan penuh pengagungan, kecintaan dan memuliakan. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai sosok yang bodoh, lemah, sangat tergantung dan memerlukan pertolongan dan bantuan Allah SWT. Karena itulah, pada tawadhu’ ini manusia akan selalu memuji, mengagungkan dan menghamba secara total kepada Allah SWT.

    Kedua; adalah tawadhu’ fil hukmi (tawadhu’ berkaitan dengan hukum Allah). Pada tataran ini manusia memandang bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Pengetahuan dan kebijaksanaan Allah SWT sangatlah mutlak dan tidak bisa sedikitpun  dibandingkan dengan makhluk-Nya. Bahkan seluruh makhluk Allah bersatu, baik manusia, jin, malaikat atau makhluk-makhluk lain, tiada bisa dibandingkan kebijaksanaan dan pengetahuan mereka dengan kebijaksanaan dan Pengetahuan Allah SWT.

    Dari sikap dasar di atas, kemudian manusia merendah kepada Allah dengan menaati hukum –hukum Allah secara total. Tak ada sedikitpun di dalam benaknya keinginan untuk mempertanyakan atau menggugat hukum-hukum Allah. Jadilah ia manusia yang konsekuen dengan aturan Allah dan berupaya untuk menegakkan aturan tersebut di tengah-tengah manusia. Demikian juga dengan ketentuan-ketentuan Allah terhadap dirinya. Ia melihat bahwa apapun ketetapan Allah SWT atas dirinya mestilah sebagai sesuatu yang terbaik. Hingga dari sikap dasar ini, ia akhirnya dapat menerima semua ketentuan dan takdir Allah dengan penuh keridhoan dan kerelaan. Demikianlah, maka akhirnya menyatu pada diri manusia keselarasan antara syariat dan hakikat dalam kehidupanya.

    Ketiga; adalah tawadhu’ fish shifat (tawadhu’ dalam sifat). Tawadhu’ ini adalah dengan cara menghilangkan pandangan seseorang bahwa dirinya memiliki sifat-sifat yang mulia secara mandiri. Sebaliknya, ia melihat bahwa sifat kebaikan yang dimilkinya semata-mata karunia Allah (Billah). Bukan miliknya yang mandiri. Ia juga melihat sifat-sifat dasar dirinya adalah sangat rendah. Sebagai manusia, maka ia sangat tergantung dengan sifat kasih sayang Allah, maka ia bisa saja bersifat buruk. Seperti pembohong, penipu, kejam dan berbagai sifat buruk lainya bisa menjadi miliknya. Karena itulah, dengan tawadhu’ fish shifat ini maka ia akan semakin menyadari kelemahan dan ketidak-berdayaan.

    Keempat; adalah tawadhu’ fil fi’li (kerendah-hatian dalam perbuatan). Tawadhu’ ini dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak memilki kekuatan apapun untuk melakukan sesuatu kecuali dengan pertolongan Allah (billah). Ia melihat dirinya sebagai makhluk yang lemah tiada daya. Semua kekuatan yang ada padanya semata-mata karena pertolongan Allah SWT.

    Kelima; adalah tawadhu’ fil wujud (tawadhu’ dalam memandang wujud). Ini adalah tawadhu’nya para Nabi dan arifin. Mereka memandang bahwa Allah adalah Pemilik Tunggal Wujud. Sehingga dari pandangan ini, maka mereka tidak pernah memandang ada wujud lain selain Allah SWT. Dalam setiap waktu dan kesempatan, mereka hanya memandang wujud Allah tanpa melihat lagi kepada wujud selain-Nya.


TAWADHU’ KEPADA RASULULLAH SAW

Tawadhu’ kepada Rasulullah SAW adalah hal yang penting di dalam Islam. Karena Rasulullah SAW adalah sosok yang diangkat oleh Allah sebagai wakil-Nya sebagai penguasa dunia. Berendah hati kepada Rasulullah SAW berarti juga berendah hati kepada Allah SWT. Sebaliknya, takkabur dan tidak menjaga adab kepada Rasulullah SAW berarti juga takabbur dan tidak menjaga adab kepada Allah SWT.

Tawadhu’ kepada Rasulullah SAW ini dapat dilakukan dengan beberapa hal:

    Pertama; adalah dengan meyakini kedudukan beliau sebagaimana Allah jelaskan dalam Al Qur’an serta bersikap terhadap beliau secara layak sesuai dengan kedudukan tersebut serta disisi lain memandang dirinya dengan penuh kehinaan, apalagi dibandingkan dengan kedudukan Rasulullah SAW. Allah SWT menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah utusan beliau yang paling mulia dan terakhir. Hal ini sebagaimana firman Allah:

      Muhammad bukanlah ayah salah seorang laki-laki di antara kalian. Tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40).


    Berendah hati kepada beliau juga dengan meyakini dan bersikap yang layak terhadap kedudukan Rasulullah SAW sebagai orang yang paling mulia akhlaknya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

      ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang terpuji.” (QS. Al Qalam: 4)


    Beliau juga seorang pemimpin seluruh manusia, khususnya di akhirat nanti. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

      ”Aku adalah pemimpin anak Adam, dan tidak membanggakan diri.” (HR. Bukhari)


    Sementara disisi lain Allah dalam Al Qur’an mensifati manusia biasa pada umumnya, termasuk kita sebagai makhluk yang aniaya, tergesa-gesa, dzalim dan sombong. Hal ini sebagaimana firman Allah:

      ”Sekali-kali janganlah (disangkal nikmat Allah itu). Sesungguhnya manusia amatlah durhaka. Karena ia telah melihat dirinya kaya raya.” (QS. Al ‘Alaq: 5 6).

      “Sesungguhnya manusia dijadikan sifat berkeluh kesah. Apabila ditimpa kejahatan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (harta), ia enggan (bersedekah).” (QS. Al Ma’arij: 19 21).

      ”Sesungguhnya manusia itu bersifat aniaya lagi jahil.” (QS. Al Ahzab: 72).


    Jika orang menyadari kenyataan ini, maka ia akan merendahkan dirinya, khususnya kepada Rasulullah SAW.

    Kedua; adalah dengan meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah manusia suci yang terjaga dari kesalahan (ma’shum). Sedangkan kita sebagai manusia bukan hanya bisa melakukan kesalahan, namun pelanggan tetap dari kesalahan. Dengan cara pandang seperti ini, maka orang akan memandang ajaran-ajaran dan bimbingan Rasulullah SAW sebagai sesuatu yang berharga bagi hidup dan keselamatanya.

    Kebalikanya adalah sikap takabbur kepada Rasulullah SAW. Hal ini dilakukan antara lain dengan “mencurigai” ajaran-ajaran beliau sebagai ajaran yang tidak relevan dengan kemajuan zaman. Atau meragukan peran dan kemampuan ajaran Rasulullah SAW dalam membawa manusia menuju kebahagiaan. Atau memandang ajaran Rasulullah SAW sebagai sesuatu yang tidak lengkap, sesuatu yang perlu dikritik atau direvisi.

    Ketiga; adalah dengan menghayati jasa-jasa Rasulullah SAW bagi kebahagiaan manusia. Betapa beliau telah membebaskan manusia dari era penindasan menuju keadilan hingga pola ini menjadi model kehidupan manusia hingga saat ini. Sementara disisi lain ia memandang dirinya sebagai orang yang dzalim, khianat terhadap masyarakat serta memilki banyak tanggungan atas umat di hari kiamat nanti. Hingga dengan demikian, ia akan lebih berhati-hati dalam perilaku sehari-hari dengan lingkungan dan masyarakatnya.


TAWADHU’ DENGAN MANUSIA PADA UMUMNYA

Tawadhu’ atau rendah hati dengan manusia pada umunya, mungkin tidak begitu sulit untuk diketahui caranya. Misalnya jika terhadap orang tua, maka seseorang meyakini bahwa orang tersebut dengan banyaknya usia sudah tentu lebih banyak pula ibadahnya daripada dirinya. Sehingga dengan demikian seseorang akan menghargai orang lain yang lebih tua tersebut. Jika bertemu dengan orang yang lebih muda, maka ia meyakini bahwa orang tersebut lebih sedikit  maksiatnya daripada dirinya dengan kemudaan usianya. Dengan demikian ia pun akan semakin menghormati anak muda tersebut.

Terhadap seorang ulama, kita meyakini bahwa amal dan ilmunya ulama tersebut sangat jauh lebih banyak daripada amal dan ilmu kita. Sementara di sisi lain kita merasa bahwa dosa dan kelalaian kita jauh lebih banyak. Demikian seterusnya, seorang yang tawadhu’ akan selalu menempatkan dirinya lebih rendah daripada orang lain. Bahkan lebih dari itu, ia merasa bahwa tiada satupun kebaikan yang dimiilkinya yang pantas untuk dia banggakan. Hingga seorang sufi berkata, ”Siapa yang masih merasa memilki kebaikan, maka ia tidak mendapatkan bagian dari kerendah-hatian.” Pada bagian lain, Imam Asy Syibili berkata, ”Sesungguhnya kerendah-hatian menjadikan aku tidak bisa melihat aib yang ada pada orang Yahudi.”

Yang menjadi masalah sekarang adalahbagaimana tawadhu’ terhadap orang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan, sementara kita sedang melakukan ketaatan? Kemudian, apakah sikap tawadhu’ tersebut kemudian menghalangi seseorang untuk beramar ma’ruf nahi munkar?

Terhadap masalah di atas, Al Ghazali mengatakan bahwa tawadhu’ terhadap orang yang jelas-jelas melakukan kemaksiatan tetap menjadi keharusan. Namun bentuknya berbeda dengan tawadhu’ terhadap para alim ulama atau terhadap orang tua. Secara lahiriah, menurut Al Ghazali, seseorang harus tetap menunjukkan ketegasanya dalam mensikapi terhadap kemaksiatan. Namun dalam hati, seseorang harus tetap berendah hati. Hal ini dilakukan dengan mempertanyakan pada diri sendiri bahwa adakah jaminan bagi kita yang melakukan ketaatan untuk beristiqomah dengan ketaatan tersebut? Betapa banyaknya orang yang melakukan ketaatan kemudian tergelincir dari jalan yang benar. Bahkan ia meninggal dengan tanpa iman (na’udzu billah).

Sebaliknya, terhadap pelaku kemaksiatan seorang yang rendah hati tetap berkhusnudhon bahwa suatu saat bisa jadi orang tersebut akan kembali kepada ketaatan. Bahkan ia akan mengakhiri hidupnya dengan iman dan kebaikan. Betapa banyaknya hal ini terjadi dalam kehidupan manusia. Walaupun secara lahiriyah seseorang harus bersikap tegas terhadap kemaksiatan yang dilakukanya. Akhirnya, sesungguhnya kemuliaan sejati adalah saat kita mati dalam keadaan iman dan Islam, kemudian kita bebas dari siksa kubur dan seterusnya masuk syurga Allah tanpa merasakan siksa neraka. Namun siapakah yang memastikan bahwa kita mendapat anugerah kemuliaan tersebut?

Karena itulah, sangat tidak patut jika keadaan kita yang belum pasti akhir hidupnya ini untuk bersombong kepada orang lain. Yang paling tepat bagi kita adalah berendah hati dan terus berendah hati hingga ajal menjemput kita. Marilah kita berdoa agar Allah senantiasa melindungi kita dari segala tipu daya syetan dan kemaksiatan, jika itu terjadi semoga Allah segera memberikan bimbingan dan hidayah-Nya kepada kita semua agar selalu menjadi orang yang berandah hati, Qona’ah dan khusnul khotimah.. Amiin

Wallahu’alam
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar