Jumat, 09 Juli 2010

Tawadhu’; Tangga Emas Menuju Kemuliaan.

Siapa yang ingin menjadi orang hina? Tentu tiada seorangpun ingin menjadi orang hina. Baik hina di dunia maupun di akhirat. Hanya saja setiap orang berbeda dalam dua hal.

 
    Pertama; adalah kemuliaan menurut siapa yang akan di cari. Apakah kemuliaan tersebut menurut Allah, menurut keluarga, menurut masyarakat atau menurut  kelompok tertentu. Misalnya menurut kalangan akademisi atau menurut seniman.

    Yang Kedua; adalah cara memperoleh kemuliaan tersebut. Setiap manusia akan berbeda cara meraih kemuliaan yang ia dambakan berdasarkan perbedaan kemuliaan menurut siapa yang ia cari. Seorang yang ingin mulia di kalangan seniman, maka ia akan meraih dengan cara-cara seorang seniman. Bahkan terkadang ia melakukan hal-hal yang menurut moralitas tidak lazim. Seperti foto telanjang misalnya. Lain lagi dengan mereka yang ingin mulia di kalangan birokrat. Mereka biasanya akan habis-habisan mengejar jabatan dengan berbagai cara. Bisa dengan kemampuan akademis, jaringan pertemanan, bahkan kalau perlu dengan uang. Hal ini banyak terjadi dalam berbagai kesempatan pemilu di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Mereka yang ingin meraih kemuliaan di mata kalangan olah raga pun memiliki cara yang lain lagi. Mereka akan mengejar hasrat meraih kemuliaan tersebut dengan cara olah ragawan pula. Ada yang dengan cara yang legal, seperti giat berlatih, mengikuti berbagai kejuaraan dan bahkan sampai pada tingkat menghalalkan segala cara. Yaitu dengan menggunakan doping atau dengan menyuap wasit misalnya. Dan yang lebih spektakuler adalah mereka yang ingin mulia di hadapan Allah. Ada yang meraihnya dengan banyak amalan, dengan banyak sedekah, dengan banyak berdakwah bahkan hingga dengan mengorbankan nyawa untuk meraih kematian sebagai seorang syuhada’.


TAWADHU’; GERBANG MENUJU KEMULIAAN

Satu hal yang selama ini yang kurang mendapat perhatian banyak manusia, bahkan di kalangan kaum muslimin sekalipun adalah bahwa sikap rendah hati adalah salah satu gerbang utama dan terpenting menuju kemuliaan sejati. Baik di dunia maupun di akhirat. Baik di kalangan manusia maupun di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

    “Barangsiapa yang berendah hati, maka Allah akan mengangkat (kedudukanya). Dan barangsiapa yang sombong (tinggi hati), maka Allah akan merendahkanya.”(Alhadits).


Hadits di atas memang benar adanya. Mereka yang berendah hati dan dengan jujur merasa sebagai manusia yang tidak bernilai sebenarnya adalah orang yang justru memiliki banyak kelebihan. Dan justru kerendah-hatian inilah, maka manusia semakin mencintainya dan memuliakanya.

Sebaliknya, mereka yang sombong sebenarnya adalah manusia yang banyak memiliki kelemahanya. Karena itu, ia akan sangat takut jika kelemahan tersebut akan terbongkar oleh manusia dan akhirnya manusia meremehkanya. Karena itulah, maka ia berusaha menutupi kekuranganya tersebut dengan menunjukan kelebihan-kelebihanya serta merendahkan orang lain. Padahal ia tidak menyadari, bahwa semakin ia memproklamirkan kelebihanya di hadapan manusia, hal tersebut menunjukan bahwa ia tidak percaya diri dengan apa yang ada pada dirinya. Andaikan ia benar-benar mulia, tanpa harus menyombongkan diri di hadapan manusia serta merendahkan manusia lain, orang lain niscaya pasti akan memuliakanya.

TAWADHU’; GERBANG MENGGAPAI PERTOLONGAN ALLAH

Tawadhu’ juga merupakan sarana ampuh agar seorang mendapatkan pertolongan langsung dari Allah SWT. Sebab dengan menyadari kelemahan dirinya, seorang akan berusaha menggapai jalan pertolongan Allah SWT dengan penuh kekhusyu’an. Dan kekhusyu’an di dalam do’a tersebut akan menjadi daya penggedor pintu pertolongan Allah SWT.

Karena itulah, Allah SWT menggambarkan betapa kerendahan hati dapat menarik pertolongan-Nya dengan firman-Nya:

    ”Dan benar-benar menolong kalian di dalam perang badar, sedangkan saat itu kalian dalam keadaan hina (menghinakan diri).”(QS. Al Imran:123).


Bahkan dengan kerendah hatian ini, seseorang akan selalu dalam keikut sertaan Allah SWT. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

    ”Aku bersama dengan mereka yang hatinya hancur (merendah) karena-Ku.”


Kerendah hatian inilah yang menjadikan kaum muslimin pada awal islam menuai kemenangan dalam setiap peperanganya. Seorang Romawi dengan putus asa menggambarkan keadaan kaum muslimin, “mereka itu laksana petapa di malam hari dan singa di siang hari.” Maksudnya laksana petapa di malam  hari adalah bahwa kaum muslimin menghabiskan malamnya dengan merendah (tawadhu’) memohon pertolongan Allah SWT. Sedangkan maksudnya bagai singa di siang hari adalah karena jika kaum muslimin terjun di medan perang, mereka pantang untuk menyerah atau mundur. Mereka hanya punya dua pilihan, menang dan jaya atau mati masuk surga.

Sebaliknya, ketika rasa rendah hati dan merasa membutuhkan pertolongan ini tidak ada. Hal ini sebagaimana terjadi dalam permulaan perang Hunain. Saat itu jumlah pasukan Islam sangat besar, yaitu 12.000 prajurit. Jumlah ini pada saat itu adalah jumlah terbesar yang dimiliki kaum muslimin. Hingga timbul rasa kesombongan pada sebagian anggota pasukan. Akibatnya, pada babak pertama kaum muslimin dikocar-kacir oleh musuh. Walaupun kemudian mereka segera menyadari kesalahanya dan membalik keadaan peperangan.
Dalam hal ini Allah berfirman:

    “Dan Allah benar-benar telah menolong kalian di tempat-tempat yang banyak dan pada hari (perang) Hunain ketika banyaknya jumlah kalian menjadikan kalian bangga. Maka jumlah yang banyak itu tidak menjadikan cukup kalian dan menjadi sempit bumi yang lapang dan kemudian kalian berpaling mundur.” (QS. At Taubah:25).


Demikian juga dengan berbagai kaum sebelum umat ini. Kesombongan telah mengantarkan mereka kepada kehancuran. Dan sebaliknya, kerendah hatian telah mengantarkan kepada mereka menuju gerbang pertolongan Allah SWT.

TAWADHU’; SIMBOL TINGGINYA INTELEKTUALITAS MANUSIA

Kerendah-hatian juga merupakan standar dasar agar manusia layak disebut sebagai orang berilmu. Ketika seseorang berusaha mengenal hakikat dirinya sebagai makhluk, maka yang ia temukan adalah kelemahan dan ketergantungan. Secara fisik manusia sebenarnya tidak lebih dari binatang. Ia makan daging, makan tumbuhan dan buah-buahan. Bahkan sebenarnya, secara fisik andaikan manusia tidak merawat tubuhnya dengan mandi, gosok gigi dan menjaga kebersihan tubuhnya, maka aroma tubuhnya tidak akan lebih wangi dari aroma binatang. Bahkan mungkin lebih tidak sedap lagi. Sementara isi perut manusia pada hakikatnya adalah kotoran dan air seni yang menjijikan. Sedangkan secara ruhani, manusia sangat tergantung dengan hidayah Allah. Apakah ia akan menjadi seperti Fir’aun, Qorun, Namrudz dan Abu jahal. Atau ia akan menjadi orang shalih, waliyullah ataupun seorang Nabi dan Rasul, semua tergantung kepada Allah SWT. Apakah Allah memberinya hidayah atau tidak.

Nah, mereka yang sebagai orang kuat, bersih, hebat dan sempurna hingga ia merendahkan orang lain, sebenarnya adalah orang-orang bodoh dan akalnya tidak berfungsi dengan baik. Bahkan sebenarnya ia adalah manusia yang dirinya sendiri pun tidak mengenal. Bagaimana ia merasa sebagai orang berilmu yang mengenal berbagai rahasia dunia?

Sedangkan mereka yang merasa dirinya penuh dengan kakurangan, dan sangat tergantung kepada Allah SWT itulah orang yang akalnya dapat berfungsi dengan sempurna. Karena itulah, jika seorang meneliti kehidupan para intelektual sejati, yaitu para Nabi, para Malaikat, para Sahabat, para Waliyullah, dan para ulama’ sejati, maka ia akan menemukan bahwa kehidupan mereka penuh dengan kerendah-hatian.

Ketika Allah memberikan ujian kepada malaikat untuk menyebut nama-nama makhluk, maka dengan penuh kerendah-hatian malaikat menjawab:

    ”Mereka menjawab: Maha Suci Engkau, tiada sedikitpun ilmu pada kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al Baqarah: 32).


Ketika Imam Malik Rahimahullah ditanya oleh seseorang dengan sekitar 40 pertanyaan, maka 36 pertanyaan yang ada beliau jawab dengan jawaban “tidak tahu”. Ketika penanya tersebut menanyakan, “Wahai Imam, apa yang aku sampaikan kepada mereka jika Anda menjawab berbagai pertanyaan dengan “tidak tahu”? Maka Imam Malik berkata, “Yah, sampaikan apa adanya. Itu lah aku.” Ketika Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menetapkan sebuah keputusan pemerintah, seorang ibu menginterupsinya dengan memberikan alasan yang kuat. Maka Umar tanpa segan dan  malu mencabut kembali keputusan tersebut. Demikian juga dengan Khalifah Ali KW berada di majelis pengadilan dalam sengketa dengan seorang Yahudi. Sang Hakim yang ilmunya tiada seberapa dibandingkan dengan Khalifah memperlakukan Khalifah sebagaimana umumnya rakyat di pengadilan. Demikianlah,  kecerdasan dan keluasan ilmu membimbing manusia menuju kerendah-hatian.

KERENDAHAN HATI RASULULLAH SAW

Banyak sekali manusia yang mengagumi sosok Rasulullah SAW, baik dari kalangan muslim atau non muslim, baik pada masa lalu hingga saat ini. Beliau seorang pemimpin yang hebat, ditaati banyak orang, memiliki wewenang dan kekuasaan yang besar. Saat Beliau masih hidup, ratusan ribu orang siap untuk menaati perintah Beliau.

Andaikan hal ini terjadi pada orang selain Beliau, bisa jadi orang tersebut akan berubah cara hidupnya. Mungkin ia akan bersikap sombong, menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri atau melakukan berbagai kedzaliman dan pamer kemewahan.

Namun tidaklah demikian dengan Rasulullah SAW. Di tengah kekuasaan yang sangat besar, popularitas yang sangat luas serta dukungan masyarakat yang kuat, beliau justru tampil dengan sangat sederhana dan rendah hati. Rumah Beliau tidak lebih dari sebuah bangunan dengan ukuran yang tidak lebih dari 4x5,5M. Itupun hanya berlantai tanah, tanpa lepa serta beratapkan pelepah kurma. Jika seorang berdiri dan mengangkat tangan, maka tangan tersebut  akan menyentuh atap “istana” Nabi yang Mulia ini. Jika bepergian, seringkali Beliau hanya mengendarai keledai, sebuah kendaraan yang dipandang rendah masyarakat saat itu. Itupun dengan keadaan sambil membonceng orang lain di belakang Beliau. Beliau tidak pernah menolak undangan, walaupun dari seorang budak. Jika dirumah, Beliau juga membantu kesibukan istri-istri Beliau, dan dengan tanpa gengsi menambal baju beliau yang robek atau memperbaiki sandal Beliau yang rusak.

Dalam bergaul dengan para sahabat, beliau selalu bersikap santun dan lembut. Hingga banyak musuh Beliau yang bertekuk lutut menyatakan ketundukan kepada Beliau bukan karena keliatan pedang atau tusukan tombak. Namun karena kerendah-hatian dan kesederhanaan Beliau miliki. Demikianlah, walaupun Beliau hidup dengan segala kemuliaan yang Beliau miliki, baik dihadapan Allah maupun di hadapan manusia, namun hati Beliau semakin merendah dan merendah. Hingga dalam sebuah hadits Beliau bersabda:

    ”Sungguh, aku benar-benar memohon ampun dan bertaubat dalam satu hari sebanyak tujuh puluh kali."(HR. Muslim).


Semua yang beliau lakukan ini bukanya menjadikan Beliau hina. Namun justru menimbulkan kekaguman dan simpati manusia. Semua ini membuktikan bahwa kerendah-hatian bukan menjadikan seseorang hina. Namun sebaliknya, kerendah hatian menjadikan seseorang semakin mulia.

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar