PERJUANGAN WAHIDIYAH
"Sesungguhnya ada sebagian ilmu yang diibaratkan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya kecuali ulama Billah. Apabila mereka mengungkapkan ilmu tersebut, tidak seorangpun yang membantahnya, kecuali orang-orang yang tidak paham tentang Allah."(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi RA)
Shobar atau sabar juga termasuk ibadah batin yang tinggi nilainya dalam pandangan Alloh. Banyak firman-firman Alloh tentang sabar di dalam Al Qur'an antara lain :
Artinya kurang lebih :
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."(39-Az Zumar)"Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan (menjalankan) sholat, sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar." (2- Al Baqoroh.- 153)
Sebaliknya orang yang tidak sabar, yaitu putus asa, menggerutu, gegabah, terburu-buru dan sebagainya, berat sekali akibat yang dideritanya. Malah, diancam oleh Alloh seperti yang disebutkan di dalam Hadits Qudsi:
"AKU Alloh, tiada Tuhan melainkan AKU : barangsiapa tidak bersyukur atas nikmat-nikmat pemberian-Ku dan tidak sabar atas ujian cobaan-Ku dan tidak ridho terhadap kepastian Qodlo'Ku, maka carilah Tuhan selain AKU.
Demikian beratnya kecaman Alloh terhadap orang yang tidak sabar.
Sabar itu pengertian dan prakteknya luas sekali seperti yang disabdakan oleh Rosuululloh SAW. Yang maksudnya kurang lebih sabar itu ada tiga macam :
*>SHOBRUN'ALAL MUSHIIBAH
*>SHOBRUN FIT-THAAT
*>SHOBRUN'ANIL MA'SHIYAH
"SHOBRUN'ALAL MUSHIIBAH"
Sabar, tabah, tahan uji menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup. di uji soal ekonomi, soal kesehatan, soal keluarga, soal pekerjaan dan sebagainya. Sabda Rosuululloh SAW :
"Sabar satu saat atas musibah itu lebih baik daripada ibadah setahun."(Durrotin Alaashihiin 187)
"SHOBRUN FIT-THAAT"
Kuat, tabah, tekun, rajin dan bersungguh-sungguh men-jalankan taat. Tidak menoleh kekanan dan kekiri. tidak terpengaruh sekalipun bagaimana rintangan dan gangguanya.
"SHOBRUN'ANIL MA'SHIYAH"
Kuat menahan diri dari maksiat. betapapun pengaruh dan rayuan maksiat, dia tidak terpengaruh sedikitpun. Tetap menjauhkan dan menahan atau menghindarkan diri dari maksiat. sekalipun ada tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman yang di tujukan kepadanya, dia tidak gentar dan tidak takut, tetap menahan diri dari maksiat.
Didalam prakteknya sabar harus gandeng dengan tawakal. Disamping harus tawakal, pasrah, sumeleh, nyerah bongkokkan kepada Alloh Ta'ala. Sabar tanpa tawakal adalah sabar imitasi, sabar palsu. Dengan sendirinya salah guna dan ada pamrih di balik sabarnya itu. "Sudah tidak kurang-kurang saya menyadarkan diri, akan tetapi yah, keadaan masih begini saja" Ini bukan sabar, tapi malah menggerutu tidak sabar atas yang dialaminya. "Carilah Tuhan selain AKU'. sabda hadits Qudsi dimuka. Definisi tawakal antara lain disebutkan
"Tawakal yaitu ibarat dari bersandarnya hati kepada wakil satu-satunya ." (Al-Ihya'Ulumiddin IV.- 323)
Jadi tawakal adalah perbuatan atau sikap batin dan termasuk ibadah batin yang di perintahkan Alloh. Banyak sekali Ayat-ayat didalam Al Qur'an tentang tawakal antara lain :
"Dan barangsiapa tawakal kepada Alloh maka Allohlah yang mencukupkan(keperluan)nya." (65-At-Tholaq)
Orang yang tidak tawakal pasti mengandalkan selain Alloh. Mengandalkan kepandaianya, mengandalkan semangatnya, mengandalkan usahanya, mengandalkan perjuanganya, mengandalkan jasa-jasanya, mengandalkan taat dan ibadahnya, mengandalkan kekuatanya, mengandalkan sabarnya dan sebagainya yang smua itu adalah merupakan tandingan terhadap kekuasan Alloh. Orang sperti itu terjebak kedalam syirik khofi tetapi tidak merasa dan tidak menyadarinya. Baru besok di akherat merasakan akibatnya dan penyesalanya.
Disamping sabar dan tawakal ada lagi kewajiban yang harus diisi. Yaitu ikhtiar. Ikhtiar atau usaha mencari keadaan yang lebih baik. misalnya orang sakit, disamping harus sabar dan tawakal atas derita yang dialaminya, berkewajiban usaha mencari kesembuhan. Mencari jamu atau obat kepada dokter dan lain-lain. akan tetapi harus dijaga, didalam ikhtiar itu jangan sampai mengandalkan ikhtiarnya. Sekalipun udah ikhtiar harus tetap sabar dan tawakal. Sebab, jika mengandalkan usahanya, mengandalkan jamu atau obat atau dokter, dengan sendirinya tawakalnya menjadi hilang, sabarnyapun juga hilang pula. Orang yang mengandalkan usahanya, jika usahanya tidak berhasil lalu nggersulo, menggerutu atau putus asa. dan jika usahanya berhasil, merasa bangga, sombong dan congkak dan makin berlarut larut. makin jauh dari Alloh, sudah jelas.
Jadi sabar tawakal dan ikhtiar harus gandeng jadi satu. Hanya sabar dan tawakkal saja, tidak ikhtiar, padahal ada kemampuan dan kondisi mengijinkan, akan terjadi salah guna. Salah pengetrapan. lalu menjadi orang lumuh, pemalas. Lumuh bermalas-malasan itu menjadi makanan nafsu. lalu mengandalkan tawakalnya, mengandalkan sabarnya, supaya dikatakan orang lain dia orang yang paling sabar paling tawakal dan sebagainya. jelas-jelas tertipu oleh bujukan nafsunya. Begitu juga hanya ikhtiar tanpa tawakal, akan menyeret kepada kesesatan.
Jadi sekali lagi sabar, tawakal dan ikhtiar diisi semuanya dan harus dijiwai LILLAH BILLAH. seperti halnya ikhlas, "as-shobru tarkus-shobri fis shobri" Yakni BILLAH. Tidak dapat sabar sendiri. Begitu juga tawakal begitu juga ikhtiar, harus BILLAH. sabar itu menjadi kuncinya keslamatan menjadi genter (galah) penyenggek (untuk meraih) bermacam-macam pertolongan, taufiq, hidayah dan perlindungan Alloh SWT. Bersabda Rosuululloh SAW :
"Barangsiapa diberi kemudian bersyukur, di uji sabar, di dholimi memaafkan, berbuat dholim lalu minta maaf,....... Rasuluulloh SAW. berdiam sejenak kemudian bersabda lagi : mereka itulah orang yang aman dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Riwayat Tobroni dan Baihaqi dari Sahbaroh)
Sabda Rasuululloh SAW lagi:
"Sesungguhnya paling besarnya balasan Alloh itu disertai dengan besarnya balak/ujian. Dan sesungguhnya apabila Alloh Ta'ala mencintai seseorang hamba, Alloh mengujinya lebih dahulu, jika sabar maka Alloh memilihnya dan jika ridlo, disayanginya." (Durotun- Naashihiin)
Kata-kata orang kuno cocok dengan hadits ini."Wong sabar kasihane Alloh" (Orang sabar itu kekasih Alloh). Maka barangsiapa ingin dikasihi dan dicintai Alloh, harus sabar dan ridlo. Dikatakan bahwa "shoobir" orang yang sabar itu lebih utama pada "syaakir" orang yang bersyukur. sebab terhadap, "syaakir" Alloh menjanjikan "lazzidannakum" yakni kelipatan tambahan nikmat, sedang terhadap "shoobir" Alloh menjanjikan "Innalloha ma'ash-shobirlin" Alloh menyertai orang orang sabar. Waaloohu'alam..
Ali bin Abi Tholib KW menjelaskan bahwa satu diantara lima muatan takwa adalah khaufu minal jalil(takut kepada Alloh Yang Maha Mulia). Dan ini sejalan dengan Al Qur'an dan Hadts Nabi.
Khauf(Rasa takut) Kepada Alloh mempunyai banyak keutamaan. Diantaranya:
Pertama: khauf merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Ini di tegaskan Alloh dalam firman-Nya:
"Maka janganlah kalian takut oleh mereka dan takutlah hanya kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman." (QS. Al Imran: 175).
Ayat ini menjadikan rasa takut kepada Alloh sebagai syarat kebenaran iman seseorang.
Kedua: orang yang benar-benar takut kepada Alloh akan mendapatkan kecintaan-Nya. Sebagaimana sabda Rosululloh SAW. "Tiada sesuatu yang lebih Alloh cintai daripada dua tetesan dan dua 'bekas'. Yakni tetesan air mata yang jatuh karena takut kepada Alloh dan tetesan darah yang mengalir dalam jihad di jalan Alloh. Adapun dua bekas; adalah bekas jihad di jalan Alloh dan bekas melaksanakan salah satu kewajiban Alloh SWT." (Hadits hasan riwayat At Tirmidzi dari Ali Umamah). Hadits ini menegaskan bahwa Alloh SWT mencintai orang-orang yang menangis, tobat dan menyesali dosa karena takut kepada-Nya.
Ketiga: Alloh SWT akan menjauhkan orang yang takut kepada-Nya dari api neraka. Sebagaimana dijelaskan Rosululloh SAW dalam sabdanya, "Ada dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka. Yaitu mata yang menangis karena takut kepada Alloh, dan mata yang melewati malam dalam berjaga semata-mata jihad fi sabilillah(mencari keridhaan Alloh)." (HR. Tirmidzi)
Dalam haditsnya yang lain Nabi bersabda, "Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Alloh sebelum ada air susu yang masuk kembali pada teteknya..." (Hadits dikeluarkan oleh Ar Rafi'i dari Anas)
Takut adalah amalan hati. Ia muncul bukan secara tiba-tiba. Dan sangat sulit jika kemunculanya karena dipaksakan. Lalu bagaimana mewujudkan rasa takut kepada Alloh itu dalam amal nyata keseharian?
Takut kepada Alloh adalah buah dari iman. Maka untuk menumbuhkanya adalah:
Pertama; dengan meningkatkan iman kepada-Nya. Barangsiapa yang benar-benar iman (bidz-dzauq), percaya bahwa Alloh itu Maha Kuasa, Perkasa, Maha Besar dan Maha segalanya. Ia akan menyadari betapa kerdilnya dirinya, betapa lemahnya ia, betapa tidak berdayanya dia dibandingkan Kemaha-Kuasaan dan keperkasaan Alloh.
Kedua: Fafirruu Ilalloh; Larilah menuju kepada Alloh(QS. Adz-Dzariyat: 50). Ayat ini di pertegas dengan sabda Nabi SAW, "Barangsiapa merasa takut, ia pasti berjalan(tidak tinggal diam) dimalam hari (sekalipun). Dan barangsiapa berjalan, ia pasti akan sampai kerumahnya. Ingatlah bahwa barang dagangan (milik) Alloh SWT itu mahal. Ingatlah bahwa barang dagangan (milik) Alloh SWT adalah surga." kita harus lari mendekati-Nya(taqorub ilalloh). Semakin didekati, Alloh semakin cinta. dan semakin cepat seseorang lari menuju Alloh, smakin cepat pula Alloh menghampiri orang tersebut.
Ketiga: Mujahadah, mengendalikan hawa nafsu. Dalam Qur'an surat An Nazi'at ayat 40 Alloh SWT berfirman, "Adapun orang yang takut akan kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka surga adalah tempat kembalinya." Ayat ini mengisyaratkan bahwa takut kepada Alloh tidak bisa lepas dari pengendalian diri dari segala kehendak nafsu. bahkan kita harus selalu curiga, hati-hati dan waspada terhadap tipu daya nafsu. Sebab nafsu itu sangatlah halus. Bentuknya, tidak hanya jelas-jelas dalam perilaku yang jelek, tetapi bisa jadi amal-amal yang tampaknya baik sekalipun; seperti sholat, puasa, dan mujahadah itu sendiri, adalah bukan tidak mungkin hanyalah mengikuti nafsu belaka.
Mengapa ? karena dalam takut kepada Alloh ada keberanian menegakkan kebenaran, keadilan dan kejujuran; ada semangat mengenyahkan kezhaliman; ada kasih sayang dan pembelaan terhadap orang-orang yang lemah; dan ada rasa percaya diri kala berhadapan dengan tirani dan angkara murka. Waallohu a'lam(Hs)
Ikhlas artinya adalah "murni" tidak ada campuran sedikitpun. maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun. baik pamrih ukhrowi lebih-lebih pamrih duniawi, baik pamrih yang bersifat moril/ bathin lebih-lebih pamrih dalam bentuk material. Ibadah apa saja, baik ibadah yang berhubungan langsung kepada Alloh wa Rosulihi SAW. maupun yang berhubung didalam kehidupan masyarakat, terhadap sesama makhluk pada umumnya.
Ikhlas itu di kategorikan kedalam tiga tingkatan;
-IKHLAASHUL-'AABIDIN
-IKHLAASHUL-ZAAHIDDIN
-IKHLAASHUL-'AARIFIN
"IKHLAASHUL-'AABIDIN"
Yaitu ikhlasnya golongan ahli ibadah. menjalankan ibadah dengan mengharap imbalaln pahala surga, takut neraka dan sebagainya. Ibadah memang bersemangat, tekun dan rajin akan tetapi di dorong oleh keinginan-keinginan pamrih itu tadi. Ya sudah ikhlas tapi minta upah. seandinya Alloh tidak menjadikan surga dan neraka, lalu apakah lagi yang diharapkan dan yang menjadi pendorong semangat ibadah. apakah lalu tidak melaksanakan ibadah, atau menjadi malas?. Disinilah negatifnya. Bahkan disamping negatif itu ada negatif lain yang lebih berat. Yaitu perasaan dan pengakuan diri mempunyai kemampuan dapat melakukan ibadah. dengan demikian pasti timbul 'ujub, riya', takabur dan sebagainya. dan ujub, riya' takabur dan sebagainya itu adalah pertingkah hati yang merusak nilai-nilai ibadah sehingga ibadah tersebut ditolak, tidak di terima Alloh SWT. Jangankan mendapat pahalanya, diterima saja tidak. Rugi besar. bahkan disamping ditolak, ibadah yang tertolak itu kelak di akherat dirupakan siksa untuk menyiksa yang bersangkutan. mari kita koreksi keikhlasan diri kita selama ini, dan mari kita tingkatkan kepada ikhlas yang lebih mulus lebih murni karena Alloh SWT.
"IKHLAASHUL-ZAAHIDDIN"
Yaitu ikhlas orang-orang ahli zuhud (orang yang bertapa). Ada yang menyebut "IKHLAASHUL MUHIBBIN" yakni ikhlasnya orang-orang ahli Mahabbah. Yaitu menjalankan amal ibadah dengan ikhlas tanpa pamrih, tidak karena ingin surga dan tidak karena takut neraka. sudah benar-benar LILLAH, semata-mata "ibtghoo-an wajhalloh"= mengharap keridhoan Alloh. ikhlas seperti itu ya sudah baik, akan tetapi masih ada bahayanya. yaitu masih mengaku atau merasa mempunyai kemampuan dapat melakukan ibadah sendiri. Tidak merasa BILLAH. Pengakuan seperti itu sangat berbahaya sebab otomatis didalam hatinya lalu tumbuh cendawan-cendawan 'ujub, riya' takabur dan lain-lain yang merusak ibadah sehingga ibadahnya ditolak tidak diterima oleh Alloh SWT, sedangkan ia tidak merasa, bahkan mengaku ibadahnya sudah baik, paling ikhlas, paling mulus semata-mata karena Alloh!.
Maka ikhlas seperti itu harus ditingkatkan menjadi ikhlas ketiga yaitu :
"IKHLAASHUL-'AARIFIN"
Mengerjakan ibadah semata-mata menjalankan perintah Alloh, tidak karena menengok pahala atau surga dan takut neraka. Betul-betul ikhlas LILLAAHI TA'ALA tanpa pamrih suatu apapun dan didalam menjalankan ibadah itu dia tidk mengaku dan tidak merasa dapat mlakukanya sendiri. melainkan merasa BILLAH. Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah. Inilah yang dimaksud kata-kata :
"Yang dinamakan ikhlas yang benar yaitu tidak merasa ikhlas (meninggalkan ikhlas) didalam keadaan ikhlas.” "Meninggalkan ikhlas" artinya tidak merasa dirinya bisa berbuat ikhlas, melainkan merasa BILLAH. "Dalam keadaan ikhlas" artinya sungguh-sungguh LILLAH, tidak karena ingin surga atau takut neraka.
Dalil Al Qur’an yang menyebutkan keharusan ikhlas antara lain:
“Sesungguhnya KAMI menurunkan kepadamu kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah(beribadahlah) kepada Alloh dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepad-Nya.”(29-Az-Zumar: 3)
“Pada hal mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka menyembah beribadah kepada Alloh dengan memurnikan ketaatan ikhlas kepada-Nya.”(98-Al Bayyinnah 5).
Bersabda Rosululloh SAW :
“Berbahagialah orang-orang yang (beramal dengan) ikhlas, mereka adalah lampu-lampu petunjuk yang segala fitnah yang diserupakan dengan kegelapan menjadi kelihatan jelas dari (karena) mereka” (Riwayat Abu Nu’em Tsauban).
Ikhlas itu besar sekali pengaruhnya kepada manfaat tidaknya amal-amal ibadah atau perbuatan-perbuatan apa saja. Disebutkan di dalam Kitab Al Hikam :
“Amal-amal ibadah itu (hanya) sebagai gambar hidup yang berdiri, dan jiwanya adalah wujudnya rahasia ikhlas didalam amal-amal ibadah itu.” (Al Hikam I: 11)
Kesimpulanya, amal-amal ibadah apa saja jika tidak dijiwai dengan ikhlas berarti tidak hidup, mati bagaikan bangkai tidak membawa manfaat sama sekali. Malah, maaf menjijikan seperti bangkai dan harus segera di kubur. Syeh Sahal At-Tustari berkata:
(Semua manusia akan Hancur, kecuali yang berilmu : dan yang berilmu juga hancur kecuali yang mengamalkan ilmunya: yang berilmu dan sudah mengamalkan ilmunya juga akan hancur, kecuali yang ikhlas di dalam beramal itu dan yang sudah ikhlas pun masih dalam teka-teki besar)
Masih teka-teki maksudnya masih tanda Tanya, termasuk ikhlas yang mana diantara tiga tingkatan ikhlas tersebut di muka. Wallohu’alam…
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan Allah yang lain. Banyak kelebihan yang dimiliki manusia dari pada makhluk lain. Baik kelebihan fisik dan non fisik. Yang paling agung kelebihan itu Adalah Allah menciptakan manusia dengan hati sebagai motor penggerak dan akal sebagai dewan pertimbangan untuk melakukan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya ditinggalkan. Atau, untuk dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Berbekal itu semua, manusia tercipta ke dunia diberi tanggung jawab moral atau spiritual mengatur kehidupan dunia, termasuk mengatur dirinya sebagai Khalifah (wakil) Allah di muka Bumi. Hingga menjadi kehidupan yang baik dan benar yang di ridhai Allah Tuhan Semesta Alam. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi, manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti haluan garis besar pokok yang ditinjau oleh manusia. Yakni hanya mengabdi (beribadah) kepada Allah sebagai Tuhan Maha Pencipta. Firman Allah:
”Dan tiada Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya beribadah mengabdikan diri kepada-Ku.” (QS. Ad Dzariyat: 56).
Dengan ini jelas sekali bahwa fungsi dan tujuan hidup manusia di setiap gerak dan tingkah lakunya selama 24 jam terus menerus adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Atau, manusia hidup hanya untuk berbuat sesuatu yang bernilai pengabdian kepada-Nya.
Bentuk ibadah (pengabdian) dalam ayat ini sangatlah luas cakupanya, meliputi segala aspek kehidupan manusia. Baik yang berhubungan langsung dengan Allah (hablum minallah) atau yang berhubungan dengan manusia (hablum minannas). Bentuk ibadah atau pengabdian kepada Allah tidak hanya dengan shalat, puasa, zakat, haji, dan umroh saja. Akan tetapi amal-amal baik lainya juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. Bahkan seluruh perbuatan apa saja asal tidak dilarang oleh syari’at Islam, tidak melanggar undang-undang yang berlaku, dan tidak merugikan diri dan orang lain, seperti makan, minum, dan tidur, atau dalam hidup bermasyarakat, dan bernegara, bisa bernilai ibadah manakala diniati semata-mata untuk mengabdikan diri kepada Allah (Lillah). Kalau hidup manusia tidak di arahkan untuk pengabdian kepada Allah, berarti manusia telah menyimpang dari haluan hidup yang telah di gariskan oleh Allah seperti yang di maksud dalam ayat di atas. Dan berarti pula dosa besar yang harus di tobati.
Saat ini, kita sadari atau tidak bahwa semua gerak dan perilaku kita yang penting bukan perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah bisa bernilai pengabdian kepada Allah, kalau kita pandai mengatur dan meluruskan niat; yaitu niat untuk ibadah kepada Allah (ikhlas karena Allah) atau niat untuk mengikuti perintah-Nya (Lillahi Ta’ala). Mau makan, mau minum, mau tidur, karena Allah, hidup bernegara karena Allah, dan sebagainya. Tentunya niat itu tempat penerapanya dalam hati, atau betul-betul merasakan dan menghayati apa maksud dan tujuan kita berbuat. Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya amal perbuatan itu di tentukan menurut niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang itu tergantung pada apa yang ia niatkan; maka siapa yang berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu diterima oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang berhijrah karena keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niatkan kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua karena Allah. Jadi kita dituntun untuk benar-benar melaksanakan pernyataan yang kita baca pada setiap sholat:
”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabbul Alamin.”
Serta menerapkan apa yang sering kita baca dalam surat Al Fatihah ayat 4:
”Hanya kepada-Mu aku mangabdikan diri.”
Sekali lagi, semua perbuatan kita sangat tergantung pada niat pelakunya; untuk dan atau karena Allah atau karena yang lain. Jika Allah (Lillah) maka tercatat sebagai ibadah. Namun bila karena hal-hal yang lain seperti karena ingin pahala, ingin masuk surga atau takut neraka, ingin di puji orang lain, ingin di angkat derajatnya, ingin dinaikan pangkatnya, ingin di naikan gajinya, dan keinginan-keinginan lain, maka semua usaha dan perilakuknya hanya sebatas mendapatkan itu, tak lebih dari tiu. Artinya tak ada nilai pengabdian (ibadah) di hadapan Allah SWT.
Sebaliknya, kendatipun amal perbuatan itu berupa amal yang jelas-jelas tampak berhubungan langsung dengan Allah, tetapi kalau tidak niat karena Allah, maka amal itu tidak ada nilai ibadahnya. Kelihatanya Shalat padahal tak ada nilainya. Kelihatanya Puasa juga tak punya nilai ibadah. Justru amal yang kelihatanya duniawi yang bukan bentuk ibadah, bisa bernilai ibadah di hadapan Allah kalau niatnya lurus karena Allah semata. Seorang Shufi pernah berkata:
”Betapa banyak dari amal yang bersifat duniawi dapat menjadi perbuatan amal bersifat ukhrawi (bernilai ibadah) karena baiknya niat (lurus karena Allah). Dan berapa banyak pula perbuatan amal yang kelihatanya ukhrawi namun bernilai duniawi (tidak tercatat ibadah oleh Allah).”
Jadi, semua perilaku memiliki nilai yang berharga di hadapan Allah, kalau kita betul-betul niat lurus mengabdi kepada Allah bukan karena tendensi yang lain. Bukankah Allah menciptakan alam dan isinya tidak sia-sia, termasuk perbuatan manusia? Semua memiliki nilai dihadapan-Nya. Meski nilai itu ada yang baik (ibadah) dan ada juga yang jelek.
Kalau dipersembahkan untuk Allah maka amal itu jadi ibadah dan akan mendapat balasan yang setimpal. Tapi kalau tidak karena Allah maka jadi jelek bahkan tak ada nilainya, walaupun bentuknya tampak baik. Karena tidak punya roh atau jiwa. Bagai jasad yang mati, tak berguna. Dalam kitab Al-Hikam, Syekh Ibnu Athoillah Al-Sakandari berkata:
“Amal itu adalah hanya sebagai gambar hidup yang berdiri sedang jiwa (rohnya) adalah wujudnya rahasia ikhlas dalam amal-amal perbuatan itu.” (Al Hikam I: 11).
Jadi, amal apa saja jika tidak ada jiwa ikhlas (murni karena perintah Allah) berarti tidak hdup, bagaikan bangkai yang tidak membawa manfaat sama sekali. Tapi kalau amal itu dijiwai dengan keikhlasan, maka amal itu jadi hidup yang bisa memberi penerangan dan menyinari bagi yang lain. Rasulullah SAW bersabda:
”Berbahagialah orang-orang yang (beramal dengan) ikhlas, mereka ibarat lampu-lampu petunjuk atas segala fitnah yang diserupakan dengan kegelapan, menjadi kelihatan jelas dari (karena) mereka.” (HR. Abu Na’im dari Tsauban).
Dengan tetap mengharap hidayah Allah dan syafaat Rasulullah SAW, insya Allah dengan niat tulus ikhlas karena Allah, seluruh kegiatan dan aktivitas kita tiap detik, tiap menit, dan tiap jam; baik sebagai petani, pegawai, karyawan, dan sebagai orang tua, anak, suami, istri, tetangga, teman, tercatat sebagai amal ibadah yang dapat dijadikan bekal kita untuk menghadapi kehidupan hakiki di akhirat kelak.insya Allah…
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW pernah menegaskan,
”Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh tubuh, dan apabila ia jelek, maka jeleklah seluruh tubuh. Ia adalah hati.”
Hati adalah organ yang paling vital dalam hidup kita. Ia menjadi penentu segala kebaikan dalam kehidupan kita. Maka hati haruslah bersih dan sehat. Bukan hanya harus sehat secara fisik, tetapi yang lebih menentukan dari itu, sehat secara batin. Karena segala amal perbuatan merupakan hasil keputusan dari Dewan Perancang Kebaikan yang berpusat di hati. hatilah yang menetukan apakah kita akan melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Sedang akal hanya memikirkan dan menimbangnya, tidak mengambil keputusan.
Ini bisa menjadi ukuran. Artinya, ketika seseorang melakukan kemaksiatan, dan maksiat itu dilakukan terus menerus, maka hatilah yang harus diperiksa pertama kali. Kemudian diobati, dibersihkan agar ia tidak terus menerus mengambil keputusan salah.
Sebagaimana hadits di atas, hati adalah segumpal daging, tapi ia bisa berkarat seperti berkaratnya besi. Ad-Daraini berkata,
”Setiap sesuatu ada karatnya dan karatnya cahaya hati adalah (dimulai) dari perut yang kenyang.”
Parahnya lagi jika kenyangnya mereka karena makanan yang tidak jelas kehalalanya, maka akan dengan mudah hati berkarat. Cahayanya akan redup, dan akan sulit membedakan antara yang hak dan yang batil. Tidak heran jika dewan yang berkuasa di dalam hati Dewan Perancang Kejahatan.
Jika hati sudah demikian maka tidak boleh tidak hati itu wajib di obati. Wahidiyah telah mengajarkan kita, bahwa obat yang paling mujarab untuk mengobati hati yang sakit dan membersihkan dari ‘kotoran-kotoran’ yang sudah berkarat, adalah dengan membaca shalawat kepada Nabi SAW. Ini berdasarkan petunjuk yang disampaikan beliau sendiri dalam beberapa haditsnya. Antara lain:
”Bacalah (olehmu sekalian) shalawat kepadaku. Maka sesungguhnya bacaan shalawat kepadaku itu merupakan penebus dosa dan pembersih diri kamu sekalian. Dan barangsiapa membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Allah memberi shalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Ibnu Ashim dari anas bin Malik)
“Perbanyaklah shalawat kepadaku, maka sesungguhnya bacaan shalawat kepadaku itu merupakan ampunan atas dosa-dosa kamu sekalian dan carilah wasilah kepadaku dan derajat yang tinggi, maka sesungguhnya wasilahku di sisi Tuhanku merupakan syafaat bagi kamu sekalian.” (HR. Ibnu Asakir dari Hasan/ Pokok-pokok ajaran Wahidiyah hal. 42 bab shalawat)
Dalam haditsnya yang lain beliau bersabda, ”Setiap segala sesuatu itu ada pencuci dan pembersihnya. Adapun pencuci dan pembersih hati orang-orang mukmin dari kotoran-kotoranya adalah dengan membaca shalawat kepadaku.” (Al Hadits/ Risalah Tanya Jawab Shalawat Wahidiyah dan Ajaran bab Menjernihkan Hati)
Intinya disini adalah, perbuatan maksiat, sekecil apapun jangan sampai kita remehkan. Karena ia akan menjadi karat, hijab dan bencana dalam hidup ini. Karena itu teruslah istighfar memohon ampunan kepada Allah dan perbanyaklah membaca shalawat. Agar hati kita bersih, dan terbebas dari belenggu yang menguasainya. Allahu a’lam
Allah SWT. Tuhan Maha Pencipta dan Maha Pengatur, menciptakan manusia dengan memberinya dua macam kekuatan. Yaitu kekuatan jasmani dan kekuatan ruhani, atau kemampuan yang bersifat lahiriyah dan kemampuan yang bersifat batiniyah. Manusia terdiri dari dua macam badan, badan jasmani atau badan wadah dan badan rohani atau roh atau jiwa. Dan masing-masing badan itu oleh Allah SWT, diberikan kekuatan atau kemampuan yang berbeda-beda sifat dan dayanya. Hanya manusia yang diberi dua macam kekuatan seperti itu. Makhluq-makhluq selain manusia baik itu golongan Malaikat ataupun bangsa Jin dan makhluq jenis halus lainya lebih-lebih makhluq jenis kasar, tidak diberi dua macam kekuatan seperti yang diberikan kepada manusia. Bangsa Jin mungkin memiliki dua kekuatan seperti itu akan tetapi terbatas, tidak seluas yang dimiliki oleh manusia. Buktinya yaitu bahwa Nabi Sulaiman AS pernah merajai manusia dan sekaligus bangsa Jin dan makhluq-makhluq lain, sedangkan belum pernah kita mendengar ada bangsa Jin yang membawahi manusia. Malaikat dalam beberapa hal menempati tingkatan yang lebih tinggi dari pada manusia akan tetapi terbatas. Terbatas mengerjakan tugas-tugas tertentu. Ada yang membaca tasbih saja, ada yang bertakbir saja, ada yang bertahmid saja, ada yang terus-menerus membaca shalawat kepada Nabi SAW saja, ada yang terus-menerus ruku’, ada yang tiada henti-henti sujud dan sebagainya. Bahkan banyak tugas-tugas yang dijalankan oleh para Malaikat justru diperuntukan bagi umat manusia. Bahkan lebih lagi dari pada itu. Segala yang di langit dan di bumi ini oleh Allah dibikin tunduk kepada manusia, diperuntukan bagi uma manusia supaya sebaik-sebaiknya dimanfaatkan bagi kepentingan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Firmanya:
”Tidak kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-NYA lahir dan batin.”(31 Luqman: 20)
Demikian kasih sayang Allah SWT kepada manusia, hamba-NYA. Ini perlu kita renungkan sebagai pendahuluan pembahasan masalah kejernihan hati dan agar supaya kita menyadari tempat kedudukan kita sebagai manusia di antara makhluq-makhluq lain ciptaan Tuhan, sehingga kita dapat terus-menerus senantiasa meningkatkan syukur terima kasih kita kepada-NYA.
Kedua kekuatan, kekuatan lahir dan kekuatan batin yang dimiliki oleh manusia itu tadi tidak lain agar supaya dipergunakan untuk mendatangkan sebesar-besarnya manfaat guna memperoleh dan membina hidup selamat dan sejahtera dan bahagia material dan spiritual, lahir dan batin di dunia dan di akhiratnya kelak. Dan sebagai insan sosial, kekuatan lahir dan kekuatan batin manusia merupakan perangkat pemberian Tuhan baginya untuk mengemban tugas sebagai “Khalifah” atau “wakil” Allah di bumi. Tugas mulia yang dipercayakan Allah SWT, kepada manusia untuk mengatur kehidupan di dunia menurut konsepsi yang digariskan Allah SWT. Sebagaimana firman-NYA di dalam Al Qur’an:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku berhak menjadikan seorang khalifah dimula bumi.”(2-Al Baqarah: 30)
Kekuatan lahiriyah, seprti kita maklumi adalah daya kemampuan yang kelihatan mata lahir atau yang dapat diperhitungkan oleh akal fikiran atau rasio. Akal fikiran atau rasio itu sendiripun tergolong kekuatan lahir. Betapapun kemampuan lahiriyah manusia, akan tetapi masih terbatas sekali apabila dibandingkan kemampuan batin atau kemampuan jiwa manusia. Kekuatan lahir hanya bisa berhubungan dengan alam alam lahir alam nyata, sedangkan kekuatan jiwa manusia dapat menembus alam gaib, dapat menjelajahi alam metafisika, bahkan dapat mengadakan komunikasi dengan alam luar manusia, dengan alam jin dan alam malaikat bahkan dapat beraudensi dengan Tuhan Pencipta seluruh alam.
Pusat segala kegiatan manusia baik kegiatan jasmani maupun kegiatan rohani terletak di dalam hatinya. Hati merupakan “Pusat Komando” dari segala macam gerak dan laku manusia. Bahkan di samping sebagai Pusat Komando, sekaligus merupakan “motor penggerak” yang menggerakan segala perilaku dan perbuatan manusia. Perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat, perbuatan yang menguntungkan ataupun perbuatan yang merugikan semuanya itu di komando dan digerakan oleh hati.
Di dalam hati manusia sama-sama bermarkas dua macam “Dewan” yang berlainan pengaruh dan arahnya satu sama lain. Bahkan saling bertolak belakang dan saling berlawanan. Yang satu “Dewan Perancang Kebaikan” dan satunya lagi “Dewan Perancang kejahatan”. Siapa diantara dua dewan itu yang dominan (berkuasa) di dalam hati, dialah yang memegang komando segala gerak dan perbuatan atau tindakan manusia. Adapun faktor fikiran, sekalipun dipenuhi dengan berbagai macam perbendaharaan ilmu pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan, namun fungsinya hanya sebagai “Dewan Pertimbangan”, dan tidak memegang peranan yang menentukan.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat atau mendengar, atau mungkin pernah bahkan sering mengalami sendiri bahwa akal fikiran dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, dapat membedakan antara yang benar dan yang batal, dapat mengerti ini haram ini halal, mengerti itu boleh dikerjakan dan ini tidak, dan sebagainya. Akan tetapi di dalam prakteknya justru sebaliknya. Yang baik ditinggalkan, yang buruk dikerjakan. Yang menguntungkan malah dihindari, yang merugikan justru dimasuki. Yang haram dikejar-kejar, yang halal tidak dihiraukan. Yang benar tidak diikuti, yang batal dipergauli.
Hal tersebut disebabkan oleh karena yang menguasai hati pada waktu itu adalah “Dewan Perancang Kejahatan”. Ilmu pengetahuan yang berada di dalam otak fikiran manusia tidak mampu mengendalikanya, tidak mampu mengarahkan sesuatu perbuatan yang sesuai dengan ilmu dan pengertian yang dimilikinya. Jika seorang pencuri di Tanya, apakah perbuatan mencuri itu baik?. Pasti menjawab tidak baik. Siapapun jika di Tanya apakah perbuatan menipu, korupsi, merugikan atau menyakiti orang lain itu di perbolehkan ?. Semua akan menjawab tidak!. Bahkan semua orang mengerti bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan tercela dan sangat terkecam. Tetapi mengapa toh terjadi dilakukan oleh sebagian orang bahkan oleh banyak orang? Tidak lain di dorong oleh keinginan nuruti hawa nafsu yang bersarang di dalam hati yang sudah di kuasai oleh ”Dewan Perancang Kejahatan” tersebut.
Jelasnya, manusia akan terjerumus kepada kejahatan dan kehancuran apabila hatinya penuh dengan kotoran-kotoran nafsu yang berkuasa dan memerintah sebagai ”Dewan Perancang Kejahatan”. Dan manusia dikatakan baik, baik budinya, baik akhlaknya, baik perangai dan pekertinya, baik perbuatanya, apabila hatinya dipimpin oleh ”Dewan Perancang Kebaikan”, dan bersih dari kotoran-kotoran nafsu. Oleh karena itu maka hati manusia harus selalu dibersihkan dari kotoran-kotoran dan dari hama penyakitnya hati dengan menempatkan ”Dewan Perancang Kebaikan.” sebagai pemimpin yang bijaksana di dalam dirinya.
Betapa tepat dan bijaksananya Rasulullah SAW, telah memberikan peringatan kepada kita dengan sabda-NYA:
”Sesungguhnya di dalam jasad manusia itu ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, menjadi baik pulalah seluruh jasad, dan apabila rusak atau kotor, menjadi rusak pulalah seluruh jasad. Ketahuilah yaitu hati.”(Hadits Riwayat Imam Bukhori dan Muslim dari Nu’man bin Rasyid)
Atas dasar tersebut, maka kemudian para Ulama Shufi mengatakan antara lain sebagai berikut:
”Membersihkan jiwa (hati) dari kotoran-kotoran (nafsu) adalah wajib”.(kitab Kifayatul Atqiya).
Wajib disini dalam arti harus di usahakan oleh stiap orang dalam rangka upaya mencapai hidup selamat sejahtera dan bahagia lahir batin dunia dan akhirat. “Tazkiyatunnafsi” atau mebersihkan hati maksudnya membebaskan hati dari pengaruh-pengaruh nafsu yang senantiasa berusaha dan bertipudaya untuk menguasai hati manusia. Di dalam kitab suci Al Qur’an diterangkan pernyataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam tentang tekad Beliau yang senantiasa waspada terhadap tipu daya nafsu sebagai berikut:
“Dan tidaklah aku membiarkan diriku (dikuasai nafsu), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang di beri rahmat oleh Tuhanku”.(12 Yusuf: 53.
Membersihkan hati istilah yang populer sekarang di sebut operasi mental.
“Operasi mental” yang di alami oleh Rasulullah SAW. Ketika akan menjalani Isra’ Mi’raj merupakan tunutnan nyata yang harus di ikuti oleh para umat. Bahkan oleh setiap insan yang hidup di dunia ini. Berkat adanya operasi tersebut, dimana kotoran-kotoran yang terdapat didalam hati Rasulullah SAW dikeluarkan dan kemudian dimasukan iman, islam, ikhsan, amanah dan kejujuran, maka segala gangguan dan godaan yang dialami dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, semua dapat di atasi dengan sempurna dan sukses menghadap kehadirat Allah SWT untuk menerima tugas-tugas yang harus dilaksanakan para umat, antara lain sholat lima waktu dalam sehari semalam.
Bermacam-macam cara telah banyak ditempuh orang/ masyarakat dalam melaksanakan operasi mental. Melalui pengajaran dan pendidikan, lewat system dakwah dan penerangan-penrangan agama, menggunakan mass media, facebook, surat kabar, majalah, radio, TV dan buku-buku, melalui perkumpulan atau organisasi-organisasi sosial dan bermacam-macam bentuk pergaulan hidup lain-lain. Bahkan ada yang menempuhnya dengan riyadloh-riyadloh badaniyah dan latihan-latihan kejiwaan. Masing-masing dengan metode dan sistematika yang berbeda.
Secara umum, cara operasi mental seperti tersebut di atas dalam garis besarnya dititik beratkan pada prinsip-prinsip penamaan pengertian dan ilmu pengetahuan sehingga diharapkan bisa tumbuh suatu kesadaran. Akan tetapi kenyataan di dalam praktek tidak semudah itu. Pengertian dan ilmu pengetahuan masih belum memberi jaminan akan tercapainya kondisi hati yang bersih dan jernih bebas dari pengaruh-pengaruh nafsu yang menjadikan sarang yang subur bagi bercokolnya “Dewan Perancang Kejahatan” seperti di atas.
Mengingat makin hebatnya pengaruh-pengaruh dari berbagai jurusan yang merangsang hati manusia, yakni pengaruh negatife yang menyuburkan tumbuhnya ”Dewan Perancang Kejahatan”, maka operasi mental atau membersihkan dan menjernihkan hati harus secara terus-menerus di usahakan oleh setiap orang. Disamping dengan cara-cara operasi mental seperti di atas dan yang sudah banyak dijalankan oleh masyarakat selama ini masih ada satu cara yang belum banyak dilakukan orang, yaitu pendayagunaan kekuatan atau potensi batiniyah dalam bentuk do’a permohonan kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengatur, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Do’a memohon HIDAYAH, memohon petunjuk dan pertolongan-NYA.
Pendayagunaan potensi batiniyah dalam bentuk do’a permohonan kepada Allah SWT. Baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara berkelompok (berjama’ah bersama-sama), jika dibandingkan dengan pendayagunaan potensi lahiriyah dalam bentuk bekerja, berkarya dan bentuk aktifitas atau kegiatan lahiriyah lainya adalah masih sangat tidak seimbang. Masih banyak peluang kesempatan dan sisa kekuatan yang belum dimanfaatkan untuk berdo’a memohon kepada Allah SWT. Pada hal seperti disebutkan dimuka, kedua kekuatan, kekuatan lahir dan kekuatan batin yang sama-sama anugerah Tuhan itu harus dimanfaatkan secara harmonis dan keseimbangan dengan kebutuhan hidup serta saling mengisi. Lebih-lebih jika diingat bahwa HIDAYAH Allah SWT. Adalah mutlak dibutuhkan oleh setiap insan. Tanpa HIDAYAH atau PETUNJUK Allah, manusia pasti sesat dan terjerumus kepada kehancuran dan kesengsaraan.
Bertambahnya ilmiyah atau ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum lainya apabila tidak disertai memperoleh HIDAYAH dari Allah SWT, maka ilmu-ilmu itu tidak akan mampu meletakan benih yang menumbuhkan kejernihan hati, ketentraman jiwa dan keselamatan mental. Bahkan boleh jadi justru ilmu-ilmu yang tidak disertai HIDAYAH Allah itu malah menyuburkan bercokolnya "IMPERIALIS NAFSU” sebagai ”Dewan Perancang Kejahatan” di dalam hati manusia. Sehingga kemudian timbul rasa kebanggaan, rasa diri berilmu, berkemampuan, berkuasa, rasa diri lebih dari orang lain, selanjutnya muncul bendera ”Ke-aku-an”, egoisme atau ANANIYAH. Ilmu yang seharusnya menjadi alat penyaring kemurnian dan kemulusan hati yang bersih, dalam prakteknya disalahgunakan menjadi polusi jiwa (pengotoran jiwa) yang lebih keruh tetapi lebih halus sehingga yang bersangkutan tidak merasa.
Dalam hubungan antara ilmu dan Hidayah, Rasulullah SAW. Telah memperingatkan kita dengan sabdanya:
“Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak menjadi bertambah (dekatnya) melainkan semakin jauh dari Allah.”(Riwayah Abu Mansur dan Dailami dari Jabir).
Orang yang jauh dari Allah tidak akan mendapat Hidayah. Barangsiapa tidak mendapat hidayah Allah pasti sesat jalan dan akhirnya sengsara dan mengalami kehancuran. Maka oleh karena itu, disamping ilmu pengetahuan harus kita pelajari, harus kita tuntut, ilmu pengetahuan apa saja terutama yang ada hubunganya dengan soal-soal membersihkan hati, yang berkaitan dengan masalah operasi mental, untuk memperoleh ketenangan batin dan ketentraman jiwa, tidak boleh di abaikan yaitu dengan usaha memperoleh HIDAYAH Allah SWT.
Apakah HIDAYAH dari Allah dapat diperoleh atau di usahakan dengan uoaya manusia? Jawabnya tegas. Dapat!. Firman Allah dalam Al Qur’an surat No 29 Al-Ankabut Ayat 69 :
Artinya kurang lebih:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) KAMI, sungguh-sungguh akan KAMI tunjukan kepada mereka jalan-jalan KAMI.”
Berjihat disini artinya bersungguh-sungguh atau berusaha dengan bersungguh-sungguh. Berusaha mencari keridhoan-NYA, berusaha menuju kepada-NYA untuk memohon Hidayah-NYA.
Di dalam Wahidiyah, bersungguh-sungguh memohon kepada Allah SWT itu disebut ”MUJAHADAH”. Tentang hubungan antara HIDAYAH dan MUJAHADAH , Imam Ghazali mengatakan di dalam kitab Ihya-Nya:
”Mujahadah adalah kuncinya hidayah, tidak ada kunci untuk memperoleh hidayah selain mujahadah”.
Ada banyak sekali macam-macam jenisnya doa yang dilakukan orang, dengan cara dan bahasa yang berbeda-beda menurut bahasa Negara atau bahasa daerah masing-masing, dan mengikuti tuntunan agama atau kepercayaan yang di anut sendiri-sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
“Doa adalah senjatanya orang mukmin.”
Ibarat “senjata” maka daya keampuhan dan kegunaannya doa juga berbeda-beda. Antara lain berkaitan dengan pribadi dan kepribadian Pencipta doa, tujuan dan kepentingan apa doa itu dicipta, situasi dan kondisi pada waktu doa itu dicipta, susunan redaksi doa, kaifiyah (cara pengamalan) dan adab-adab ketika berdoa dan kondisi batiniyah dan kejiwaan orang yang berdoa. Misalnya hudlurnya hati, kekhusyu’anya, kemantapan hatinya dan sebagainya.
Didalam Islam, Rasulullah SAW. Memberikan tuntunan bermacam-macam doa. Hampir setia gerakan ada doanya. Ada doa ketika mau makan, selesai makan, ketika berpakaian, doa diwaktu pagi, di waktu sore, saat akan tidur, ketika bangun tidur, waktu keluar rumah, ketika masuk rumah, dan sebagainya. Disamping doa pada setiap melakukan gerakan seperti itu, masih banyak lagi doa-doa untuk hajat atau kepentingan. Baik dari tuntunan Rasulullah SAW maupun yang dicipta oleh para Sahabat dan para Ulama. Namun sayangnya hanya sedikit sekali dilakukan oleh umat islam sendiri.
Para Ulama, terutama Ulama Shufi berpendapat bahwa doa yang paling dekat diijabahi oleh Allah SWT adalah Shalawat. Dan pendapat ini sangat cocok dengan kenyataan. Lebih-lebih di zaman akhir ini, secara umum mengenai faedah dan manfaat doa Shalawat kepada Kanjeng Nabi Besar Muhammad SAW, bagi si pembaca Shalawat adalah seperti dikatakan oleh Syekh Hasan Al-Adawi di dalam ktab “Dailul Khoiror” yang kemudian dibenarkan dan dan didukung oleh para Ulama Shufi lainya yaitu sebagai berikut:
”Sesungguhnya membaca Shalawat kepada Nabi SAW itu bisa menerangi hati dan mewushulkan kepada Tuhan Dzat Yang Maha Mengetahui perkara ghaib.”(Sa’adatud- Doroini hal. 36).
“Menerangi hati”, hati menjadi terang, jernih dan tentram “mewushulkan” mengantarkan dan menyampaikan kepada tingkat batiniyah yang sadar kepada Allah SWT.
Ada banyak sekali macamnya doa Shalawat. Berpuluh, beratus, beribu-ribu, bahkan berpuluh ribu macamnya. Masing –masing Shalawat dikaruniai faedah dan manfaat yang berbeda-beda, manfaat duniawi dan manfaat ukhrowi, manfaat lahiriyah dan manfaat batiniyah, manfaat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat moral dan spiritual. Bertalian dengan kebutuhan untuk kejernihan hati, ketenangan batin dan ketentraman jiwa, sudah sewajarnya kita memilih Shalawat yang dikaruniai manfaat dan faedah yang kita butuhkan tersebut.
Semoga kita termasuk orang-orang yang dikaruniai hati yang jernih, batin yang tenang dan kukuh, jiwa yang tentram dan stabil sehingga berhasil whusul, sadar ma’rifat kepada Allah wa Rasulihi SAW. Suatu kondisi batiniyah yang menjadi keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin dunia sampai akhirat yang mendapat ridlo Allah SWT ! Aamiin…!