”Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)m u sendiri. Padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berfikir?” (QS. Al Baqarah: 44)
Ayat ini diturnkan oleh Allah SWT berkaitan dengan sikap Yahudi Madinah. Ia mengatakan kepada menantunya dan sanak kerabatnya, ”Tetaplah engkau atas agama yang kalian peluk dan apa yang Rasulullah SAW perintahkan. Sesungguhnya ajaranya benar.” Sedangkan ia tidak mau beriman. (Asbabun Nuzul hal. 13 oleh Imam Al Wahidi)
Walaupun demikian, menurut Syekh Al Maraghi, isi ayat ini tidak hanya berlaku bagi kalangan Yahudi. Namun juga meluas kepada kaum muslimin. Yaitu agar mereka menjadi orang yang konsisiten dengan apa yang mereka sampaikan. Dalam hal ini ada beberapa hadits yang perlu untuk menjadi bahan renungan bagi kita semua jika kita menjadi juru dakwah ummat. Rasulullah SAW bersabda,
- ”Saat aku di-isra’-kan, aku melewati kaum yang menggunting bibir mereka dengan gunting dari api. Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapa mereka wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah juru khutbah ummatmu. Mereka memerintahkan manusia untuk berbuat baik dan mereka melupakan diri mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak berakal?” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa ada seseorang yang dilemparkan di dalam neraka. Maka terburailah usus-ususnya. Ia berputar-putar di neraka sebagaimana berputarnya keledai pada gilingan. Kemudian ahli neraka berkumpul kepadanya dan berkata, ”Wahai Fulan.. Bukankah Anda memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami untuk berbuat kemunkaran?” Orang tersebut kemudian menjawab, ”Aku memerintahkan untuk berbuat kebaikan namun aku tidak melaksanakanya. Aku juga melarang orang dari kemunkaran, namun aku sendiri melaksanakanya.” (Hadits Muttafaq Alaih).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,
- ”Sesungguhnya sekelompok ahli surga melihat sekelompok orang ahli neraka. Kemudian mereka berkata, ‘Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka? Demi Allah, kami masuk surga karan pengajaran kalian’. Maka penghuni neraka tersebut berkata, ‘Kami mengatakan sesuatu dan kami tidak melakukanya.” (HR. Ibnu ‘Asakir).
Ayat serta hadits-hadits diatas bukan berarti larangan bagi seseorang untuk mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran jika seseorang tidak konsisten. Jika seseorang mengajak kebaikan namun belum melaksanakan, maka hal tersebut bukan sebuah dosa. Demikian juga seseorang melarang kemunkaran namun ia tetap melaksankan kemunkaran tersebut, maka larangan tersebut bukan sebuah dosa. Namun yang menyebabkan orang-orang diatas masuk neraka adalah bahwa mereka berbuat kemaksiatan sebagaimana orang lain yang berbuat kemaksiatan juga masuk neraka.
Jadi, untuk memerintahkan kebaikan tidak harus menunggu seseorang mampu melaksanakan perintah tersebut. Memerintahkan seseorang untuk berhaji bukan harus dilakukan oleh orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Demikian juga mencegah kejahatan bukan berarti harus dilakukan orang yang 100% tidak pernah melakukan kejahatan. Rasulullah SAW bahkan bersabda,
- ”Perintahkan kebaikan meskipun kalian belum melaksanakanya. Dan cegahlah kemunkaran meskipun kalian belum sepenuhnya meninggalkan kemunkaran tersebut.” (HR. At Thabrani dalam Kitab Awsath dengan sanad yang hasan).
Karena itulah Syaikh Isma’il Haqqi berpendapat bahwa celaan pada ayat ini tidak berkaitan dengan ayat yang artinya (dan kalian melupakan diri kalian sendiri).
Ayat diatas mengingatkan kepada kita betapa pentingnya sikap konsisten dalam kehidupan. Kesamaan antara ucapan dan perbuatan. Apa lagi jika hal ini berkaitan dengan para juru dakwah Islam dan lebih spesifik lagi berkaitan dengan penyiar dan da’i Wahidiyah. Ada beberapa hal ketika sikap konsisten ini diabaikan oleh para juru dakwah/ da’i.
Diantaranya adalah bahwa sikap ketidaksamaan antara ucapan dan perbuatan ini akan menjadikan agama sebagai sesuatu yang tidak dipercaya. Semua da’i harus sadar bahwa baik atau tidaknya penerimaan seseorang terhadap dakwah tidak hanya ditentukan oleh kebaikan materi yang disampaikan. Tetapi juga oleh kesamaan antara sikap dan pembicaraan pada sang penyampai. Ketika ada kesamaan antara sikap dan perbuatan ini pada para da’i, maka orang akan melihat agama dengan sikap hormat dan pada giliranya akan mengikutnya. Sebaliknya, ketika sang penyampai sendiri tidak melaksanakan apa yang ia sampaikan, maka hal ini berarti juga ia tidak begitu yakin dengan kebaikan apa yang ia sampaikan. Dan kalau ia sendiri tidak yakin, bagaimana mungkin ia mengharap orang lain untuk yakin terhadap apa yang ia sampaikan?
Yang lebih berbahaya adalah ketika kemudian orang hanya menjadikan agama hanya sebagai permainan atau obyek perlombaan. Orang sudah tidak lagi berfikir apakah nilai-nilai agama dilaksanakan oleh para pengikutnya atau tidak. Orang juga tidak lagi berfikir apakah orang-orang non muslim akan menerima Islam dengan dakwahnya. Tapi yang menjadi perhatian para da’i ini adalah bagaimana memenangkan kontes da’i. ia sibuk menyusun kalimat yang baik, kemudian menyampaikan dengan berapi-api. Dan yang lebih penting adalah bagaimana ia memperoleh hadiah yang disediakan oleh panitia.
Zaman ini, dimana agama hanya menjadi obyek perlombaan, atau agama menjadi obyek penelitian untuk mendapatkan gelar, atau alat untuk mendapatkan pengaruh, ada baiknya kita merenungkan kembali sabda Rasulullah SAW,
- ”Barangsiapa yang belajar ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk bersaing dengan para ulama atau untuk memalingkan wajah manusia kepadanya, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. At Turmudzi).
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda,
- ”Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya digunakan untuk mendapat ridha Allah, sedangkan dia mencarinya semata-mata untuk mendapatkan dunia, maka ia tidak mendapatkan baunya surga di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar